November 14, 2011

Universitas Nasdem

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:19 am

Rabu malam lalu (09/111) stasiun televisi Metro menayangkan secara utuh acara deklarasi sekelompok mahasiswa yang bergabung dengan Partai Nasional Demokrat. Dalam kesempatan itu terlihat para petinggi Nasdem duduk di deretan terdepan kursi dekat panggung. Sementara itu dalam berita berjalan (running text) disebutkan sederetan nama-nama Pembina/pengurus/penasihat (?) petinggi partai Nasdem lengkap dengan gelar Prof.Dr.

Dalam deklarasi itu, disebutkan kalau selama ini para mahasiswa hanya menjadi “parlemen jalanan” maka kini telah terwadahi dalam partai Nasdem. Karena itu deklarasi mengajak kepada segenap mahasiswa lainnya untuk bergabung dalam partai Nasdem. Karena partai ini mempunyai keinginan untuk melakukan perubahan (restorasi). Dan lain sebagainya.

Yang ingin dikomentari disini, untuk pertama kalinya satu partai di Indonesia secara terang-terangan melakukan perekrutan dari kalangan mahasiswa dan para tenaga pendidik (Prof.Dr.). Dan untuk pertama kalinya dicantumkan gelar dan jabatan seorang tenaga pendidik (Prof.Dr.). Bagi yang tidak mengerti, barangkali hal demikian biasa saja. Tetapi disini ada masalah etika akademis yang telah dilanggar oleh partai Nasdem, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Jika hal ini dibiarkan, akan merusak etika akademik yang menjadi pedoman dasar di bidang kependidikan.

Penulis masih ingat ceramah (alm) Prof. Dr. Fuad Hassan tentang etika akademik pada tahun 2006 berkenaan dengan perayaan Dies Natalis UI, yang kemudian isi ceramah tersebut dibuat menjadi buku. Beberapa tahun lalu buku ini diberikan untuk para mahasiswa baru UI dan menjadi bahan untuk Program Dasar Pendidikan Tinggi. Dalam suatu kesempatan Prof. Dr.Fuad Hassan pernah bercerita, ketika dia menjadi kepala Balitbang Kementerian Luar Negeri, kemudian menjadi Duta Besar Mesir, hanya mencantumkan jenjang akademis yang telah dicapainya (Dr), sedangkan Profesornya tidak pernah dicantumkan lagi. Alasannya Profesor itu satu jabatan karena dedikasinya sebagai tenaga pendidik dan hanya boleh digunakan dalam kaitannya dengan bidang pendidikan. Ketika seorang staf pengajar, lebih banyak aktif di luar bidang pendidikan, maka secar etika jabatan profesornya harus ditanggalkan.

Maka ketika dia menjadi menteri, tidak pernah mencantumkan Profesornya. Bahkan doktornya pun tidak pernah dipakai lagi, hanya mencantumkan namanya saja. Tetapi repotnya di negeri kita ini lebih banyak orang yang mengedepankan “kembangnya” ketimbang “buah” (karya ilmiah). Maka rasanya tidak “gagah” kalau tidak mencantumkan gelar akademis yang telah diraihnya. Tapi rasanya masih kurang gagah juga, sehingga perlu mencantumkan jabatan Profesor. Pernah terjadi seorang pejabat negara, karena mengurusi bidang kependidikan, tanpa melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kependidikan (mengajar, membimbing mahasiswa S1/S2/S3, meneliti/menghasilkan karya ilmiah), dicantumkanlah jabatan Profesor di depan namanya. Dalam kasus lain, ada pejabat negara (dari kalangan akademisi) dalam surat menyurat masih mencantumkan gelar Profesor doktor. Repotnya, belakangan pejabat tersebut tersangkut masalah korupsi.

Kembali kepada Partai Nasdem, mungkin sebaiknya membuat universitas saja. Sudah ada sederetan nama profesor yang ahli di berbagai bidang, sudah ada mahasiswa. Tinggal melakukan Tridharma Perguruan Tinggi. Berikan masukan kepada pemerintah dari hasil kajian ilmiah para pakar, sebagai bentuk nyata restorasi. Insya Allah tidak akan dicap sebagai “makar”, daripada seperti sekarang berlindung dibalik nama partai, tapi mencederai dan merusak etika akademik yang selama ini menjadi pedoman perguruan tinggi. (141111)

November 10, 2011

Beginilah Seharusnya Seorang Rektor

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:35 am

“Keislaman Indonesia” oleh Komaruddin Hidayat Opini KOMPAS, Sabtu 5 November 2011. Pertama kali mendengar artikel di atas, diberi tahu seorang teman di salah satu milis, “ada artikel bagus” katanya. Waktu itu belum sempat untuk melihat –lihat di harian Kompas karena kesibukan kegiatan. Tapi pagi ini seorang teman mengirimkan tulisan tersebut di satu milis. Setelah membaca, tiba-tiba timbul gagasan untuk menulis dengan judul di atas.

Pertama kali kenal dengan Komaruddin Hidayat, puluhan tahun lalu. Saat itu dia menjadi khatib shalat idul fitri di alun-alun Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Ibukota kabupaten tempat kelahiran penulis. Bupati Majalengka masih dijabat Tuti (adik kandung Yogi S. Memet, mantan Mendagri). Waktu itu namanya sudah mulai dikenal sebagai dosen IAIN Ciputat yang sering menulis di Media. Kenapa dia menjadi khatib shalat Idul Fitri di Majalengka, ternyata istrinya adalah orang Majalengka.

Setelah itu, beberapa kali bertemu di lingkungan UI dalam berbagai kegiatan. Bahkan satu kali dia diundang ceramah agama bulanan di Rektorat pada saat Rektor UI baru saja dijabat Gumilar. Menurut penuturannya, ada anaknya yang menjadi mahasiswa Psikologi UI dan kini sudah menjadi sarjana. Setelah itu, dalam berbagai kesempatan kerap bertemu dan pemikiran-pemikirannya sangat memikat. Waktu itu namanya sebagai pemikir Islam masih berada di bawah “bayang-bayang” Nurcholis Madjid dan Azyumardi Azra (Rektor UIN). Ketika menjabat Rektor Paramadina dan kemudian menjadi Direktur Program Pascasarjana UIN Ciputat, barulah namanya mulai “berkibar”. Apalagi setelah menjabat sebagai Rektor UIN. Dalam dunia perbukuan, dia sempat menulis buku “Psikologi Kematian” dan menjadi best seller yang banyak diminati berbagai kalangan masyarakat.

Terakhir bertemu awal agustus ketika ada pemberian beasiswa pada acara buka puasa bersama di Bank Indonesia dan acara halal bihalal di Fakultas Hukum UI September lalu. Topik-topik yang dia kemukakan pada dua acara itu sangat menarik dan aktual. Bahkan pada acara halal bihalal di FHUI, dia membawa buku yang masih dibaca belum selesai dan mengemukakan isi buku pada acara tersebut. Luar biasanya, dia masih mau menyempatkan datang pada acara halal bihalal level fakultas. Ini menunjukkan betapa rendah hati dan tidak “berjarak”, sehingga bersedia memberikan tausiah pada forum kecil. Waktu itu kebetulan Rektor UI juga hadir.

Melihat isi tulisan di Kompas seperti disebutkan di atas, menunjukkan dia benar-benar serius dan mendalami apa yang menjadi permasalahan di masyarakat. Kupasan dan analisisnya sesuai dengan bidang keilmuan yang digelutinya serta menjadi pusat perhatian universitas yang dipimpinnya. Sama sekali tidak terlihat unsur politik atau interes pribadi. Kalau saja semua pimpinan perguruan tinggi mempunyai pemikiran seperti itu, akan sangat menentramkan masyarakat dan menjadi masukan bagi pemangku kekuasaan untuk memecahkan persoalan bangsa. (101111)