Catatan: Melawan Lupa

MELAWAN LUPA

Hasil gambar untuk pengumuman penting

  1. Gagasan Nasionalisme :

Boedi Utomo Lahir 20 Mei 1908 (diperinati hari Kebangkitan Nasional). Soegondo membentuk PPI (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, 2016 dengan Ketua Sigit).

Pelopor Sumpah Pemuda, HOS Cokroaminoto (tempat kost Soegondo Djojopoespito ketua panitia konggres pemuda II (28 Oktober 1928) dan Soekarno), H. Agus Salim teman berdiskusi politiknya, Muhammad Yamin sekretaris konggres pemuda II dan perumus frasa sumpah pemuda), Upah Rudolf Suprapman (pencipta lagu Indonesia Raya), Soenario Sastrowardoyo berteman dengan Hatta (pengurus PPI di negeri Belanda), Sie Kong Liong (pemilik rumah di Jalan Kramat Raya no. 106) dan pada 28 Oktober 1928 berkumandanglah cita-cita bertanah udara berbangsa dan gelap satu Indonesia. Pada naskah hasil Konggres dilengkapi dengan kata “kami”

Mengapa menggunakan kata “KAMI” (inklusif atau tidak mencakup lawan bicara) bukan “Kita” (eksklusifisasi lawan bicara).

Bisa jadi masa itu kebutuhannya adalah sangat mendasar yaitu bebas dari penjajahan. Dalam hal ini penjajah sebagai lawan bicara yang tidak perlu dilibatkan yang sudah pasti menolak atau menghalangi, maka tepatnya menggunakan kata “kami”.

Sekarang tahun 2018 , 90 tahun berselang cita-cita sumpah pemuda tetap adanya, meski sudah tercapai kemerdekaan 17 -8 – 1945, melewati gejolak 1966, 1984, refomasi 1998. Para pemuda kini belum menyadari untuk membuat ikrar baru, cita-cita baru untuk bangsa dan negara Indonesia yang harus di capai setelah 90 tahun. Jangan-jangan kemerdekaan 1945 dan perjalanannya kini belum memberikan sepenuhnya capaian cita-cita Sumpah pemuda. Bagaimana Ikrar Generasi Milenial untuk bangsa dan negaranya?

2. Peran Rakyat ( Aktor / Subyek Pembangunan?)

Rakyat yang memperjuangkan modal dasar pembangunan (kemerdekaan 17 agustus 1945) –> bukan Angkatan bersenjata (3 bulan setelah merdeka baru lahir 5 oktober 1945) dan Bukan pengusaha, melainkan anak masyarakat terdidik/para pelajar dan rakyat sendiri. Untuk melawan lupa, hingga kini yang lebih merasakan setelah merdeka bukan rakyat.

3. Bidang Pendidikan

Proses pengajaran dan pendidikan, pada satu sisi bagai merubah kertas dengan coretan buram menjadi kertas dengan coretan yang lebih tegas dan kontras serta jelas. Di sisi yang lain bagai merubah kertas putih menjadi berisi dengan dengan tepat dan jelas. Dua sisi ibarat ini menggambarkan makna dari “bakat dan minat”. anak didik yang memiliki “bakat” berarti ada potensi coretan tetapi masih perlu mengikuti pendidikan untuk menegaskan coretan itu agar bermanfaat untuk pembangunan, anak didik yang memiliki “minat” berarti seperti kertas polos yang memiliki keinginan untuk mengikuti pendidikan yang diinginkan untuk dicapainya. Kadang ada anak didik yang memiliki bakat tetapi juga memiliki minat, kalau minat sinkron dengan bakatnya maka keberhasilannya akan lebih memuaskan dengan cepat.Anak didik yang minat dan bakatnya tidak sinkron menjadi berat dalam mencapai keberhasilan.

Para orang tua kadang memiliki cita-cita yang belum dicapainya dipaksakan kepada anaknya, tapi banyak juga yang memang melihat bakat dan minat dan hanya memberi arahan anaknya. Apa lacur yang terjadi di dunia pendidikan nasional, khususnya munculnya pengelompokan IPA dan IPS, bukan salah pengelompokannya tetapi cara menyikapinya. Para orang tua berpersepsi anak didik IPA (memiliki porsi intelegensia lebih tinggi), lebih menjanjikan. IPS dipersepsikan memiliki porsi lebih rendah intelegensianya. Ini dimakmumi oleh pengambil kebijakan menerapkan standart nilai yang lebih jika ingin masuk IPA dibandingkan masuk IPS. Orang tua akan menepuk dada tenang jika anaknya masuk golongan anak didik IPA dibanding masuk golongan anak didik IPS. Hal ini mengakibatkan menggiring tidak penting lagi minat atau bakat, yang penting masuk golongan IPA sebagai prioritas, jika pada akhirnya masuk golongan IPS, boleh dibilang karena terpaksa (tidak sesuai dengan keinginan), seakan-akan hanya minat (keinginan) yang dikejar, tanpa memperhatikan bahwa kertas tersebut ada buramnya atau putih.

Pikir punya pikir, seperti ada yang salah dalam proses mendidik kader bangsa, yang terjadi anak didik golongan IPA yang memang memiliki standart intelegensia yang tinggi kemudian masuk perguruan tinggi dengan jurusan ke-ipa-an setelah lulus lebih banyak masuk ke industri (pabrik). Pemiliki kepandaian lebih ini jarang yang mendedikasikan dirinya pada bidang-bidang sosial dan budaya. Bidang-bidang sosial dan budaya di isi oleh golongan lulusan ips yang memang dari asalnya ips. Kalau disadari secara mendalam sebenarnya sosial budaya lebih dinamis permasalahan yang dihadapi di bandingkan yang dihadapi di industri (pabrik). Kondisi antagonis seperti ini sudah berlangsung lama di negara ini, yang memiliki kelebihan menangani yang sudah tersistem (mekanik bersifat robotik), yang memang standarnya lebih rendah menghadapi permaslahan yang lebih dinamis.

Dan yang aneh lagi dari 6 presiden negara ini : Ir. Soekarno (Ir/IPA), H. Soeharto (militer), Prof. BJ. Habibi (Ir/IPA), Gusdur (susastra), Hj. Megawati (Pertanian/IPA), SBY (militer), Ir. Djokowi (Ir/IPA). Dari 6 presiden 4 dari IPA (pendalaman Ilmu Pengetahuan Sosial budaya sudah tentu di dapat autodidak), atau negara di anggap industri (kalau tidak pabrik). Alumni IPS meski sepak terjang di bidangnya tersalip begitu saja rakyat memilih yang dari IPA. Ini kenyataan negar ini ironi. Melawan lupa dalam bidang pendidikan dengan kenyataan persepsi, sistem yang diterapkan dan kebutuhan pembangunan negara menurut Jamannya, perlukan dievaluasi secara mendasar? Bebaskan anak didik dari dikotomi golongan standart tinggi dan lebih rendah, mendasarkan pada landasan minat dan bakat, baik IPA dan IPS sangat dibutuhkan anak didik yang intelegensianya tinggi agar beriringan anatar pembangunan sosial budaya kenegaraan, ekonomi (ke-ips-an dan industri (ke-ipa-an). Dengan demikian mendudukkan pada porsinya sesuai kebutuhan pembangunan menuju negara yang lebih maju.

sebagai catatan tambahan pada Era Disruptif sekarang bidang pendidikan formal jika tanpa evaluasi yang mendalam maka yang terjadi akan terdegradasi, universitas/perguruan tinggi informal melalui internet dan komunitas (lebih sesuai dengan bakat dan minat, tingkat keberhasilannya lebih baik untuk membuat lebih maju dan membanggakan bangsa dan negara.). Pendidikan PTN Incumbent terancam pada era Disruptif (Keterampilan , Bakat, minat dan Kepribadian komunitas global netizen)

 

Lebih Lanjut (menyusul Melawan Lupa di bawah ini)

Ekonomi Pertanian

  1. Ingatan kolektif agrikultur di “tuna kismakan” (indianisasi abad 4 – 15, Zhong Huanisasi awal masehi – sekarang), Keberlimpahan SDA daratan dan Pesisir. Meskipun laut peluang yang besar.
  1. SP4 (Sandang, Pangan, Papan, Pendidikan dan Perhatian)

Sandang: ATBM —- à ATM (Industrialisasi Jawab Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?)

Pangan: Tuna kisma

Papan: Pilihan dataran rendah sebagai pemukiman dan CBD (tidak adaftif dan teknologi belum memenuhi)

Arsitektur adaptif ,inovatif

  1. Rumah Panggung (lantai berongga -> Rumah lantai menenmpel tanah) Dataran rendah?
  1. Komunikasi / Informasi / Propaganda:

berakar lokal, berfikir Global, Bertindak Global, lead Global

– Sejarah Kearifan lokal, pengetahuan lokal untuk pembangunan ( Sejarah ) — > moral yang bermoral untuk pemuasan ( His-Story ), Kearifan lokal dalam kesehatan dipersepsikan “DUKUN”, Tropical therapeutic landscape, Indonesia narrative medicine  dll.

  1. Konsumsi Informasi Rezim pada Kuadran (-, -)

Penulisan rezim selalu memunculkan yang negatif (discontinue), sementara yang positif (+,+)/continue) bangsa sedikit diberi Pelajaran.

  1. Kehadiran IP Sejarah pada Perencanaan Pembangunan Berbagai Bidang (?)

Obyektifitas IP Sejarah (Fakta Keras) -> nilai refleksi sejarah yang bermanfaat untuk pembangunan, stigma IP sejarah hasi subyektifitas penulis (kisahnya).

Pendataan dasar sejarah dituntut kedetailan bada setiap bidang, sektor dan turunannya, selain itu detail tokoh mulai : Sikap, Perkataan dan Perbuatan dengan detail (bukan karena pesanan penguasa/ his/r story)

 

About taqy