Entah bagaimana denganmu, tapi buatku hidup ini adalah pindah dari satu zona nyaman ke zona nyaman lain. Atau seperti yang sering tertulis sebagai quote “Hidup seyogyanya adalah memperluas zona nyaman kita”.
Aku sama sekali tidak ahli meramalkan atau memprediksi apa yang akan terjadi di depan kita, karena teori probabilitas pun aku tidak paham. Aku hanya memasrahkan dan menjalani apa yang digariskan Allah buatku.
Aku hanya bisa melakukan rekonstruksi, mengingat-ingat kembali, apa yang sudah kujalani sejak zona nyamanku hanya sebatas kamarku hingga tiba di titik ini, di awal 2021.
Orang yang berhasil membawaku keluar dari zona nyaman pertamaku adalah Ibu Yusniar Yusuf, yang saat itu menjadi pembimbing skripsiku.
“Nana nanti kalau sudah lulus mau kerja di mana?”
“Belum tau Bu”
“Eh ngelamar di sini aja Na. Ngajar”
Reaksiku langsung ketawa. Beliau tau aku. Aku bukan orang yang dengan mudah bisa berbicara di depan banyak orang. Aku bukan orang yang nyaman bekerja di bawah sorotan orang banyak. Aku lebih nyaman bekerja sebagai orang di belakang layar. Tapi tetap saja Bu Yus menawariku ide gila itu. Jadi dosen ? Gosh…

Kuceritakan pada beliau saat di semester 6 aku dan teman-teman seangkatan harus bergiliran mempresentasikan hasil studi literatur untuk mata kuliah Seminar di depan teman sekelas dan dosen penguji. Baru membayangkannya saja sudah membuatku nervous sejak H-7.
Bagaimana ceritanya kalau aku harus menjalani tugasku sebagai dosen seumur hidupku berada di depan puluhan mahasiswa, harus bicara, menjelaskan, mengajarkan sesuatu. Bisa mati berdiri kayanya.
Percakapan itu muncul di tengah-tengah aku mendiskusikan naskah skripsiku dengan Bu Yus. Lucu juga….belum juga lulus Bu….sudah ngomongin soal akan ngelamar kerja kemana. Kalau kata anak sekarang…lulus aja dulu, kerja mah belakangan kaleee…

Dan, singkat cerita, here I am, sudah 26 tahun berhasil menjalani apa yang disarankan oleh Bu Yus. Mungkin karena sampai menjelang lulus dulu, aku juga belum tau akan jadi apa, kucoba lah melamar menjadi dosen di jurusanku dulu, Jurusan Biologi. Zona yang sudah membuatku nyaman selama ku menjadi mahasiswa. Dan perpindahan zona dari mahasiswa ke dosen, kuakui sangat berat, butuh energi, kesadaran, dan kemauan.
Keluar dari zona nyaman berikutnya adalah saat harus sekolah (lagi). Ini bukan optional seperti tawaran Bu Yus yang bisa saja tak kuikuti. Ini mandatory, hanya tinggal kapan waktunya dieksekusi. Aku bukan termasuk orang yang terlalu mengejar karir dan target. Tapi ternyata seperti berpola. S1 tahun 86, S2 tahun 96, S3 tahun 2007. Sempat aku memutuskan untuk berhenti saja di S2, padahal 3 teman seangkatanku yang sama-sama mengajar juga di departemen yang sama, sudah bergelar doktor semua, dan lulusan Jepang semua. Tahun 2006 anakku yang kecil sering sekali sakit; aku berpikir harus menentukan prioritas. Untuk apa karir kukejar tapi keluarga terabaikan. Sampai akhirnya suamiku yang semula setuju dengan keputusanku, berbalik malah mendorongku untuk lanjut S3.
Mengubah keputusan saat itu = keluar dari zona nyaman lagi.
Enam tahun lalu, sekali lagi aku harus keluar dari zona nyamanku. Entah karena rekomendasi (aku lebih senang menggunakan istilah bisikan) siapa, hingga orang nomor satu di fakultas mendudukkanku di posisi yang sama sekali asing dan baru buatku, di luar tugasku sebagai dosen.
“Learning by doing Bu”, itu titah bakal bos ku saat itu, saat kukatakan bahwa aku tak punya bekal apapun untuk menjalani tugas baru itu. Empat tahun yang penuh warna, rasa dan emosi berhasil kulewati, alhamdulillah tetap waras hahaha. Setelah itu, kupikir aku sudah bisa lengser keprabon, kembali ke departemen dengan damai hanya mengajar, riset dan membimbing mahasiswa.
Belum selesai ternyata.
Zona nyamanku ternyata masih harus diperluas. Bosku masih ingin aku bergabung di kapalnya, tapi peran yang harus kujalani berbeda lagi. Ampuuun…baru mau pinter, sudah dipindah lagi ke tempat baru, yang mengharuskan aku belajar lagi, adjustment lagi. Kuakui aku bukan fast learner, aku tidak sanggup bekerja cepat. Modalku, hanya bisa multitasking, meskipun banyak yang bilang, multitasking hanya menghasilkan goal yang tidak sesuai target karena kurang fokus.
Zona nyaman mengajar adalah dosen dan mahasiswa tatap muka, penyampaian materi kuliah, ada tugas untuk mahasiswa, dilanjutkan dengan diskusi, presentasi mahasiswa, dosen memberikan umpan balik dan ulasan. Semua dilakukan di dalam kelas, di kampus.
Lalu datanglah keriuhan : Revolusi Industri 4.0 yang menantang semua pihak (dosen dan mahasiswa) untuk keluar dari zona nyaman. Semua harus mau berubah atau bereformasi dalam sistem pembelajaran, mencari cara-cara baru yang lebih efektif dalam pembelajaran.
Semua masih enggan bergerak, semua masih ancang-ancang menemukan, mencari formula yang pas untuk kondisi masing-masing.
Lalu COVID-19 datang…
Memaksa kita semua untuk keluar dari zona nyaman kita lebih cepat. Tanpa simulasi, tanpa uji coba, tapi langsung diimplementasikan. Semua belajar dan mengajar secara daring, dari rumah, dari tempatnya masing-masing demi kesehatan.
10 bulan. 2 semester sudah kita menciptakan zona nyaman kita. Lalu sekarang setelah vaksin ditemukan, akankah zona nyaman akan diganggu lagi, dengan mulai membolehkan kegiatan belajar mengajar secara luring datang ke kampus ?
Sungguh, kali ini Zona Nyaman boleh saja diganggu lagi, tapi apakah juga akan tetap menjadi Zona Aman?
Wallahu ‘alam bishowwab
33 comments for “Zona Nyaman”