Ternyata, kasus bakteri Enterobacter sakazakii dalam susu formula terus berlanjut sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Sebagai anggota komunitas akademik, saya menyayangkan kenapa kasus ini tidak ditangani dengan baik saat gugatan terhadap IPB, BPOM, dan Depkes diajukan, sehingga harus sampai ke tingkat kasasi yang kemudian diterima oleh Mahkamah Agung.
Akibatnya, sekarang, IPB berada dalam posisi melawan hukum. Saya tidak yakin apa yang akan terjadi secara hukum, akan tetapi secara sosial, saya melihat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap dunia akademik yang dianggap berkonspirasi untuk menutupi informasi penting tentang kondisi dunia industri
Saya coba serta kutipan sebuah email dari rekan saya di IPB tentang kasus Enterobacter sakazakii:
Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilakukan tahun 2004 dan risetnya sendiri dilakukan tahun 2004 dan 2005 sebagai kerjasama Jerman-Indonesia yang dipublikasikan di Journal Of Food Protection V0l 69 N0 12, 2006, Pages 3013-3017 di bawah judul Enterobacteriaceae in Dehydrated Powdered Infant Formula Manufactured in Indonesia and Malaysia. Jadi data yang positif dan negatif yang disajikan pada tabel di di jurnal ini menurut saya bukanlah “lontaran informasi”, tetapi penyajian data ilmiah.
Isolat dari hasil penelitian di ataslah yang dites lebih lanjut dengan menggunakan mencit dan diseminarkan pada seminar terbuka hibah bersaing di tahun 2008. Jadi yang diujikan pada penelitian ini adalah isolat yang diisolasi dari saampel yang dibeli pada tahun 2004-2005. Perlu diketahui, pada tahun ini tema ini masih emerging dan belum ada satu negara pun yang memiliki aturan tentang ini. WHO sendiri baru mengeluarkan guideline pada tahun 2008.
Berdasarkan hasil penelitian ini peneliti diundang oleh Badan POM pada tahun 2006-2007 dan BPOM telah menindak lanjutinya dalam bentuk pengendalian yang lebih ketat terhadap cemaran dan regulasi khusus pada tahun 2009. Dengan kata lain tanggung jawab peneliti yang melakukan hazard identification telah ditransfer ke ranah policy atau risk management jika kita tinjau dalam kerangka berpikir risk analysis in food safety. Jadi justru sebelum konsumen ribut, peneliti sudah menjalankan perannya dalam mengawal kesehatan massyarakat. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa praktek di rumah tangga yang baik (suhu air di atas 70 derajat) cukup untuk membunuh mikroba ini.
Alhasil tidak ditemukan lagi cemaran ini pada tahun 2009 dan 2010 sebagaimana yang telah dirilis oleh BPOM. Ini adalah contoh konkrit bagaimana penelitian berkontribusi positif untuk pengaturan.
Saya pikir informasi ini harus sampai ke masyarakat, sehingga pada saat diumumkan sesuai dengan amar putusan MA mereka sudah lebih pandai. Sekarang kita tinggal melakukan hitung-hitungan antara ancaman terhadap kesehatan karena sakazakii (yang notabene setelah tahun 2009 sudah tidak ada lagi berdasarkan surveillance BPOM) dengan kehebohan yang mungkin terjadi dari penyebutan merek tersebut. Semoga bermanfaat.
Jadi bagaimana kita harus bersikap? Begini, saat ini, standar-standar yang ditetapkan oleh BPOM maupun Depkes, sudah sangat ketat dan BPOM sebagai agen berwenang juga sudah mengadakan surveillance. Tentu saja bahaya kontaminasi selalu ada, tapi tidak selalu dari bahan baku susu. Bisa saja dari air yang digunakan, atau wadah botol yang tidak bersih. Oleh karena itu, selalu perhatikan kebersihan dalam pengolahan makanan, terutama apabila menyangkut makanan bayi, yang sistem kekebalan tubuhnya belum sekuat orang dewasa.
Recent Comments