“Udin” Masuk Kurikulum Pendidikan Pancasila?
Penulis tidak mempunyai pengalaman membuat kurikulum, tetapi ingin “rembugan” soal kurikulum Pendidikan Pancasila yang baru-baru ini dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh. Paling tidak bisa memberikan inspirasi kepada pihak yang mempunyai kewenangan dalam membuat kurikulum. Kalau pun memang tidak layak, paling tidak bisa membuat pembaca terhibur. Namanya juga “penggembira”, harus bisa menghibur, tetapi juga ada sesuatu yang patut direnungkan. Itulah tujuan tulisan ini.
Dalam buku memoarnya yang berjudul (kalau tidak silap) “Aneka Warna”, almarhum Prof.Dr. Slamet Iman Santoso, Bapak Psikologi Indonesia menceritakan, bagaimana pola pendidikan pemerintah kolonial Belanda kepada para siswa bangsa pribumi. Kepada para siswa yang telah menghabiskan pakanci, biasanya Guru Belanda suka bertanya pergi kemana saja selama liburan. Kalau ada siswa yang bercerita liburannya pergi ke satu kota, maka si guru belanda akan bertanya tentang data kota tersebut. Misalnya saja kota tersebut penghasil apa, apa nama gunung di kota tersebut, hasil pertanian yang utamanya apa dan lain-lain. Dengan demikian para siswa dilatih untuk mengetahui lebih jauh tentang kota tersebut. Atau kalau suatu saat pergi liburan lagi, si siswa akan berusaha mencari informasi tentang data-data kota tersebut. Dengan demikian maka siswa akan terlatih untuk menghafal tentang data-data geografis dan informasi lainnya tentang kota tersebut.
Rabu lalu (01/06) ketika melakukan dokumentasi kegiatan pendaftaran mahasiswa baru UI program undangan (tanpa tes) di Balairung Kampus Depok, penulis berkenalan dengan seorang mahasiswa baru asal Mataram Nusa Tenggara Barat. Dengan bangganya dia bercerita masuk Departemen Komunikasi FISIP UI. Kenapa memilih program studi tersebut, dia mengatakan karena ingin menjadi reporter yang handal. Penulis bertanya, apakah satu kampung dengan pencipta lagu “Udin Sedunia”. Beda katanya, kalau dia orang Lombok Barat, sementara Soaludin pencipta lagu itu orang Sasak yang berasal dari Lombok Timur. Menurut pengamatan penulis, ini orang hebat juga, bisa menciptakan lagu yang dapat memberikan inspirasi kepada orang lain dan lagunya itu cukup fenomenal serta mempunyai ciri sendiri, yang orang tidak berpikir ke arah sana. Bagaimana nama orang bisa ditafsirkan dengan cerdik, seperti orang yang suka tinggal di kamar (Kamarudin), binatang yang suka jalan-jalan di jalan (sapiudin). Kita bisa menafsirkan nama lain misalnya orang yang berjualan ikan asin (Jamaludin).
Kembali kepada kurikulum Pendidikan Pancasila, barangkali bisa diajarkan dan dihapalkan buat para siswa dengan mengadaptasi lagu udin tadi. Misalnya menghafal nama-nama orang berikut sepak terjangnya yang mempunyai konotasi tertentu, tujuannya supaya para siswa bisa belajar mana yang tidak patut untuk ditiru. Contohnya nama seorang hakim yang mencemari korpsnya (Syarifuddin), nama bendahara partai yang menggoncangkan dunia perpolitikan (Nazaruddin), atau nama seorang gubernur yang berlaku curang dalam pilkada (Agusrin M Najamudin). 07062011