Mang Ayat 4: Arif Rahman Hakim Gugur
…………………………………. Lalu tibalah tanggal 24 Februari 1966 yang bersejarah itu. Presiden Soekarno bermaksud melantik kabinet baru yang di kalangan mahasiswa dikenal sebagai kabinet semen yang akronim dari “Kabinet Seratus Menteri”. Kabinet yang nama resminya disebut sebagai “Kabinet Gotongroyong yang lebih disempurnakan lagi” itu ditolak kehadirannya oleh para mahasiswa, pelajar dan berbagai kelompok masyarakat yang lain. Salah satu upaya penolakan itu berupa unjuk rasa pada hari itu. Mereka yang berunjuk rasa bukan hanya mahasiswa dan pelajar dari atau di Jakarta, melainkan dari mana-mana. Mereka sudah sejak subuh berbondong-bondong dan bergerombol-gerombol menuju lapangan Gambir atau Tugu Monas. Jaket warna warni yang memberikan gambaran puluhan universitas terwakili, kian lama kian semarak. Warna kuning, merah, hijau, biru, coklat, jingga memenuhi lapangan yang luasnya sekitar seratus hektar itu. Termasuk mahasiswa FSUI.
Pagi itu aku bermaksud ke kantor (LPPN) di jalan Kimia 12. Aku menginap di museum Nasional. Karena hari-hari itu sangat sukar mencari kendaraan, termasuk bis kota, aku dengan santai berjalan menyusur Jalan Merdeka Barat ke arah selatan. Agak memotong sehingga aku masuk ke Jalan Sabang, lalu berbelok ke kiri ke Jalan Kebon Sirih. Sepanjang jalan kulihat warna-warni jaket mulai secara bergelombang mengisi lapangan luas itu. Di ujung Jalan Kebon Sirih itu, dekat rel kereta api, aku berpapasan dengna beberapa orang mahasiswa Sastera yang kukenal. Mereka mengajakku bergabung, dan karena menurut perhitungannku di kantor juga tidak ada sesuatu yang harus kukerjakan, aku pun bergabung. Apa yang harus kukerjakan? Bukankah tugasku menunggu uang honorarium para kuncen candi dan bangunan kuna di seluruh Jawa Timur yang harus kubawa kembali ke Mojokerto? Tanpa uang itu, jangan pulang, begitu pesan Owob di Mojokerto.
Aku pun bergabung. Beramai-ramai kami berbelok ke arah utara. Gelombang manusia yang berdatangan kian dahsyat. Akhirnya dapat dikatakan bagian utara lapangan seratusan hektar itu dipadati manusia dengan berbagai warna jaket dan laksana atau atribut. Kami bersorak-sorak, bernyanyi-nyanyi meneriakan berbagai yel. Intinya, mengumandangkan tri tuntutan rakyat yang sudah dinyatakan 40 hari sebelumnya, 10 Januari 1966.
Akhirnya aku tiba di pinggir jalan. Tepat di “mulut” Jalan Veteran yang menghubungkan Jalan Merdeka Utara dengan Jalan Segara. Namun dari Jalan Veteran orang tidak dapat langsung berbelok ke arah kanan jika ingin menuju Merdeka Barat atau Tanahabang. Ia harus berbelok kesebelah kiri, lalu di ujung Jalan Veteran 1 memutar ke sebelah kanan. Di pojok jalan itu terletak markas resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal khusus Presiden.
Seperti yang lain-lain, aku kadang turut berteriak , karena aku lebih banyak diam dan mengamati bagaimana tingkah dan perilaku para unjukrasawan itu. Teriakan kian menggema, kadang-kadang disertai kata-kata yang mungkin terasa menyakitkan bagi yang menjadi sasaran. Pasukan Cakrabirawa yang berjaga-jaga tepat di seberang jalan, rupanya tidak tahan berdiam. Mereka mulai mengokang senjata mereka. Disambung dengan rentetan letusan senjata yang diarahkan ke udara. Karena tembakan-tembakan itu diarahkan ke langit terbuka, para unjukrasawan menjadi lebih berani. Sambil menyerukan Allahu Akbar sambung menyambung, kami kian riuh-rendah berteriak dan berseru. Tembakan-tembakan itu kian diarahkan ke bawah. Akhirnya, tembakan-tembakan itu tidak lagi ke atas, melainkan ke arah kami. Kami pun berlarian, tiarap, mencari tempat berlindung. Aku termasuk yang segera bertiarap di tempat karena pada dasarnya aku sangat takut dan ngeri mendengar letusan senjata. Apalagi jika itu diarahkan langsung kepada kami.
Tanpa memilih tempat, aku langsung tiarap. Tepat di tepi selokan kering yang membatasi jalan. Tanah di situ kebetulan kering, walaupun satu atau dua hari sebelumnya Jakarta diguyur hujan. Lalu tiba-tiba kudengar ada seseorang terpekik tepat di belakangku. Tapi kami masih belum ada yang berani beranjak dari tempat kami masing-masing. Suara tembakan belum reda. Barulah setelah tembakan-tembakan berhenti, kami mulai berani beranjak. Termasuk aku yang ingin segera melarikan diri karena kengerian mendengar bunyi senjata bersahutan itu.
Tepat di belakangku seseorang mengerang. Ia mengenakan jaket kuning. Kulihat dadanya bersimbah darah. Aku langsung pusing. Melihat darah yang mengucur demikian banyak itu sama sekali bukan kegemaranku. Pernah pada suatu pagi beberapa tahun sebelumnya, aku menyaksikan seorang anak dikhitan. Ketika kulup baru terpisah dari batang kemaluan, dan terlihat daging memutih, aku belum merasa apa-apa. Namun ketika dari situ darah mulai keluar, mataku berkunang-kunang dan perut terasa melilit. Aku segera meninggalkan tempat itu.
Demikian juga pada hari yang bersejarah itu. Mataku berkunang-kunang. Karenanya aku tidak lama-lama menatap tubuh yang terkapar itu. Rupanya ia tertembak ketika berusaha pindah dari tempatnya tiarap di belakangku itu. Tanah tempatnya tiarap becek, sementara beberapa langkah di kanannya ada sebatang pohon yang akan dapat digunakan sebagai tempat berlindung. Namun sebelum ia sampai ke balik pohon, peluru keburu menyambarnya, dan ia pun terkapar dan mengerang. Untunglah tidak lama kemudian beberapa orang datang, lantas menggotong tubuh itu. Katanya dibawa kerumah sakit, atau entah kemana. Kalaulah aku tidak segera tiarap, pasti tidak ada yang membaca catatan ini. Bukankan aku tepat di depan orang yang tertembak itu?
Tapi korban belum cukup seorang itu. Beberapa waktu setelah tembakan berhenti, para unjukrasawan kembali bersemangat. Pasukan Cakrabirawa yang berjaga-jaga dengan sangkur terhunuspun terpancing lagi. Maka dalam kemelut yang terjadi di Jalan Merdeka Utara itu pun, seorang siswa perempuan tertusuk. Seperti korban yang tertembak, siswa itu pun diangkut entah kemana. Ke rumah sakit atau entah kemana. Baru kemudian aku tahu, mahasiswa berjaket kuning itu bernama Arif Rahman Hakim, mahasiswa FKUI tingkat terakhir. Siswa itu bernama Jubaedah, tercatat sebagai siswa di salah satu SMA di Kota Bogor.
Setelah semuanya berakhir, aku menyusur Jalan Merdeka Utara ke arah mesjid Istiqlal. Di situ terletak Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Di antara para perwira yang langsung kukenali adalah Nugroho Notosusanto, kolonel titular yang menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Mengapa jadi begini, Mas? Aku bertanya setengah menggugat. Lalu jawabnya yang bagiku seolah menyalahkan para mahasiswa dan para unjukrasawan lainnya: Itulah kalau tidak ada yang mau mengalah…..
Karena itu alangkah sakitnya hatiku ketika beberapa tahun kemudian, seorang bernama Permadi yang terkenal sebagai tokoh paranormal dan bahkan menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam salah satu pernyataannya mengatakan bahwa yang dibesar-besarkan sebagai korban itu adalah tokoh fiktif. Katanya, pada hari itu sama sekali tidak ada korban yang jatuh. Lalu, jika benar fiktif, buat apa FKUI memutuskan Arif Rahman Hakim sebagai sarjana kedokteran anumerta? Jika tidak ada korban tertembak, siapa yang terkapar, mengerang, dan kemudian digotong beramai-ramai, dibawa entah kemana itu?
Ketika keesokan harinya UI menyelenggarakan upacara pemakaman, aku sempat hadir diantara para pelayat. Demikian banyaknya orang di Salemba 4. Mereka berdatangan dari mana-mana. Mereka berasal dari berbagai golongan. Semuanya larut dalam keharuan. Taufik Ismail pun menulis beberapa sajak berkenaan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi di seputar masa itu.
Pohon yang diharapkan menjadi tempat berlindung Arif Rahman Hakim sekarang tidak ada lagi. Sudah ditebang mungkin dengan alasan “menembuskan” jalan dari arah utara. Agar dari Jalan Veteran orang tidak usah memutar dulu ke kiri, baru di ujung berbelok lagi ke kanan. Dengan penembusan itu, orang dapat langsung dari Jalan Veteran berbelok ke kanan. Namun bagiku, hilangnya pohon itu, berarti juga hilangnya sebuah monumen yang seharusnya menjadi “saksi bisu” peristiwa tanggal 24 Februari 1966 itu. (290711) (Mengutip dari Buku Memoar Ayatrohaedi “65=67 Catatan Acak-acakan dan cacatan apa adanya”, Pustaka Jaya, Januari 2011)