July 29, 2011

Mang Ayat 4: Arif Rahman Hakim Gugur

Filed under: Uncategorized — rani @ 11:16 pm

…………………………………. Lalu tibalah tanggal 24 Februari 1966 yang bersejarah itu. Presiden Soekarno bermaksud melantik kabinet baru yang di kalangan mahasiswa dikenal sebagai kabinet semen yang akronim dari “Kabinet Seratus Menteri”. Kabinet yang nama resminya disebut sebagai “Kabinet Gotongroyong yang lebih disempurnakan lagi” itu ditolak kehadirannya oleh para mahasiswa, pelajar dan berbagai kelompok masyarakat yang lain. Salah satu upaya penolakan itu berupa unjuk rasa pada hari itu. Mereka yang berunjuk rasa bukan hanya mahasiswa dan pelajar dari atau di Jakarta, melainkan dari mana-mana. Mereka sudah sejak subuh berbondong-bondong dan bergerombol-gerombol menuju lapangan Gambir atau Tugu Monas. Jaket warna warni yang memberikan gambaran puluhan universitas terwakili, kian lama kian semarak. Warna kuning, merah, hijau, biru, coklat, jingga memenuhi lapangan yang luasnya sekitar seratus hektar itu. Termasuk mahasiswa FSUI.

Pagi itu aku bermaksud ke kantor (LPPN) di jalan Kimia 12. Aku menginap di museum Nasional. Karena hari-hari itu sangat sukar mencari kendaraan, termasuk bis kota, aku dengan santai berjalan menyusur Jalan Merdeka Barat ke arah selatan. Agak memotong sehingga aku masuk ke Jalan Sabang, lalu berbelok ke kiri ke Jalan Kebon Sirih. Sepanjang jalan kulihat warna-warni jaket mulai secara bergelombang mengisi lapangan luas itu. Di ujung Jalan Kebon Sirih itu, dekat rel kereta api, aku berpapasan dengna beberapa orang mahasiswa Sastera yang kukenal. Mereka mengajakku bergabung, dan karena menurut perhitungannku di kantor juga tidak ada sesuatu yang harus kukerjakan, aku pun bergabung. Apa yang harus kukerjakan? Bukankah tugasku menunggu uang honorarium para kuncen candi dan bangunan kuna di seluruh Jawa Timur yang harus kubawa kembali ke Mojokerto? Tanpa uang itu, jangan pulang, begitu pesan Owob di Mojokerto.

Aku pun bergabung. Beramai-ramai kami berbelok ke arah utara. Gelombang manusia yang berdatangan kian dahsyat. Akhirnya dapat dikatakan bagian utara lapangan seratusan hektar itu dipadati manusia dengan berbagai warna jaket dan laksana atau atribut. Kami bersorak-sorak, bernyanyi-nyanyi meneriakan berbagai yel. Intinya, mengumandangkan tri tuntutan rakyat yang sudah dinyatakan 40 hari sebelumnya, 10 Januari 1966.

Akhirnya aku tiba di pinggir jalan. Tepat di “mulut” Jalan Veteran yang menghubungkan Jalan Merdeka Utara dengan Jalan Segara. Namun dari Jalan Veteran orang tidak dapat langsung berbelok ke arah kanan jika ingin menuju Merdeka Barat atau Tanahabang. Ia harus berbelok kesebelah kiri, lalu di ujung Jalan Veteran 1 memutar ke sebelah kanan. Di pojok jalan itu terletak markas resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal khusus Presiden.

Seperti yang lain-lain, aku kadang turut berteriak , karena aku lebih banyak diam dan mengamati bagaimana tingkah dan perilaku para unjukrasawan itu. Teriakan kian menggema, kadang-kadang disertai kata-kata yang mungkin terasa menyakitkan bagi yang menjadi sasaran. Pasukan Cakrabirawa yang berjaga-jaga tepat di seberang jalan, rupanya tidak tahan berdiam. Mereka mulai mengokang senjata mereka. Disambung dengan rentetan letusan senjata yang diarahkan ke udara. Karena tembakan-tembakan itu diarahkan ke langit terbuka, para unjukrasawan menjadi lebih berani. Sambil menyerukan Allahu Akbar sambung menyambung, kami kian riuh-rendah berteriak dan berseru. Tembakan-tembakan itu kian diarahkan ke bawah. Akhirnya, tembakan-tembakan itu tidak lagi ke atas, melainkan ke arah kami. Kami pun berlarian, tiarap, mencari tempat berlindung. Aku termasuk yang segera bertiarap di tempat karena pada dasarnya aku sangat takut dan ngeri mendengar letusan senjata. Apalagi jika itu diarahkan langsung kepada kami.

Tanpa memilih tempat, aku langsung tiarap. Tepat di tepi selokan kering yang membatasi jalan. Tanah di situ kebetulan kering, walaupun satu atau dua hari sebelumnya Jakarta diguyur hujan. Lalu tiba-tiba kudengar ada seseorang terpekik tepat di belakangku. Tapi kami masih belum ada yang berani beranjak dari tempat kami masing-masing. Suara tembakan belum reda. Barulah setelah tembakan-tembakan berhenti, kami mulai berani beranjak. Termasuk aku yang ingin segera melarikan diri karena kengerian mendengar bunyi senjata bersahutan itu.

Tepat di belakangku seseorang mengerang. Ia mengenakan jaket kuning. Kulihat dadanya bersimbah darah. Aku langsung pusing. Melihat darah yang mengucur demikian banyak itu sama sekali bukan kegemaranku. Pernah pada suatu pagi beberapa tahun sebelumnya, aku menyaksikan seorang anak dikhitan. Ketika kulup baru terpisah dari batang kemaluan, dan terlihat daging memutih, aku belum merasa apa-apa. Namun ketika dari situ darah mulai keluar, mataku berkunang-kunang dan perut terasa melilit. Aku segera meninggalkan tempat itu.

Demikian juga pada hari yang bersejarah itu. Mataku berkunang-kunang. Karenanya aku tidak lama-lama menatap tubuh yang terkapar itu. Rupanya ia tertembak ketika berusaha pindah dari tempatnya tiarap di belakangku itu. Tanah tempatnya tiarap becek, sementara beberapa langkah di kanannya ada sebatang pohon yang akan dapat digunakan sebagai tempat berlindung. Namun sebelum ia sampai ke balik pohon, peluru keburu menyambarnya, dan ia pun terkapar dan mengerang. Untunglah tidak lama kemudian beberapa orang datang, lantas menggotong tubuh itu. Katanya dibawa kerumah sakit, atau entah kemana. Kalaulah aku tidak segera tiarap, pasti tidak ada yang membaca catatan ini. Bukankan aku tepat di depan orang yang tertembak itu?

Tapi korban belum cukup seorang itu. Beberapa waktu setelah tembakan berhenti, para unjukrasawan kembali bersemangat. Pasukan Cakrabirawa yang berjaga-jaga dengan sangkur terhunuspun terpancing lagi. Maka dalam kemelut yang terjadi di Jalan Merdeka Utara itu pun, seorang siswa perempuan tertusuk. Seperti korban yang tertembak, siswa itu pun diangkut entah kemana. Ke rumah sakit atau entah kemana. Baru kemudian aku tahu, mahasiswa berjaket kuning itu bernama Arif Rahman Hakim, mahasiswa FKUI tingkat terakhir. Siswa itu bernama Jubaedah, tercatat sebagai siswa di salah satu SMA di Kota Bogor.

Setelah semuanya berakhir, aku menyusur Jalan Merdeka Utara ke arah mesjid Istiqlal. Di situ terletak Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Di antara para perwira yang langsung kukenali adalah Nugroho Notosusanto, kolonel titular yang menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Mengapa jadi begini, Mas? Aku bertanya setengah menggugat. Lalu jawabnya yang bagiku seolah menyalahkan para mahasiswa dan para unjukrasawan lainnya: Itulah kalau tidak ada yang mau mengalah…..

Karena itu alangkah sakitnya hatiku ketika beberapa tahun kemudian, seorang bernama Permadi yang terkenal sebagai tokoh paranormal dan bahkan menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam salah satu pernyataannya mengatakan bahwa yang dibesar-besarkan sebagai korban itu adalah tokoh fiktif. Katanya, pada hari itu sama sekali tidak ada korban yang jatuh. Lalu, jika benar fiktif, buat apa FKUI memutuskan Arif Rahman Hakim sebagai sarjana kedokteran anumerta? Jika tidak ada korban tertembak, siapa yang terkapar, mengerang, dan kemudian digotong beramai-ramai, dibawa entah kemana itu?

Ketika keesokan harinya UI menyelenggarakan upacara pemakaman, aku sempat hadir diantara para pelayat. Demikian banyaknya orang di Salemba 4. Mereka berdatangan dari mana-mana. Mereka berasal dari berbagai golongan. Semuanya larut dalam keharuan. Taufik Ismail pun menulis beberapa sajak berkenaan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi di seputar masa itu.

Pohon yang diharapkan menjadi tempat berlindung Arif Rahman Hakim sekarang tidak ada lagi. Sudah ditebang mungkin dengan alasan “menembuskan” jalan dari arah utara. Agar dari Jalan Veteran orang tidak usah memutar dulu ke kiri, baru di ujung berbelok lagi ke kanan. Dengan penembusan itu, orang dapat langsung dari Jalan Veteran berbelok ke kanan. Namun bagiku, hilangnya pohon itu, berarti juga hilangnya sebuah monumen yang seharusnya menjadi “saksi bisu” peristiwa tanggal 24 Februari 1966 itu. (290711) (Mengutip dari Buku Memoar Ayatrohaedi “65=67 Catatan Acak-acakan dan cacatan apa adanya”, Pustaka Jaya, Januari 2011)

July 28, 2011

Mang Ayat 3: Sejarah Lagu Genderang UI

Filed under: Uncategorized — rani @ 7:44 pm

Dengan membawa ijazah SMA yang baru beberapa hari kuterima, aku mendaftarkan diri ke FSUI yang terletak di Jalan Diponegoro 82, Jakarta Pusat. Nama itu Fakultas Sastra, baru digunakan dalam tahun ajaran 1957/8. Tahun itu, sejalan dengan upaya nasionalisasi perusahaan Belanda, selain karyawan perusahaan yang dinasionalisasi, para dosen di perguruan tinggi pun ikut kembali ke Negara Belanda. Para dosen Fakultas Sastra dan Filsafat yang kembali ke tanah airnya itu di antaranya adalah Prof.Dr. F. Beerling, Prof.Dr. A.J. Bernet-Kempers dan Prof.Dr. A.A. Fokker. Prof. Beerling adalah guru besar filsafat dan dengan kepulangannya maka tidak ada lagi yang mengasuh dan mengajarkan mata kuliah itu. Sehubungan dengan itu, apa alasan yang tinggal untuk mempertahankan nama Fakultas Sastra dan Filsafat? Maka berubahlah nama fakultas itu, menjadi hanya Fakultas Sastra. FSUI terletak tepat di depan Rumah Sakit Umum Pusat yang kemudian bernama RSUP Cipto Mangunkusumo.

Aku mendaftarkan diri ke Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia yang dalam obrolan sehari-hari cukup disebut Purbakala atau bahkan hanya Purba. Beberapa hari kemudian aku mengikuti ujian masuk. Ujian masuk itu baru dua tahun diselenggarakan. Sebelumnya, seseorang cukup dengan membawa ijazah SMA dan mendaftar sesuai dengan jurusan yang diminati. Resmilah ia menjadi mahasiswa FSUI. Namun sejak tahun 1958, rupanya peminat melimpah sementara tempat terbatas. Karenanya mulailah diadakan ujian masuk. Ujian itu berlangsung di Aula UI yang terletak di Jalan Raya Salemba 4 Jakarta Pusat.

Aku sama sekali tidak mengharapkan lulus dalam ujian masuk itu. Sebabnya, ada satu pertanyaan sejarah yang kujawab berdasarkan apa mauku, bukan apa mau pembuat soal itu. Pertanyaan itu berkenaan dengan Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang terkenal itu. Pertanyaannya, apa sebabnya dalam kisah sejarah Indonesia, Gajah Mada selalu dianggap sebagai pahlawan nasional?. Pertanyaan itu langsung saja menggugah sentimen kedaerahanku. Walaupun aku tidak terlibat dalam KPS yang diadakan tahun 1956 itu, gaung sentimen anti-Jawa yang menggema melalui kongres itu langsung terdengar menggelegar di telingaku. Itu tidak benar! Demikian darah mudaku menggugat. Maka akupun menulis jawaban berdasarkan apa yang dilakukan Gajah Mada terhadap berbagai daerah di Nusantara, sebenarnya Gajah Mada lebih layak disebut sebagai penjajah nasional. Sama sekali bukan pahlawan nasional!

Namun ternyata, aku termasuk ke dalam 16 orang peserta ujian masuk yang memilih Jurusan Purbakala yang diterima. Aku malah jadi bertanya-tanya, pembuat soal itu maunya apa sih, jawaban yang salah dan reaksioner seperti itu tetap juga diterima? Tapi apa boleh buat, pengumuman ujian masuk sudah keluar dan aku dinyatakan lulus dan diterima. Maka Tugasku berikutnya yang menunggu adalah mengikuti kegiatan pengganti perpeloncoan selama satu minggu. Kegiatan yang nama resminya masa perkenalan.

Selama sepekan mengikuti masa perkenalan, aku memperoleh pengetahuan praktis dan pengalaman yang entah harus berapa lama jika semuanya itu kujalani di luar tradisi masa perkenalan. Sudah sejak hari pertama kami diperkenalkan kepada “lagu kebangsaan” mahasiswa UI yang bertajuk Genderang Mahasiswa. Aku sangat beruntung karena masih mengenal lagu itu yang asli, lalu mengikuti perubahan yang dialaminya sejalan dengan perjalanan sejarah UI.

Pada masa awal kemerdekaan, hanya ada dua universitas negeri di negara kita, yaitu Universitas Indonesia di Jakarta dan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. UI pada masa awal itu fakultasnya tersebar di beberapa kota di Jawa dan Sulawesi. Selain fakultas di Jakarta yang terdiri atas Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FHIPK), Fakultas Sastra dan Filsafat dan Fakultas Ekonomi (FE) masih ada Fakultas Pertanian dan Kehutanan (FPKH) dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) di Bogor, Fakultas Teknik (FT), Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA), dan Akademi Pendidikan Jasmani (APD) di Bandung, Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) di Surabaya, dan Fakultas Ekonomi (FE) di Makasar. Ketika pemerintah mendirikan Universitas Airlangga di Surabaya dan Universitas Hasanuddin di Makasar, fakultas-fakultas yang berada di kedua kota itu pun dilepaskan atau melepaskan diri dari UI.

Pada masa fakultas-fakultas tersisa di tiga kota itulah “lahir” lagu itu. Lagunya digubah oleh mahasiswa FHIPK bernama Surni Warkiman, sedangkan liriknya juga diciptakan oleh mahasiswa FHIPK merangkap penyair, M. Husseyn Umar. Lirik lagu itu menurut pendapatku benar-benar mencerminkan siapa, apa, dan bagaimana makhluk yang berjuluk mahasiswa itu. Tidak terlibat dalam kehidupan politik atau kehidupan yang aneh-aneh dan macam-macam. Dunia mahasiswa hanya terdiri atas tiga bagian yang saling melengkapi, tidak dapat dipisah-pisahkan: buku, pesta dan cinta. Lagu Genderang Mahasiswa yang “asli” itu berbunyi….

Universitas Indonesia Universitas kami Bandung Bogor dan Jakarta Pusat ilmu budaya bangsa

Kami mahasiswa Pelambang cita ‘ngejar ilmu pekerti luhur ‘tuk nusa dan bangsa

S’mangat lincah gembira Buku pesta dan cinta itulah hidup kami Mahasiswa

Universitas Indonesia Pelambang cita Walaupun kami tersebar Di tiga kota Bandung Bogor dan Jakarta Kami yang punya

Namun umur lagu yang asli itu tidak panjang. Tahun 1959 itu fakultas-fakultas dan akademi yang ada di Bandung dilepaskan atau melepaskan diri. FT dan FIPIA dikembangkan menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB), sedangkan APD dijadikan bagian dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pajajaran, kemudian FKIP dikembangkan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dalam perkembangan mutakhir, IKIP Bandung berubah menjadi universitas dan namanya berganti menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun, karena pelepasan itu terjadi di awal tahun kuliah, lagu itu belum sempat disesuaikan sehingga aku masih berbahagia mengenal kaol ‘versi’ aslinya itu.

Setelah Bandung lepas, tinggal fakultas-fakultas di Bogor dan Jakarta yang dimiliki UI. Sehubungan dengan itu, mulai masa perkenalan tahun 1960, lirik yang menyebut kota diubah menjadi kota Bogor dan Jakarta, dan di dua kota. Kata atau kalimat lainnya masih tetap. Namun kembali penyesuaian itu tidak berumur panjang. Tahun 1963 Bogor pun melepaskan diri dan mendirikan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebagai konsekuensinya, lagu itu pun harus disesuaikan lagi. Karena fakultas-fakultas yang tersisa hanya ada di Jakarta dan tersebar di Rawamangun dan Salemba, maka penyesuaian yang dilakukan pun berkenaan dengan kota Bogor dan Jakarta diganti menjadi ibu kota Jakarta, di dua kota menjadi di dua tempat, sedangkan kota Bogor dan Jakarta yang terakhir menjadi Rawamangun dan Salemba.

Lagu itu sama sekali jauh dari “bau politik”. Lagu itu seutuhnya menggambarkan tiga dunia yang merupakan wilayah kehidupan mahasiswa. Namun lagu yang bebas politik itu, pada awal kebangkitan Orde Baru justru terkena polusi politik yang seperti biasa, berisi omong kosong. Kata-kata ampera, tugas mulia, dan entah apa lagi disusupkan ke dalam lagu itu.

Dalam pada itu, para tokoh “penyusup”nya setelah berhasil dengan upaya politiknya itu, tanpa basa basi tidak lagi memperhatikan kata-kata kosong yang mereka paksakan masuk dan mengubah dunia kehidupan mahasiswa itu. Hasilnya? Aku tidak pernah dapat menyenandungkan atau menyanyikan lagu baru itu. Bagiku lagu baru itu bukan lagi lagu yang menggambarkan dunia kehidupan mahasiswa, melainkan justru lagu yang meracuni kehidupan itu. Lirik yang secara spontan meluncur dari mulutku ketika mengumandangkan lagu itu, ya lagu yang mendendangkan buku, pesta dan cinta! (280711) (mengutip dari memoar Ayatrohaedi “65=67 Catatan acak-acakan dan cacatan apa adanya”, penerbit Pustaka Jaya, Jan 2011)

Parade Doktor Honoris Causa

Filed under: Uncategorized — rani @ 6:56 am

Selain parade doktor (regular), UI juga melakukan parade penganugerahan gelar doktor kehormatan (Honoris Causa) kepada orang-orang yang (dianggap) telah berjasa dalam mengembangkan salah satu bidang keilmuan. Selasa kemarin (26/07) Prof. A.P.M Heintz, MD., Ph.D berkebangsaan Belanda, mendapat gelar doktor honoris causa di bidang Humanistic Medicine and The Sustainabilty of Research and Education in Gynecologic Oncology and Urogynecology.

Penganugerahan tersebut adalah bentuk apresiasi UI terhadap perjuangan Prof. A. P. M. Heintz, MD, Ph.D dalam mengatasi permasalahan kanker. Salah satu kegiatan yang dilakukannya yaitu meningkatkan sumber daya manusia dalam pelayanan kesehatan. Heintz memiliki dedikasi dan kontribusi dalam merintis program pendidikan kesehatan di Indonesia. Ia telah mengundang para ahli dari Belanda untuk mentransfer pengetahuan mereka kepada para dokter dan perawat di Indonesia dengan biaya yang sepenuhnya dibiayai oleh beberapa organisasi amal dan beberapa yayasan di Belanda melalui program terstruktur di Sekolah Ginekologi Onkologi dan Bedah Panggul di Belanda. Puluhan dokter spesialis dari Indonesia diundang ke Belanda selama 6 bulan mempelajari bidang ginekologi Onkologi.

Selama Rektor UI dipegang Prof. Gumilar Rusliwa Somantri, paling tidak sudah tujuh orang yang mendapatkan doktor kehormatan dari UI, yaitu Taufik Abdulah Peneliti senior dari LIPI dalam bidang Ilmu Budaya(2 Februari 2009) Taufik Ismail, penyair dalam Bidang Ilmu Budaya (2 Februari 2009), Isidro F. Aguillo Cano, pengelola Webometric dari Spanyol dalam bidang Teknologi Informasi (16 April 2009), Prof.Dr.Ing. BJ Habibie dalam bidang Filsafat Teknologi (30 Januari 2010), Abdullah Gull, Presiden Turki dalam bidang Ilmu Politik (06 April 2011), Hasanal Bolkiah, Sultan Brunei dalam bidang Kemanusiaan dan Peradaban (21 April 2011) dan Prof. APM Heintz ahli Ginekologi Onkologi dari Belanda (26 Juli 2011). Konon katanya, ada satu orang lagi yang mendapatkan Doktor kehormatan dari UI, yaitu Pangeran Abdullah Raja Saudi Arabia, tetapi belum mendapatkan waktu yang tepat. Pemerintah Arab Saudi beberapa waktu lalu telah membantu renovasi pembangunan Mesjid Arif Rahman di Kampus Salemba UI dan menyumbangkan dana sebesar Rp 13 milyar.

Sejak tahun 2006 pemberian doktor kehormatan di bidang Ilmu Kedokteran selalu disponsori seorang Guru Besar. Misalnya Doktor kehormatan untuk Prof.Dr. Jan Walter Frans Beks, ahli bedah syaraf dari Belanda dipsonsori Prof.dr. Padmo Santjojo, berlangsung pada tanggal 13 Januari 2006. Kemudian penganugerahan Doktor Kehormatan untuk Prof. Jun-Ichi Suzuki, MD., ahli mata dari Jepang yang berlangsung pada 21 Juni 2007, dipromotori Prof.dr. Hendarto Hendarmin, Sp.THT(K) dan terakhir Doktor Kehormatan untuk Prof.APM Heintz, ahli Ginekologi Onkologi Belanda dipromotori Prof.Dr.dr. Andrijono, SpOG(K). (270711)

July 27, 2011

Parade Doktor (lagi)

Filed under: Uncategorized — rani @ 10:26 am

Bulan Juli ini UI betul-betul panen doktor baru, beberapa fakultas banyak menyelenggarakan sidang promosi doktor. Di FISIP misalnya hingga 28 Juli masih ada ujian sidang promosi Doktor. Pada tanggal 25 Juli lalu, untuk pertama kalinya Fakultas Ilmu Keperawata (FIK) UI menyelenggarakan acara promosi doktor atas nama Yati Afianti, staf pengajar FIK UI yang mengajukan disertasi berjudul “Efektivitas Paket Intervensi Keperawatan Seksual Pada Perempuan Pasca Kemoradiasi Kanker Servic.” Hasilnya, Yati meraih nilai cum laude.

Yang lebih luar biasa lagi adalah pada haris senin lalu (18/07), ada 10 acara promosi doktor di Kampus Depok. Sedangkan pada hari selasa (19/07) ada 7 acara promosi doktor. Semua fakultas di lingkungan UI pada bulan Juli menghasilkan doktor. Fakultas Ekonomi dalam sehari bisa melakukan sidang promosi sampai tiga kali. Karena doktor adalah jenjang akademik tertinggi yang tidak semua orang bisa mencapainya, maka sangat wajar jika setelah selesai sidang promosi melakukan syukuran atas keberhasilannya itu dengan menyediakan hidangan makanan yang agak istimewa, walaupun hal itu bukan suatu keharusan.

Bicara soal hidangan makanan pada acara promosi doktor, tentulah harus spesial, lain dari biasanya, seperti juga pada acara pengukuhan Guru Besar, menyediakan makanan untuk para tamu seperti sudah menjadi tradisi untuk menjamu para tetamu yang hadir. Walaupun tidak ada ketentuan secara tertulis jenis makanan atau minuman apa yang dihidangkan, tapi ada tradisi yang mesti diindahkan, yaitu minuman ringan dan dua jenis makanan kecil yang manis dan asin. Tetapi tradisi ini rupanya sering dilanggar dan tidak diindahkan, dengan meminta bantuan katering untuk menyediakan makanan. Maka jadilah suasana promosi doktor dan pengukuhan Guru Besar sepeti pesta nikahan. Ini pula yang menyebabkan beberapa orang Guru Besar enggan untuk dikukuhkan, karena harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk urusan makan memakan ini. Bayangkan kalau yang hadir minimal ada seratus orang, biaya katering yang paling murah Rp 40 ribu/orang. Bahkan ada yang mencapai diatas Rp 100 ribu/orang.

Kenapa menghasilkan seorang doktor menjadi satu salah satu tolok ukur kualitas perguruan tinggi? Karena berdasarkan klasifikasi Carnegie satu perguruan tinggi dikatakan menjadi universitas riset, kalau perguruan tinggi tersebut dalam satu tahunnya menghasilkan paling sedikit 50 orang doktor. Seperti halnya webometric yang menjadi tolok ukur untuk melihat kualitas perguruan tinggi di seluruh dunia, demikian pula klasifikasi Carnegie ini juga satu alat untuk melihat kualitas perguruan tinggi sebagai universitas riset. Dan UI pada tahun 1990 an, ketika Rektor UI dijabat (alm) Prof.Dr. Sujudi telah menghasilkan lebih dari 50 doktor. Sejak itu UI mendeklarasikan sebagai universitas riset berkelas dunia.(270711)

July 26, 2011

IKIP Kali…!

Filed under: Uncategorized — rani @ 12:31 pm

Walaupun berasal dari daerah-daerah di Indonesia, penghuni Asrama Daksinapati merasa sebagai warganegara kelas satu, karena statusnya sebagai mahasiswa Universitas Indonesia, perguruan tinggi negeri satu-satunya (waktu itu) yang menyandang nama bangsa dan terletak di ibukota pusat pemerintahan Negara. Karena seleksi masuknya yang ketat bersaing dengan putra-putra terbaik lainnya, dari segi intelektualitas pastilah sudah teruji dan berkualitas baik. Di luar perguruan tinggi itu, maka dapat dikategorikan sebagai warganegara kelas dua, kualitas intelektualitasnya tidak terlalu baik. Itulah salah satu “kesombongan” yang menghinggapi sebagian penghuni Asrama Daksinapati.

Ada pemeo diantara para penghuni Asrama Daksinapati kalau punya pacar sesama mahasiswa UI suatu hal yang wajar dan memang seharusnya demikian. Tetapi kalau mempunyai pacar bukan mahasiswa UI, dianggap sebagai suatu musibah. Sementara kalau perempuan bukan mahasiswa UI mendapat pacar mahasiswa Asrama Daksinapati, dianggap sebagai suatu anugerah. Bukankan arti Daksinapati yang beredar di kalangan umum artinya “calon suami yang baik”? Konon katanya, arti Daksinapati ini dilontarkan salah seorang penghuni asrama Anwar Nasution, mantan Dekan FEUI dan mantan Ketua BPK. Tapi ternyata arti ini digugat dan dipertanyakan oleh salah seorang mantan penghuni asrama Daksinapati , ahli linguistik dan ahli arkeologi Mang Ayatrohaedi dalam buku memoarnya, “65=67 Catatan Acak-acakan Cacatan Apa Adanya”yang diterbitkan Pustaka Jaya bulan Januari 2011).

Maka tidak heran kalau kesombongan “merasa paling…” ini terbawa dalam sikap sehari-hari. Misalnya saja, kalau di depan kebetulan lewat perempuan mahasiswa IKIP (sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta/UNJ), karena letak kampusnya bersebelahan dengan UI, selalu menjadi bahan godaan para penghuni asrama. ‘Disuit-suitin’, atau kalau sedang menumpang menelepon di asrama, ‘digodain’ penghuni asrama yang kebetulan tidak sedang kuliah. Tingkah laku penghuni asrama daksinapati yang “norak” ini menjadi satu hal yang lumrah, karena menganggap “sebelah mata” kepada para mahasiswa IKIP, intelektualitas dan kualitas para mahasiswa IKIP dianggapnya lebih rendah. Kalau mereka pintar pastilah bisa masuk UI. Karena itu, kalau ada penghuni asrama yang cara berpikirnya agak “tulalit” atau “bloon”, biasanya teman-teman mengejeknya dengan sebutan, “IKIP kali… kau ini!” Atau kalau mendapat pacar bukan mahasiswa UI, biasanya keluar kata, “IKIP kali….”. Pokoknya ucapan tersebut keluar untuk hal-hal yang bersifat negatif, tidak berbobot, berselera rendah dan lain-lain.

Puluhan tahun kemudian, penulis berjodoh dengan seorang alumnus UI juga. Usut punya usut, tidak dinyana, ternyata S1 nya dari IKIP Jakarta. Kalau dikatakan dapat jodoh karena kena tulah, rasanya dulu dalam setiap pembicaraan tidak pernah melontarkan atau mengatakan perkataan “IKIP….kali…!” (260711)

July 25, 2011

Koin Gan tole

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:31 am

Pada tahun 1980 an, jika kita pada akhir pecan berjalan-jalan ke puncak, di langit sesekali akan terlihat “burung raksasa” melayang-layang begitu anggunnya. Begitu kita amati dengan seksama, ternyata layang-layang dimana di tengah-tengahnya ada manusia yang mengendalikan burung raksasa tersebut. Ya, itu jenis olahraga bernama paralayang yang sedang “in” dan digandrungi masyarakat. Masyarakat awam biasa menyebutnya sebagai gantole atau layang gantung. Entah bagaimana istilah itu diterapkan kepada jenis olahraga tersebut. Mungkin, karena olahragawan yang mengendalikan alat tersebut, bisa melayang-layang dan bergelantungan, sehingga dengan mudahnya disebut gantole asal kata dari mengggantung. Pada akhir-akhir ini, ada satu film kartun “Avatar” dimana jagoannya membawa semacam tongkat, yang sewaktu-waktu bisa berubah bentuk menjadi layang-layang, dengan tangkasnya sang jagoan dapat mengemudikan layang-layang tersebut di udara, karena ternyata sang jagoan dalam cerita tersebut telah berhasil menguasai ilmu mengendalikan angin.

Awal 1980-an penulis telah menjadi penghuni Asrama Daksinapati di Kampus Rawamangun, setelah kuliah di FISIP menginjak tahun kedua. Itu pun dengan perjuangan “keras” dan mengalami masa transisi tinggal/mondok di satu rumah yang letaknya persis di sebelah sekolah Kanisius, Menteng Jakarta Pusat selama beberapa bulan. Kamar yang penulis tempati bernomor 59 di lantai dua, sisi kanan meghadap ke Taman Sastra/Gedung IKIP. Kehidupan di asrama sangat dinamis, boleh dikatakan sebagai miniatur republik ini. Karena penghuni asrama berasal dari berbagai pelosok di Indonesia.

Salah satu sisi kehidupan di asrama yang sempat menarik perhatian, yaitu penggunaan telpon umum yang waktu itu hanya satu dan terletak di bagian depan asrama di depat kantor tata usaha asrama. Dari jendela kamar penulis jaraknya kalau diambil garis lurus kurang lebih sekitar sepuluh meter. Setiap saat telpon tersebut ramai sekali dimanfaatkan penghuni asrama. Terkadang ada juga orang non-asrama yang memanfaatkan fasilitas telpon tersebut. Di kamar Tata usaha pun sebenarnya ada telpon, tetapi entah kenapa kemudian dicabut. Konon katanya, karena sering dipakai penghuni asrama tidak terkontrol, tagihan rekeningnya membengkak, karena ternyata suka dipakai untuk interlokal. Hal ini juga terjadi di Asrama Wismarini, yang penghuninya wanita terletak di Jalan Otista di depan Gedung PFN (Perusahaan Film Nasional).

Rupanya, olahraga paralayang yang sedang “in” waktu itu mengilhami beberapa penghuni Asrama Daksinapati, maka dikenal istilah koin gantole. Waktu itu kalau melakukan hubungan memakai telpon umum, cukup dengan memasukkan uang koin logam Rp 50 bisa melakukan percakapan selama 3 menit. Lebih dari itu, masukkan lagi koin limapuluhan. Tetapi penghuni asrama dapat melakukan percakapan lebih dari 3 menit tanpa harus sering memasukkan koin limapuluhan. Malahan dia dapat mengambil kembali uang logam limapuluhan yang telah dimasukkan ke box telepon. Kok Bisa? Disinilah “kreativitas” (ataukah Kriminalitas?) mahasiswa Asrama Daksinapati bermain. Uang logam limapuluh memakai benang yang direkatkan dengan isolatif bening. Pada waktu koin masuk ke lubang telpon umum terdengar bunyi “klek” yang berarti percakapan bisa dimulai, begitu tiga menit berlalu, koin otomatis akan jatuh, sehingga kalau percakapan tidak ingin terputus harus memasukkan koin lagi. Tetapi karena memakai benang, begitu terdengar bunyi “klek” benang segera ditegangkan /ditarik untuk menahan supaya koin tidak jatuh. Dengan demikian batas waktu tiga menit tidak berlaku. Tentu saja hal ini sangat mengesalkan para penelepon lain yang harus menunggu cukup lama. Pernah suatu kali, penghuni asrama Daksinapati memakai koin gantole di telepon umum di luar asrama dan tertangkap basah petugas Telkom, dia akhirnya dibawa ke kantor Telkom terdekat. Berita ini sempat juga masuk dalam koran Pos Kota. Setelah kasus itu terjadi, apakah pemakaian koin gantole berhenti atau kapok? Ternyata tidak.

Seperti diceritakan di atas, kamar penulis cukup dekat dengan telpon umum yang ada di Asrama Daksinpati. Malam-malam, penulis mencari jaringan kabel telpon umum yang terletak di bawah jendela kamar, lalu dipotong dan dibuat sambungan paralel kabel ke kamar penulis. Kebetulan penulis mempunyai telepon bekas yang dibawa dari rumah dimana penulis tinggal sebelum pindah ke asrama. Pesawat teleponnya masih memakai sistem analog, dimana pemutarnya berbentuk bulat yang berlubang-lubang. Dengan demikian penulis dan teman sekamar dapat menelepon tanpa harus memakai koin gantole. Setiap malam, kalau telpon umum di bawah ramai antri yang akan menelepon, penulis dapat menyadap dan mendengarkan pembicaraan mereka. Kebanyakan percakapan dilakukan dengan lawan jenis, berisikan rayuan gombal mahasiswa asrama, bahkan ada yang melakukan duet, nyanyi bersama di telpon. Untuk beberapa lama kegiatan “penyadapan” berlangsung cukup lama. Bahkan beberapa teman asrama yang tahu, mereka suka memanfaatkan telpon “pribadi” ini di kamar penulis. Hingga akhirnya suatu saat, telepon di kamar penulis berbunyi. Ketika ditelusuri, ternyata kabel telpon ke kamar penulis sudah diputus petugas Telkom. Untungnya tidak ada orang Telkom yang datang ke kamar penulis. Kalau datang, bisa-bisa penulis masuk berita di Pos Kota. (250711)

July 22, 2011

Mang Ayat 2: Put On – Put In

Filed under: Uncategorized — rani @ 3:48 pm

Selama lima tahun menjadi mahasiswa, aku selalu terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan. Terutama yang menyangkut mahasiswa FSUI (Fakultas Sastra UI, sekarang FIB UI.pen). Dalam setiap masa perkenalan yang namanya setiap tahun berubah, aku selalu muncul sebagai salah seorang anggota panitia. Sejumlah mahasiswa lain, baik yang seangkatan denganku, angkatan di atasku, atau angkatan di bawahku, merupakan langganan tetap kepanitiaan itu. Widarti Jayadisastra yang sekarang menjadi tokoh sangat penting di kelompok Femina, misalnya, adalah salah seorang diantaranya. Ia masuk jurusan Sastra Indonesia tahun 1962, dan sejak tahun berikutnya selalu aktif sekurang-kurangnya pada waktu masa perkenalan.

Arti, demikian panggilannya, termasuk salah seorang tokoh yang hebat. Selama lima tahun aktif mengikuti masa perkenalan, lima kali itu pula dia terpilih sebagai rakawati tergalak. Selama lima tahun dia tidak pernah tergeser dari singgasananya sebagai yang tergalak itu. Padahal rakawati tergalak yang seangkatan denganku (1959) yang diramalkan bakal menjadi rakawati tergalak selama menjadi mahasiswa, hanya bertahan selama tiga tahun. Tapi Arti, lima tahun dia menjadi yang tergalak. Heran juga aku, karena raut wajahnya tidak mengisyaratkan dia dapat berbuat galak. Bahkan, tidak salah jika dimasukkan ke dalam kelompok gadis cantik. Itulah pula mungkin alasannya, mengapa seorang mahasiswa Fakultas Psikologi UI angkatan 1961, tergila-gila kepadanya. Mahasiswa itu kukenal karena kesukaan kami yang sama:berpuisi. Namanya Gunawan Mohamad, yang kemudian memang menikahi Arti dan keduanya menjadi tokoh terkenal di bidangnya masing-masing. Menurut beberpa orang teman yang mengenal Arti cukup baik dan hubungannya cukup dekat, ternyata kegalakan itu bukan hanya selama masa perkenalan di fakultas. Hingga sekarang pun Arti terkenal galak, terutama ya tentunya di lingkungan atau dunia kerjanya. Barangkali dapat dianggap sebagai ‘galak bawaan’ ya!

Di setiap angkatan harus ada yang bernama bagus Jenderal untuk yang laki-laki dan jendril untuk yang perempuan. Nama itu mulai muncul ketika aku pertama kali menjadi mahasiswa, tahun 1959. Ketika itu, dan sampai dua tahun berikutnya (1961), nama bagus belum dimunculkan, kecuali untuk jenderal dan jendril itu. Mahasiswa yang ketiban pulung menjadi jenderal atau jendril, resminya diberi “jabatan fungsional” sebagai pemimpin sesama temannya itu. Jenderal menjadi kepala suku mahasiswa laki-laki, dan jendril menjadi pemimpin mahasiswa perempuan. Tapi dalam tahun itu juga (1959), kebetulan ada mahasiswa baru, orang Cina (ia benar-benar warganegara Cina, dimungkinkan karena masih dibolehkan kewarganegaraan rangkap) bernama Cio Ci-sek yang bertubuh subur seperti karikatur Put On dalam surat kabar Sin Po. Maka, panitia pun menobatkan Ci-sek dari Sastra Indonesia menjadi Put On, sementara sebagai jodohnya diangkat seorang Put In yang juga harus memiliki syarat yang sama: tubuh bongsor. Tahun itu yang terpilih adalah Lenny Lumenta, anak Manado yang masuk jurusan Sastra Inggris. Kisah menyedihkan tentang Put In 1959 itu kudengar ketika dia belajar di Amerika Serikat.Aku memang hanya mendengar kabar dari kabar dari kabar lagi, entah dari tangan yang keberapa. Menurut kabar itu, sekitar sepuluh tahunan yang lalu Lenny ditemukan tewas terbunuh di wilayah kumuh di sebuah kota besar, kalau tidak salah New York. Entahlah, apa sebab sebenarnya.

Tidak sukar menacari tokoh untuk diberi nama Put On, namun agak sukar juga memilih mahasiswi untuk dijadikan Put In. Bahkan pernah, kedua nama keramat itu terpaksa diberikan mahasiswa yang secara jasadi kurang memenuhi syarat untuk menyandang nama terhormat itu. Namun apa boleh buat, nama itu harus ada sementara sediaan Cuma itu yang ada. Aneh juga memang, mengapa pada tahun itu (1961) tidak ada mahasiswa baru yang gembrot atau bongsor mendaftar ke FSUI. Atau, bukan mendaftar, melainkan diterima. Padahal jelas, kami tidak pernah menentukan bobot tubuh seseorang untuk mendaftar. Lain dengan Komite Pemilihan Umum yang mensyaratkan kesehatan jasmani dan ruhani berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia untuk dapat diterima sebagai calon presiden. (210711) (Dikutip dari Buku Memoar Ayat Rohaedi “65=67 Cat at an Acak-Acak an dan Cacat an Apa Adanya” hal.145, 147-148)

July 21, 2011

Mang Ayat 1: Hantunya Lebih Banyak

Filed under: Uncategorized — rani @ 1:07 pm

Hidup di asrama banyak suka dukanya. Banyak kawan yang datang dari berbagai latar budaya. Asrama Daksinapati, bersama dengan Asrama Pegangsaan Timur 17, terkenal sebagai “gudang” orang besar Indonesia. Banyak tokoh nasional yang pernah menjadi penghuni salah satu asrama itu.

Emil Salim, guru besar (emeritus) ekonomi yang berkali-kali dipercaya menjadi menteri untuk lingkup kerja yang berbeda, Ibrahim Hasan dan Ben Mboi yang pernah menjadi gubernur, misalnya, adalah penghuni asrama UI. Gorys Keraf dan Maurits Simatupang adalah dua ahli widyabasa yang pernah menghuni asrama. Bahkan Yusril Ihza Mahendra yang menjadi menteri Kehakiman dan HAM dan Hasan Wirayuda, Menteri Luar Negeri, dalam kabinet terakhir juga penghuni Asrama Daksinapti semasa menjadi mahasiswa.

Menurut prasasti yang dipahatkan pada bungkah marmer dan ditempelkan di dinding Asrama Daksinapati dapat diketahui asrama itu mula-mula tidak bernama. Diresmikan Presiden Soekarno tahun 1954, asrama itu terdiri atas tiga lantai dengan jumlah kamar 120 buah. Kamar-kamar itu berukuran 4 x 6 m, dan sedianya setiap kamar ditempati 4 orang mahasiswa. Ada dua buah tempat tidur susun, empat meja belajar, dan empat lemari di tiap kamar. Namun kemudian penghuni tiap kamar diputuskan hanya tiga orang sehingga daya tampung seluruhnya 360 orang. Karena ada dua kamar digunakan untuk “ibu asrama”, kamar yang dapat diisi hanya 118 buah. Kamar mandi terdapat di tiap lantai, di sayap memanjang bangunan itu. Tetapi bersamaan dengan kian memburuknya fasilitas dan pelayanan asrama, air tidak mampu naik sampai ke lantai dua, apalagi lantai tiga. Karena itu, kamar mandi akhirnya hanya ada di lantai satu. Itu berarti kesibukan di kamar mandi makin menjadi-jadi. Selain pemakai bertambah, karena semua penghuni mengandalkan kedua ruangan mandi di lantai bawah, jumlah petak mandinya tetap. Akan lebih menarik jika ketika seseorang tengah menyabuni tubunya, airnya mati. Dalam keadaan terburu-buru, tidak jarang kami menumpang madi di sumur dan ruang cuci yang agak terpisah.

Jika malam dan dipandang dari kejauhan, sosok asrama itu tampil melalui lampu-lampu kamar penghuni. Di tengah kegelapan, sosoknya oleh sebagian orang dianggap sama dengan sosok sebuah kapal di tengah laut di malam hari. Karena ketika itu kapal yang cukup terkenal bernama Tampomas (yang tenggelam di perairan Masalembo, sebelah timur Madura) kami pun kadang-kadang menjuluki asrama tercinta itu dengan “Kapal Tampomas”. Nama Daksinapati itu sendiri diberikan entah oleh siapa.( Daksinapati diberikan seorang penghuni asrma Anwar Nasution, pernah menjabat Dekan FEUI, Ketua BPK- Penulis.). Karena menurut pemberi nama itu daksinapati diartikan sebagai ‘calon suami yang baik’, sangat jelas jadinya pemberi nama itu sama sekali tidak tahu baik bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Jika saja mereka tahu, tentulah bukan nama itu yang mereka pilih. Secara harfiah daksinapati bermakna ‘raja atau penguasa dari selatan”. Karena menurut tradisi lisan Jawa penguasa dari selatan adalah Nyi Roro Kidul, yang secara khusus dibikinkan, kamar khusus di hotel Samudra Beach, Pelabuhanratu, untuk sang ratu bermalam jika berkenan “mendarat”, daksinapati seharusnya diartikan sebagai suami Nyi Loro Kidul. Jika didasarkan pada letak atau lokasinya pun jelas pula kesalahannya. Bukankah asrama itu terletak di bagian timur Jakarta? Artinya, di wilayah Jakarta Timur, bukan Jakarta Selatan.

Ketika aku mulai menjadi penghuni resmi Asrama Daksinapati, jatah makan kami masih cukup. Walaupun menurut para penghuni awal yang beberapa diantaranya masih bertahan, sudah menurun dibandingkan dengan jatah makan masa awal itu. Pada masa awal itu katanya, setiap hari pasti terhidang tidak kurang dari empat macam lawuh nasi. Ketika aku masuk, lawuh tinggal tiga macam: sayur, tempe atau tahu, dan telur atau daging atau ikan. Tahun-tahun berikutnya tinggal dua macam, bahkan akhirnya hanya nasi. Lauknya mesti membeli sendiri. (waktu penulis masuk Asrama Daksinapati tahun 1982, tidak ada pembagian nasi, tapi kalau makan malam disediakan beberapa penjual nasi dan lawunya di lantai dasar. Untuk sarapan pagi atau makan siang ada warung sebelah tempat parkir motor).

Maka ketika mulai masuk “tahun-tahun keprihatinan” itu, pedagang lawuh, baik di halaman asrama maupun di warung yang dikelola karyawan asrama, mulai berkembang dengan subur. Aku biasanya membeli lawuh brupa rujak buah-buahan, bukan gado-gado. Nikmat sekali rasanya makan dengan lawuh rujak semacam itu. Atau kami bawa jatah nasi kami ke warung senggol di pojok gelap (kalau malam) tegalan rumput sebelah utara. Atau membawanya ke warung Pak Napi di seberang jalan ahmad Yani yang ketika itu masih dalam proses pembangunan. Nasi jatah itu digoreng di situ. , sambil minta lawuh lain yang dijual di kedua warung itu. Karena terjadi permitraan, akhirnya bahkan beberapa diantara kami setiap habis makan hanya mencatat angka. Habis bulan, atau kapan saja ada rezeki menclok, kami biasanya berteriak,”periksa arsiiip…”Maksudnya, penyelesaian utang piutang.

Berita Asrama Daksinapati itu angker dan banyak “penghuninya”, menyebabkan orang yang mendirikannya terusik juga. AKhirnya bulan November 1963 Bung Karno menugasi Pak Rahmat, kabarnya “dukun istana” yang tinggal di daerah Petojo untuk memeriksa. Mungkin semacam sidak yang akronim dari inspeksi mendadak. Karena pada waktu itu Pak Rahmat Datang, aku (bersama Abdullah Yusuf Darmawijaya, mahasiswa arkeologi yang juga tengah menyelesaikan skripsi) sedang pergi ke Lebak Cibedug di pelosok pegunungan Kendeng (memanjang dari Banten selatan ke Sukabumi) untuk keperluas skripsi, aku tidak tahu secara tepat apa yang dilakukan Pak Rahmat. Hanya kata mereka yang mengikuti “inspeksi mendadak” itu, Pak Rahmat mengatakan jumlah hantu di asrama itu lebih banyak daripada jumlah semua penghuni dari semua kamar dan lantai. Karena semua penghuni berjumlah 360 orang, dengan perhitungan tiap kamar dihuni 3 orang, berarti bahwa jumlah hantu di asrama itu sekurang-kurangnya ada 360,5. Kalau hantu, boleh kan hanya setengah…..

Mungkin ada benarnya juga hantu di Asrama Daksinapati jumlahnya lebih banyak daripada penghuninya. Sekurang-kurangnya aku pernah mengalami beberapa kali hal aneh selama tinggal di asrama itu. Satu diantaranya,, yang tak terlupakan, adalah apa yang kualami pada suatu malam di bulan Puasa. Kebetulan aku belum tidur karena keesokan paginya ada ujian, dan aku belum selesai membaca bahan-bahan untuk ujian itu. Jadi, sambil menunggu waktu sahur, aku terus membaca. Tiba-tiba lampu di ruang makan menyala, keran air di tempat cuci piring terdengar mengalir, dan dapur mulai ramai. Aku yang ketika itu masih “penghuni gelap” dan malam itu menginap di kamar Wagito, keluar dari kamar, lalu melihat-lihat kamar makan yang sudah terang benderang itu. Kebetulan kamar Wagito cukup dekat letaknya dari ruang makan. Namun, di ruang makan yang terang dan terdengar ramai itu, aku tidak melihat seorang pun. Bahkan ketika aku sudah hampir sampai ke pintu ruang makan, air keran berhenti mengalir. Suara orang mencuci piring tidak terdengar, dan…… lampu pun padam sehingga ruang makan kembali gelap.

Aku setengah berlari kembali ke kamar, lalu mengintip dari jenderla kamar. Sekitar setengah jam kemudian, lampu ruang makan menyala, air keran mengalir, dan terdengar orang-orang berbicara. Para pencuci piring dan petugas ruang makan untuk menyiapkan makan sahur sudah benar-benar bangun dan bertugas. Jadi siapa atau apa yang berada di ruang makan itu sebelumnya?

Masih banyak kisah “dunia lain” yang dapat digali dari kehidupan sekitar asrama itu. Belum lagi para hantu di FSUI. Di tiap gedung “bersemayam” entah berapa hantu. Padahal jumlah gedungnya ada empat. Tiap gedung terdiri atas dua lantai. Tiap lantai terdiri atas sejumlah ruang kuliah atau ruang kantor. Kata orang, di tiap ruangan itu ada hantunya. Bahkan ketika kami menyiapkan acara untuk masa perkenalan dengan mahasiswa di ruang Senat Mahasiswa di gedung 2, di halaman terdengar bunyi langkah sepasukan prajurit berbaris.

Semuanya itu akan merupakan lahan yang subur bagi semua stasiun televisi yang akhir-akhir ini menjadikan kehidupan tak masuk akal itu sebagai tontonan yang menarik. Tinggal lagi, bagaimana menggarapnya, mengingat asrama itu sekarang sudah beralih fungsi. Bukan lagi tempat tidur, melainkan kantor rektorat Universitas Negeri Jakarta yang jelmaan IKIP Jakarta.

Apakah tayangan dunia gaib, penampakan dan sejenisnya itu merupakan salah satu upaya melaksanakan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, mencerdaskan (kehidupan) bangsa…?

(dikutip dari buku Memoar Ayat Rohaedi “65=67 Cat at an Acak-acakan dan Cacat an Apa Adanya”, hal.129-133)

July 20, 2011

Mang Ayat 65=67

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:31 am

Bagi warga UI, khususnya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) siapa yang tidak kenal dengan Prof.Dr.Ayat Rohaedi atau biasa dipanggil dengan Mang Ayat? Dialah salah seorang dosen yang untuk pertama kalinya dipanggil dengan sebutan Mang Ayat, oleh kalangan dosen, pegawai maupun mahasiswa. Secara perhitungan pensiun sebagai Guru Besar FIB dalam usia 65 tahun pada tanggal 5 Desember 2004, bertepatan dengan 22 Syawal 1425 dan meninggal 18 Februari 2006.

Hari Minggu kemarin (17/07) secara kebetulan bertemu dengan Mang Ayip Rosidi, pada acara pernikahan putri bungsu almarhum Mang Ayat. Pada kesempatan itu penulis diberi buku memoar Mang Ayat dengan judul “65=67 Cat at an Acak-acakan dan Cacat an Apa Adanya” ,yang diterbitkan Pustaka Jaya, cetakan pertama 2011. Judul bukunya sangat mengelitik dan tidak lazim, cerminan dari pribadi Mang Ayat yang cara berpikirnya tidak lazim dan tidak bisa diduga. Isi bukunya juga ternyata mengungkap hal-hal yang selama ini tidak diketahui orang banyak. Terutama yang menyangkut tentang sejarah Universitas Indonesia, lebih khusus tentang perkembangan FIB UI yang dia ketahui dan alami.

Penulis merasa berkepentingan untuk mengetengahkan tentang memoar Mang Ayat dengan beberapa alasan. Pertama, merasa ada ikatan batin sebagai sesama orang yang menghisap udara dan menikmati hasil bumi dan suasana lingkungan di wilayah Majalengka. Jatiwangi, Kadipaten, Majalengka adalah tempat dimana penulis dibesarkan. Kedua, walaupun dari segi rentang usia cukup jauh, tetapi rumah penulis dengan rumah mang Ayat hanya dipisahkan satu jalan dan dua rumah. Ketiga, Mang Ayatlah yang melibatkan penulis dalam kegiatan SIMPAY, satu paguyuban di FIB yang mendiskusikan dan memperkenalkan secara mendalam tentang kebudayaan Sunda. Keempat, banyak pengetahuan tentang UI dalam bukunya tersebut, yang tidak bisa didapat dari buku atau sumber-sumber lain.

Karena alasan di atas tersebut, maka dalam tulisan berikutnya penulis akan mengutip beberapa bagian dari buku memoar Mang Ayat untuk disajikan kepada para pembaca. Semoga dapat memberikan wawasan bagi kita sebagai keluarga besar Universitas Indonesia.(200711)

July 15, 2011

Hari Isra Mi’raj di PRJ

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:56 am

Hari Rabu (29/06) libur nasional bertepatan dengan peringatan hari Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Penulis sekeluarga memanfaatkan liburan ini dengan berkunjung ke arena Pekan Raya Jakarta(PRJ) di siang hari, karena pada hari libur PRJ mulai buka jam 10 pagi. Di bawah ini adalah ‘oleh-oleh’ setelah jalan-jalan di PRJ sebagai suatu renungan Jumat.

Isra dan Mi’raj, seperti yang kita ketahui adalah proses perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian dilanjutkan perjalanan tersebut dari Mesjid Aqsa menuju langit ketujuh dan bertemu langsung dengan Allah SWT, pencipta alam semesta. Hasil dari perjalanan Isra Mi’raj itu adalah perintah shalat lima waktu bagi para penganut agama Islam. Pentingnya shalat ini diibaratkan sebagai tiang-tiang satu bangunan. Suatu bangunan tanpa tiang, maka bangunan itu tidak akan bisa berdiri tegak. Shalat lima waktu juga merupakan sarana untuk bisa berkomunikasi langsung dengan Allah sang Penguasa Alam semesta. Dan shalat lima waktu juga dapat menjadi pencegah seseorang untuk berbuat keji dan munkar. Boleh dikatakan, inti Isra dan Mi’raj itu adalah perintah shalat lima waktu. Suatu perintah yang bukan main-main. Jadi terlihat disini betapa pentingnya shalat lima waktu ini bagi orang Islam.

Di Pekan Raya Jakarta menjelang matahari tergelincir ke arah barat, mencari tempat parkir mobil susahnya setengah mati. Setelah berkeliling selama satu jam, barulah dapat memarkir mobil di kawasan parkir sebelah barat. Ratusan ribu pengunjung telah memadati arena PRJ. Ketika masuk gedung utama PRJ, sudah penuh sesak. Dari rumah memang sudah wudlu, rencanan di perjalanan akan berhenti untuk shalat dhuhur terlebih dahulu. Tapi niat itu tidak bisa terlaksana. Sampai di arena PRJ waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Jadi Tanya kepada petugas tempat untuk shalat. Katanya ada di lantai dua gedung utama. Ketika sampai tempat yang dituju, ternyata sudah dipenuhi orang yang akan melaksanakan shalat. Ada tempat wudlu khusus, tetapi ruangan shalat hanya cukup untuk shalat berjamaah sekitar tujuh orang berbajar dua baris, tanpa ventilasi dan udara panas serta pengap. Tempat shalat wanita terpisah di suatu ruangan yang tampaknya memang tidak dibuat untuk tempat shalat. Padahal di lantai dua itu masih ada ruangan yang tidak terpakai, tampaknya cukup luas dan cukup nyaman kalau dipakai sebagai tempat shalat.

Di bagian lain juga ada tempat shalat, tapi entahlah apakah cukup luas dan nyaman kalau shalat di ruangan ruangan tersebut. Tetapi penulis duga ruangannya tidak berbeda jauh dengan tempat shalat di gedung ruang utama lantai dua. Menjelang adzan magrib, ada pengumuman yang menghimbau kepada setiap pemilik gerai untuk mematikan sementara sound systemnya karena adzan magrib akan segera berkumandang. Himbauan yang simpatik. Tetapi masalahnya, dengan waktu shalat magrib yang singkat, apakah semua tempat shalat di PRJ dapat menampung para pengunjung yang akan melakukan shalat dalam waktu yang bersamaan?

Hartati Murdaya, seorang penganut Agama Budha sebagai pengelola kawasan PRJ tidak mengerti kebutuhan tempat shalat yang memadai bagi para pengunjung maupun para penjaga gerai PRJ yang beragama Islam. Disinilah perlunya toleransi lebih dalam lagi dari penganut agama lain terhadap kebutuhan tempat shalat bagi penganut agama Islam. Bukan hanya semata-mata mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga memberikan tempat ibadah yang memadai bagi penganut agama Islam yang mayoritas sebagai pengunjung dan penjaga gerai di PRJ. Kalau saja pihak pengelola PRJ menyediakan fasilitas memadai untuk tempat shalat, penulis yakin para pengunjung akan betah berlama-lama di arena PRJ dan akan banyak lagi dari kocek keluar uang untuk belanja. Saat ini yang dirasakan adalah bagaimana cepat-cepat pulang dari PRJ, karena terbayang ketidaknyamanan melaksanakan ibadah shalat dan menghindar secepat mungkin dari kemacetan lalulintas di kawasan PRJ.

Sesekali mestinya Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, yang juga menjabat salah satu ketua NU DKI Jakarta mencoba shalat dan melihat-lihat semua tempat untuk melakukan shalat, apakah sudah cukup memadai dan bisa menampung para pengunjung PRJ yang akan melaksanakan ibadah shalat. Kalau Gubernur DKI Jakarta tidak bisa menyediakan sarana memadai, maka dapat dianggap dengan sengaja merubuhkan “tiang-tiang bangunan”.(010711)