MAHASISWA MENGGUGAT Alamat Redaksi : Jl. Salemba Raya 4 – Jakarta Pusat
JAKARTA, 11 APRIL 1978 – No. 9/Th I
SALAH SATU KEPRIHATINAN KITA
Salah satu keprihatinan kita dalam bentuk pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran kita mengenai golongan Islam, adalah bahwa kenapa di dalam setiap pergerakan atau perjuangan yang bersifat nasional (umpama: Perjurngan merebut Kemerdekaan, Penumpasan G” 30 S. PKI dsb), andil serta peranan golongan Islam demikian menonjol, tetapi tatkala kemerdekaan telah tercapai atau keadaan sosial kembali pada situasi yang damai, tampak peranan golongan Islam jadi menurun. Keprihatinan ini sesungguhnya tidak hanya berpokok-pangkal pada kebutuhan mendesak terhadap pengembangan Ideologi Islam semata-mata, tetapi juga, atas dasar kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam perlu di beri kesempatan seluas-luasnya untuk memperkembangkan dirinya. Dengan keluasan kesempatan untuk memperkembangkan dirinya itu, dapatlah diharapkan sumbangan yang lebih memungkinkan dari golongan Islam terhadap pembinaan bangsa dan negara, serta pemeliharaannya terhadap perbendaharaan kulturil dan sosial yang ada. Usaha untuk pengembangan diri ini, tergantung pada dua masalah pokok: Pertama, usaha untuk menciptakan suatu situasi dan kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga golongan Islam yang ada dapat turut mempromosikan diri secara lebih wajar, serta bisa ikut membantu memperkembangktm sarana-sarana sosial, ekonomi dan politik, sejajar dengan daya-upaya yang di jalankan Pemerintah. Kedua, usaha golongan Islam untuk membina serta meningkatkan diri sendiri secara lebih terarah, sistematis dan berencana jangka panjang, agar kekuatan sosial Islam yang potensil dapat diwujudkan dalam kenyataan, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap bangsa dan negara secara lebih optimal. Dua masalah ini, meskipun tidak dapat dipisah-pisahkan secara strukturil dan operasionil, namun berdasarkan pengamatan dan pendekatan tertentu, dapatlah disimpulkan adanya karakteristik-karakteristik tersendiri. Dari segi sosial dan politik, penciptaan suatu kondisi dan situasi sosial sangat tergantung pada adanya kesempatan serta perkembangan dari pranata-pranata sosial dalam bentuk organisasi, institusi-institusi sosial dan mekanisme-mekanisme lain yang terdapat di rnasyarakat. Di lain pihak, hal tersebut juga dipengaruhi oleh peranan dan tingkah-laku politik pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan sosial-politik yang ada, dan terhadap masyarakat pada umumnya. Adanya kondisi sosial di masyarakat berupa orientasi yang berlebih-lebihan terhadap kekuasaan (power), ditambah dengan kenyataan bahwa pemerintah secara hukum maupun politik adalah pemegang kekuasaan yang syah; maka disadari atau tidak, sebagian besar kekuatan-kekuatan sosial-politik (termasuk kekuatan sosial-politik Islam), baik dalam bentuk organisasi sosial, partai-partai politik, para ulama, kiyai, dan lain-lain, jadi beroriontasi kepada pemerintah. Hal ini tampaknya punya dasar yang logis, bahwa kekuasaan adalah merupakan sarana untuk mewujudkan tingkat mobilitas sosial politik yang tinggi, baik vertikal maupun horizontal. Kenyataan-kenyataan di atas, dalam jangka pendek membuat tingkat ketergantungan yang terus-menerus kepada pemerintah, dan dengan demikian maka pembinaan terhadap lembaga kontrol yang “efektif” serta “institusionil” menjadi sukar untuk dicapai. Akibatnya, sistem-sistem politik tidak tumbuh secara wajar dan searah, tetapi semata-mata sangat tergantung pada kelangsungan suatu orde pemerintahan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperlemah semangat moril golongan Islam sendiri terhadap potensi sosial, dan tingkat, dan tingkat pengaruh mereka terhadap jalan serta perkembangan suatu pembangunan sosial dan politik. Lahirlah cara dan tingkah-laku politik yang tidak matang serta ovonturisme-politik. Terhambatlah proses “institusionalisasi” politik golongan Islam terhadap sumbangan politik yang harus dimainkannya. Pada akhinya, ia menghancurkan prinsip-prinsip politik dan khazanah kebudayaan politik Islam yang sebenarnya harus disumbangkannya untuk modernisasi sosial pada umumnya. Sudah barang tentu pendekatan terhadap masalah pertama tadi, akan menghadapkan kita pada situasi yang dilematis. Sebab, disadari maupun tidak, pemerintah dibuat berhadapan dengan masyarakat politik beserta segenap aparat dan sarana yang ada padanya. Oleh karena itu, sesungguhnya menjadi kewajiban kita agar supaya pendekatan dan penyelesaian masalah di atas tidak semata-mata di tekankan pada faktor-faktor hubungun pemerintah dan masyarakat secara kategoris, melainkan tekanan bahkan harus bisa diberikan dalam rangka hubungan fungsionil diantara keduanya. Ini berarti, bahwa berkembangnya institusi-institusi sosial, ekonomi, politik, beserta sarana-sarananya, ikut menyumbang bagi terbentuknya situasi sosial sedemikian rupa, yang mendorong pula peranan pemerintah serta kemampuan ikut-sertanya golongan-golongan dan kekuatan-kekuatan sosial-politik secara lebih luas. Bagi golongan Islam, yang menjadi masalah disini, adalah bagaimana mencari daerah atau “area of problems” untuk pengembangan diri yang jauh dari campur-tangan politik pemerintah, tetapi yang memungkinkan terciptanya suatu komunikasi politik secara lebih intensif dengan pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Daerah atau “area of problems” ini harus memungkinkan terjelmanya suatu proses “trasformasi-politik” yang berjangka panjang, dan yang mampu memproduk sejumlah kebutuhan sosial-politik secara berencana serta terarah. Dalam hal ini, nampaknya justru masalah yang kedua menjadi semakin penting !
BERI TA-BERITA SEPUTAR KAMPUS
DR. EMMERSON, PENGARANG BUKU ‘INDONESIA’S ELITE” AKAN MENGADAKAN CERAMAH DAN PENGKAJIAN DI INDONESIA
Mm, 11 April 1978 Donald K. Emmerson, seorang sarjana ilmu politik serta antropologi dan pengarang buku “Indonesia’s Elite: Political Cultur and Cultural Politics;” bermaksud mengunjungi Indonesia untuk memberikan ceramah mengenai masalah politik, strategi pembangunan dan pertanian, serta melakukan pengkajian tentang perkembangan perikanan di negeri ini. Dr. Emmerson, guru besar ilmu politik pada Universitas Wisconsin, dewasa ini tengah mengadakan pengkajian mengenai masalah perikanan di Asia dan Pasifik dalam kedudukannya sebagai konsultan pada Bank Dunia. Ia juga pernah melakukan pengkajian tentang proyek-proyek pertanian yang mendapat bantuan Bank Dunia di Indonesia. Dalam perjalanannya antara 4 dan 19 April 1978 ini, Dr. Emmerson merencanakan untuk bertemu dengan para ahli dan pejabat Indonesia di bidang perikanan, pertanian, kependudukan, serta ilmu-ilmu sosial dan politik. Ia juga bermaksud menermui Dr. Soedjatmoko, penasihat pada BAPPENAS dan diharapkan akan dapat bertemu pula dengan Gubenur Muzakir Walad, di Banda Aceh. Ia akan membahas “Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Amerika di Asia Tenggara akhir-akhir ini” dalam ceramahnya di Pusat Pengkajian Masalah-masalah Srategis dan Internasional (CSIS) di Jakarta, tanggal 5 April, dan Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) di Medan tanggal 18 April 1978. Tanggal 6 April 1978 Ia akan berbicara di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Universitas Indonesia, mengenai “Faktor-faktor Sosial dan Kebudayaan yang hendaknya dipertimbangkan dalam strategi pembangunan”. Tanggal 8 April 1978 menurut rencana ia akan membahas “Keterlibatan (Involusi) Pertanian dalam Pembangunan Pedesaan” di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Dan tanggal 15 April 1978 mengenai “Pembangunan Pedesaan di Indonesia” dalam ceramahnya di Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan, Universitas Gajah Mada (Acara di FIS-UI tanggal 8 April, rupa-rupanya batal).
Elite Indonesia BukU Dr. Emmerson tentang elite Indonesia yang baru-baru ini diterbitkan, menelusuri konsep “lndonesia yang berkebudayaan Majemuk.” Buku ini sebagian besar didasarkan atas hasil penelitian yang dilakukannya di negeri ini tahun 1967 sampai 1969. Rancangan naskahnya yang pertama di tulis tahun 1970 sampai 1973, ketika mengajar di Universitas Wisconsin. Ia kembali ke Indonesia tahun 1974 untukk mengadakan penelitian lebih lanjut dan mempersiapkan rancangan naskah yang terakhir. Berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukannya tahun 1967-1969 dan kemudian diuji lagi melalui pengamatannya pada tahun 1974, Dr.Emmerson menyusun dua kelompok yang masing-masing mewakili masyarakat Jawa dan bukan Jawa. Ia berkesimpulan bahwa diantara mereka terdapat perbedaan yang secara politis adalah monyolok dalam asal-usul sosial, latar belakang dan sikap pandangan umumnya. Ia percaya bahwa pengamatannya dapat membantu memperjelas prospek-prospek bagi keserasian antar kebudayaan dalam politik. Walaupun ia dididik sabagai Sarjana ilmu politik, namun perhatiannya tertumpah pada antropologi. Bekerjasama dengan Profesor Koentjoroningrat, seorang antropologi terkemuka di Indonesia, ia kini menulis buku “The Human Aspect of Indonesian Social Research : Voices from the Field.” Ia juga telah menulis berbagai karangan dan hasil pengkajian mengenai Indonesia, seperti yang pernah diterbitkan oleh majalah-majalah Basis, cakrawala, Kiblat dan Prisma.
TEAM SOFT-BALL UI IKUTI KOMPETISI ISL
Mm, 11 April 1978 Team Soft-Ball UI sejak Februari 1978 lalu, telah ikut dalam Kompetisi ISL (Liga Soft-Ball Internasional) di Stadion Cemara Tiga Jakarta. Kompetisi tersebut berlangsung selama 4 bulan, diikuti beberapa gabungan team tangguh Jakata dan orang-orang asing penggemar Soft-Ball. Pertandingan hanya diadakan setiap hari Minggu (sepanjang hari ada 8 kali pertandingan), cukup menarik banyak penonton yang berminat, karena teknik permainan yang disuguhkan cukup tinggi. Demikian juga halnya dengan Team Soft-Ball UI kita itu, kadang-kadang membuat kejutan-kejutan disamping memang kelihatannya cukup bisa mengimbangi permainan tem lawan. Sebenarnya, setiap kegiatan olah-raga di lingkungan mahasiswa UI yang sifatnya mengatasnamakan Universitas, akan dikoordinir oleh DM-UI. Namun untuk team Soft-Ball UI ini, menurut Ketuanya, Syamsul Bakri: “Team Soft-Ball UI berusaha sendiri menutupi pembiayaan yang cukup lumayan, dengan jalan memakai sponsor-sponsor.
IKDIA FIS-UI ADAKAN CERAMAH
Mm. 11 April 1978 Ikatan Keluarga Departemen Ilmu administrasi (IKDIA) FIS-UI, tanggal 10 April 1978, menyelenggarakan ceramah ilmiah berjudul : PERANAN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN DALAM PROSES PEMBANGUNAN. Ceramah tersebut disampaikan oleh : Bintoro Tjokroamidjojo, Deputi Bidang Administarsi BAPPENAS, pada pukul 10.00 s/d 12.00 Wib, bertempat di Ruang Seminar FIS-UI Rawamangun Jakarta. Menurut Ketua IKDIA, Arsani, paper ceramah tersebut dapat diperoleh di Bursa Buku FIS-UI.
GARA-GARA PROF. OSMAN RALIBY
Mm. 11 April 1978 Beberapa waktu yang lalu, Prof. Osman Raliby, Guru Besar Studi Islamica UI, menerangkan kepada para mahasiswa tentang jenis Hukum Islam, seperti : Wajib, Sunnah, Muabh, Haram dan Makruh. Masing-masing disertai dengan contoh-contoh konkrit. Misalnya untuk perbuatan makruh, Prof. Osman Raliby memberikan contoh “merokok” (Makruh berarti dikerjakan tidak apa-apa, dan bila ditinggalkan mendapat pahala). Dengan gaya humor, Prof. Raliby di depan para mahasiswa FIS-UI (kebetulan saat itu ada beberapa mahasiswa yang lagi merokok); “Yang merokok tidak apa-apa, jangan dibuang !” Memang tampaknya beberapa mahasiswa yang lagi merokok itu rada nggak enak, ketika Prof. Raliby memberikan contoh “merokok” itu adalah perbuatan makruh. Mereka tetap saja merokok, dan memang tidak ada apa-apa. Beberapa waktu kemudian, kejadian yang tidak apa-apa dan malah dianggap humor yang menyegarkan waktu kuliah tersebut, rupa-rupanya dibangkitkan lagi oleh beberapa mahasiswa yang diserahi tugas untuk memperbanyak DIKTAT mata kuliah Sejarah masyarakat Indonesia. Mereka yang memperbanyak diktat tersebut adalah mahasiswa FIS-UI tingkat II (Angkatan “77), dan diktat yang mereka perbanyak sekitar 120 buah itu Cuma untuk mahasiswa tingkat II saja. Tujuannya menyinggung soal makruh tadi, tampaknya juga untuk humor ditengah-tengah tulisan yang serius tentang sejarah. Isinya antara lain : STOP PRESSS !! “Kuliah Studi Islamica kok nggak boleh merokok yah, asin deh !……… Makruuuuuuuuuuuh !!! uq ……….bursa ide koq mati yah, lesyuuuuuuuu ………., arf AH, gara-gara contoh Prof. Osman Raliby tentang merokok ! Tapi tak apa deh !
PENATARAN PSIKOLOGI SOSIAL 1978 Mm, 11 April 1978 Fakutas Psikologi UI menyelenggarakan Penataran Psikologi Sosial dengan thema : “Teori kognitif, Analisa varians dan Analisa Kovarians”. Penataran yang berlangsung tanggal 3 April 1978 – 15 April 1978 itu, bertempat di Fakultas Psikologi UI Rawamangun, dan diikuti oleh para peserta dari UI, UNPAD, UGM dan sarjana-sarjana Psikologi diluar fakultas-fakultas Psikologi
DEKAN CUP 1978 FIPIA UI
Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam melalui Sie Olahraga sedang mengadakan pekan olahraga dengan nama “Dekan Cup 1978.” Pada Pekan Olahraga ini dipertandingkan empat cabang olahraga: Basket, Tenis Medja, Sepakbola, dan Catur. Untuk cabang olahraga: Basket dipertandingkan kelompok Putra/Putri, Tenis Meja Putra/Putri, dan Vollyy Putra/Putri. Pekan Olahraga yang diselenggarakan sejak awal April ini dimeriahkan oleh semua jurusan yang ada di fakultas tersebut. Mereka meliputi : Kelompok Fisika, Matematika, Biologi, Kimia, Farmasi dan Geografi. Pertandingan ini diselenggarakan di beberapa tempat secara terpisah. Sepakbola mengambil tempat; Stadion Utama “Daksinapati” yang rumputnya berwarna colat berdebu. Catur di Ruang Senat dan sisanya di GOR Mahasiswa Kuningan
SURAT PEMBACA
Jakarta, 8 April 1978.
Kepada: Yth. Pimpinan Redaksi Mahasiswa Menggugat Salemba 4 JAKARTA “
Dengan hormat; Pada ruang “Surat Pembaca” Mm no. 8 tahun 1978 yang lalu dimana memuat surat untuk Pimpinan MPM-UI te[:rdapat kekeliruan, yaitu : II. Mengingat Tertulls : a) “Pasal I ayat (1) AD-IKMUI”, seharusnya “Pasal I AD-IKMUI”, jadi tanpa “ayat (1)” b) “Pasal IX ayat (2) ART-IKMUI”, seharusnya : “Pasal IX ART-IKMUI”. Jadi tanpa ayat (2)”. c) “Pasal XV ayat (2) ART-IKMUI”, seharusnya “Pasal XV ART-IKMUI. Jadi tanpa ayat (2)”. Atas bantuan Redaksi untuk memuat ralat ini, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. ‘
atas nama para penanda tangan :
ttd
Arsani (Anggota MPM-UI)
ULASAN : TEORI SNOUCK HOUGRONYE SEDANG DITERAPKAN BAKIN
Mm. 11 April 1978 Polanya sama saja, kalau ada yang “pro” lalu dibikin yang “kontra” atau sebaliknya. Itulah, agak sungkan untuk menyebutkannya sebagai “kemerdekaan untuk berbeda pendapat,” sebab disana ada unsur “permainan.” Toch -tak apalah disini disebut permainan pihak intelijen. Dulu dikenal sebagai Opsus, kini Bakin. Mulai saja dari Parmusi Pimpinana Djarnawi, lalu dibajak oleh Joni Naro dan Mintaredja; NU Subhan ZE dan NU Idham Chalid; PNI Sunawar dengan PNI Isnaeni, dan berobah belakangan menjadi PNIm Sunawar-Isnaeni lawan PNI Sanusi-Oesep. Yang agak lancar “ngerjainya,” cuma golongan buruh yang tergabung dalam Federesi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Nah, ketika tiba giliran kaum muda untuk “digarap,” nampaknya susah bagi Bakin tadi. Paling-paling hanya bisa untuk “membina” beberapa orang dengan segala cara, toch bisa diambil dari Snouok Hourgronye yang memecah-belah rakyat Aceh dari dalam. Kalangan Osis (Organisasi Intra Sekolah) telah “dibina” dengan memberikan fasilitas-fasilitas khusus (misalnya di Jakarta dengan menghadiahkan karcis-karcis nonton gratis). Munculnya Ikatan-Ikatan Mahasiswa Frofesi pada awal tahun 1970-an, adalah awal dari “akselerasi 25 tahun” mahasiswa (Hariman Siregar pernah ada dalam Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia, dan ternyata ia balik kiri) – tapi akhirnya organisasi bikinan itu hilang lenyap begitu saja. Tujuan semula ialah untuk menyaingi peranan organisasi ekstra universiter di Perguruan Tinggi, dan sekaligus menumbuhkan “golongan-pemerintah” di kalangan mahasiswa. Di Jakarta, kalangan mahasiswa ini pada waktu itu disebut “Orang Tanah Abang Tiga,” karena di alamat itu bermarkas Opsus (Sekretaris Presiden Bidang 0perasi Khusus, Ali Murtopo, Menteri Penerangan RI sekarang ini). Pada saat Ikatan Mahasiswa Profesi mengalami kegagalan sengaja diforsir pembentukan KNPI, oleh sementara mahasiswa, disingkat menjadi Komite Nasional Mahasiswa Intel” Pencetus ini ternyata datangnya dari Midian Sirait (Golkar). Maka berdirilah KNPl-KNPI secara Nasional, dengan peran khusus dari “atas.” Tak ayal pulalah banyak anggotanya terdiri “golongan-tua” atau “pegawai negeri” atau orang-orang yang mau digaji untuk itu. = Munculnya organisasi-organisasi apa yang mereka namakan “Angkatan Muda Siliwangi,” “Angkatan Muda Mataram,” “Angkatan Muda Diponegoro,” “Angkatan Muda Brawidjaja,” “Angkatan Muda Mulawarman,“ “Pemuda Madura,” “Pemuda Banten,” dan lain-lain, merupakan hasil pencemaran yang telah distel. Buktinya mereka sepakat dan senada dalam suara golongan pemerintah, “Mendukung Suharto dan Hamengkubuwono menjadi Presiden/Wakil Presiden dalam SU MPR 1978, dan mendukung masuknya KNPI dalam GBHN. (Ingat Orde lama dalam memperlakukan Soekarno). Untuk lokal dan insidentil-disaat aksi mahasiswa menjelang SU MPR yang lalu-berdiri pula di Yogyakarta apa yang mereka namakan “Study Group Mahasiswa” (menggunakan mahasiswa Gadjah Mada) dan di Jakarta ada “Mahasiswa Indonesia.” (sengaja menggunakan banyak mahasiswa UI) pimpinD.D Labuan yang menyebarkan pamplet gelap pada Peringatan Tri Tura yang lalu di Jakarta, sebagai “kontra aksi,” (ingat “teror kontra teror”nya Subandrio di zaman Orla). Kelompok di atas telah pula menyatakan dirinya; sebagai pendukung pemerintah dan menyokong masuknya KNPI dalam GBHN. Jelaslah dari mana asal “Oknum” ini. Paling tidak alam menimbulkan opini masyarakat, bahwa “aksi mahasiswa sekarang ini bukanlah keinginan semua mahasiswa, seperti tersirat dalam pamflet gelap mereka: “DM/SM bukan rakyat Indonesia” “DPR dipilih oleh 130 juta rakyat Indonesia” Apakah kesengajaan untuk memecah belah pamuda/mahsiswa merupakan target tertentu dari kalangan Pemerintah? Cobalah lihat “dua pola” pada saat Peringatan Tri Tura yang lalu di Jakarta, Golongan pemerintah memperingatinya di Gedung Olah-Raga Kuningan, dan kalangan mahasiswa di Kampus UI Salemba. Di Kuningan dihadiri oleh Adam Malik, Ali Murtopo, dari eksponen ‘66nya): Abdul Gafur (dokter, perwira Angkatan Udara), David Napitupulu (Golkar/KNPI) , Cosmas Batubara (Golkar), Sofyan Wanandi (nama Cina Liem Bien Koen-Golkar/Pengusaha), Firdaus Waljdi (Bakin/pengusaha), Suwarto (dokter/Golkar), siswa-siswa dari Osis dan beberapa orang mahasiswa Sedangkan di Salemba UI dihadiri oleh para mahasiswa dari Yogya. Bandung dan Surabaya. Eksponen ‘66 menghadirinya, antara lain: Zamroni, Fahmi Idris, Louis Wangge, Adnan Buyung Nasution, Letjen Kemal Idris dan masyarakat. Mengapa mahasiswa/pemuda mau dipecah-belah? Agaknya persoalan sudah menjadi antara ‘”butuh” dan “tidak butuh,” seperti kata David beberapa tahun orang lewat; “Apakah ada Undang-Undang yang melarang orang untuk jadi kaya.?” Bah !
“PINTU GERBANG” KAMPUS UI SALEMBA MASIH DITUTUP
Kampus Universitas Indonesia sejak kemelut melanda universitas ini akibat gerakan kemahasiswaan di awal Januari menjadi sorotan pihak keamanan daerah, dalam hal ini Laksusda Jakarta. Pihak keamanan ini telah berusaha keras menjaga keamanan kampus dan sekaligus melakukan tindak drastis terhadap langkah yang dilakukan mahasiswa. Usaha pengamanan tersebut lebih diperketat bukan hanya untuk lingkungan kampus tetapi seluruh wilayah Jakarta. Ini dilakukan mengingat akan diadakannya SU MPR bulan Maret 1978 (yang lewat) yang kita tahu telah melantik Presiden dan wakil presiden. Demi menjaga kemungkinan tidak diijinkan maka Presidium KMUI menyatakan mogok kuliah yang dilakukan tanggal 6 sampai dengan 26 Maret 1978. Dengan ini praktis Kampus. “ditutup” (?). Ditutupnya kampus untuk sementara mengakibatkan pintu gerbang di tutup pula. Pintu gorbang yang ada di kampus UI Salemba ini terdiri dari dua sayap. Satu boleh dikatakan sayap kanan menuju fakultas kedokteran dan satu lagi sayap kiri menuju rektorat tepatnya di depan Mesjid Arief Rahman Hakim.” Sekarang mogok kuliah telah selesai dan mahasiswa telah “Back to Campus” meminjam istilah kembaliya Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo ke UI (pojok Sinar Harapan – Vivere voricoloso -). Dengan ini berarti pintu gerbang dibuka kembali. Dan memang pintu telah dibuka tetapi hanya yang sebelah kanan (sayap kanan) sedangkan pintu gerbang sayap kiri, masih ditutup. Mungkin menjaga pintu malas membuka atau pak Rektor melarang, kita “enggak” tahu yang jelas pintu sayap kiri masih dikunci. (SNW)