Universitas Nasdem
Rabu malam lalu (09/111) stasiun televisi Metro menayangkan secara utuh acara deklarasi sekelompok mahasiswa yang bergabung dengan Partai Nasional Demokrat. Dalam kesempatan itu terlihat para petinggi Nasdem duduk di deretan terdepan kursi dekat panggung. Sementara itu dalam berita berjalan (running text) disebutkan sederetan nama-nama Pembina/pengurus/penasihat (?) petinggi partai Nasdem lengkap dengan gelar Prof.Dr.
Dalam deklarasi itu, disebutkan kalau selama ini para mahasiswa hanya menjadi “parlemen jalanan” maka kini telah terwadahi dalam partai Nasdem. Karena itu deklarasi mengajak kepada segenap mahasiswa lainnya untuk bergabung dalam partai Nasdem. Karena partai ini mempunyai keinginan untuk melakukan perubahan (restorasi). Dan lain sebagainya.
Yang ingin dikomentari disini, untuk pertama kalinya satu partai di Indonesia secara terang-terangan melakukan perekrutan dari kalangan mahasiswa dan para tenaga pendidik (Prof.Dr.). Dan untuk pertama kalinya dicantumkan gelar dan jabatan seorang tenaga pendidik (Prof.Dr.). Bagi yang tidak mengerti, barangkali hal demikian biasa saja. Tetapi disini ada masalah etika akademis yang telah dilanggar oleh partai Nasdem, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Jika hal ini dibiarkan, akan merusak etika akademik yang menjadi pedoman dasar di bidang kependidikan.
Penulis masih ingat ceramah (alm) Prof. Dr. Fuad Hassan tentang etika akademik pada tahun 2006 berkenaan dengan perayaan Dies Natalis UI, yang kemudian isi ceramah tersebut dibuat menjadi buku. Beberapa tahun lalu buku ini diberikan untuk para mahasiswa baru UI dan menjadi bahan untuk Program Dasar Pendidikan Tinggi. Dalam suatu kesempatan Prof. Dr.Fuad Hassan pernah bercerita, ketika dia menjadi kepala Balitbang Kementerian Luar Negeri, kemudian menjadi Duta Besar Mesir, hanya mencantumkan jenjang akademis yang telah dicapainya (Dr), sedangkan Profesornya tidak pernah dicantumkan lagi. Alasannya Profesor itu satu jabatan karena dedikasinya sebagai tenaga pendidik dan hanya boleh digunakan dalam kaitannya dengan bidang pendidikan. Ketika seorang staf pengajar, lebih banyak aktif di luar bidang pendidikan, maka secar etika jabatan profesornya harus ditanggalkan.
Maka ketika dia menjadi menteri, tidak pernah mencantumkan Profesornya. Bahkan doktornya pun tidak pernah dipakai lagi, hanya mencantumkan namanya saja. Tetapi repotnya di negeri kita ini lebih banyak orang yang mengedepankan “kembangnya” ketimbang “buah” (karya ilmiah). Maka rasanya tidak “gagah” kalau tidak mencantumkan gelar akademis yang telah diraihnya. Tapi rasanya masih kurang gagah juga, sehingga perlu mencantumkan jabatan Profesor. Pernah terjadi seorang pejabat negara, karena mengurusi bidang kependidikan, tanpa melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kependidikan (mengajar, membimbing mahasiswa S1/S2/S3, meneliti/menghasilkan karya ilmiah), dicantumkanlah jabatan Profesor di depan namanya. Dalam kasus lain, ada pejabat negara (dari kalangan akademisi) dalam surat menyurat masih mencantumkan gelar Profesor doktor. Repotnya, belakangan pejabat tersebut tersangkut masalah korupsi.
Kembali kepada Partai Nasdem, mungkin sebaiknya membuat universitas saja. Sudah ada sederetan nama profesor yang ahli di berbagai bidang, sudah ada mahasiswa. Tinggal melakukan Tridharma Perguruan Tinggi. Berikan masukan kepada pemerintah dari hasil kajian ilmiah para pakar, sebagai bentuk nyata restorasi. Insya Allah tidak akan dicap sebagai “makar”, daripada seperti sekarang berlindung dibalik nama partai, tapi mencederai dan merusak etika akademik yang selama ini menjadi pedoman perguruan tinggi. (141111)