June 30, 2011

Antara “Jangan Menyerah” dan Salam Persahabatan

Filed under: Uncategorized — rani @ 11:24 pm

Dua kalimat tersebut di atas boleh dikatakan sebagai suatu rangkuman dari acara Bedah Buku “Televisi Jakarta di Atas Indonesia karya Ade Armando, mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia yang juga staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP. Paling tidak itulah kesan penulis yang menyempatkan hadir pada saat acara akan segera berakhir. Semua pembicara dan seorang penanya yang bekerja untuk pemberitaan Voice Of Amerika (VOA) menyebut-nyebut “jangan menyerah” untuk terus mengembangkan televisi jaringan di Indonesia yang oleh Ade Armando dikatakan mengalami kegagalan karena digilas televisi nasional yang berpusat di Jakarta. Acara bedah buku yang berlangsung Kamis (30/06) di Auditorium Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI Kampus Depok ini berakhir satu jam lebih dari waktu yang sudah ditentukan, karena baik penanya maupun pembicara panjang lebar memberikan komentar dan penjelasan dibalik kekusutan dan rimba raya penyiaran di tanah air ini.

Dalam bagian akhir acara bedah buku, Ade Armando memberikan klarifikasi, tujuan penulisan bukunya ( yang judulnya sangat provokatif) bukan untuk memusuhi para juragan industri penyiaran televisi nasional, apalagi berperang dengan sistem kapitalistik yang memang sudah mendominasi sistem perekonomian Negara ini. Tetapi mengingatkan, cobalah untuk bertindak adil, berikan kesempatan berkembang kepada televisi daerah/jaringan dan patuhi aturan yang telah dibuat komisi Penyiaran Indonesia yang telah berusahan menjabarkan semangat reformasi dalam bentuk regulasi penyiaran yang telah menjadi Undang-undang. Para pengelola televisi di Jakarta sebetulnya diuntungkan kalau televisi daerah berkembang. Di Amerika Serikat yang menjadi “mbahnya” sistem kapitalisme, bisa bertindak adil, kenapa di Indonesia tidak bisa?

Maka ketika penulis meminta tanda tangan Ade Armando pada buku karyanya , dia menuliskan kata “untuk Rachmat, salam persahabatan”. Seakan-akan menyiratkan antara televisi Jakarta dan televisi berjaringan (daerah) harus bersahabat. Atau ingin menegaskan, walaupun selama ini antara penulis dan Ade Armando selalu bersebrangan dalam beberapa hal pemikiran, tetapi harus tetap terjalin persahabatan. Entahlah, hanya Ade Armando sendiri yang tahu, kenapa di buku penulis tertulis kata “salam persahabatan”.

Perkara pencantuman nama yang bertanggung jawab terhadap kegagalan televisi jaringan di Indonesia, Ade Armando secara terang-terangan menyebut nama Sofyan Djalil (sewaktu menjabat Menkominfo, kini Ketua ILUNI UI) dan Jimly Ashshidiqie (mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Guru Besar FHUI). Dua nama ini sama-sama orang UI. Bahkan Jimly adalah satu angkatan dengan Ade Armando sewaktu mengikuti kegiatan Latihan Prajabatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) UI tahun 1990. Menurutnya pencantuman nama itu sengaja, supaya orang ingat atau paling tidak yang bersangkutan ingat, sewaktu menjadi pejabat negara membuat kebijakan yang salah. Ini adalah tradisi tragedi atau tradisi ilmiah, suatu kebijakan yang salah tetap harus dikatakan salah, walaupun yang membuat kebijakan itu teman dekat bahkan satu almamater. Ini barangkali satu tradisi yang sesuai dengan motto UI saat ini yang menjunjung azas VERITAS (kebenaran), PROBITAS (kejujuran) dan IUSTITIA (keadilan). (300611)

June 9, 2011

Kepemimpinan pada Era Perubahan

Filed under: Uncategorized — rani @ 6:03 pm

Pada jam delapan pagi ini (09/06) dapat sms, katanya ada Young leader Forum 2011 di Hotel Ritz Carlton Jakarta yang akan dibuka SBY pada pagi hari, kerjasama HIPMI dengan FEUI, supaya segera ada yang meliput dari UI. Info mendadak ini merepotkan juga, Depok – Jakarta pada jam tersebut luar biasa macet. Lagipula acara jam delapan diberitahunya jam delapan pula. Sudah tidak ada harapan bisa datang, lagi pula membayangkan betapa ketatnya penjagaan Paspamres. Tapi setelah dipikir lagi, daripada tidak datang sama sekali mendingan datang walaupun telat dan banyak hambatan.

Akhirnya diputuskan untuk segera pergi, tapi bagaimana caranya supaya bisa cepat sampai? padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Naik KRL ekonomi dari Stasiun Pondok Cina. Mau naik ekonomi AC harus menunggu setengah jam lagi. Berdua akhirnya sampai juga di Stasiun Tebet. Dari sini naik ojek motor melewati kemacetan di Prof.Dr. Satrio Kuningan, tembus ke dekat Universitas Atmajaya, melewati kolong jembatan semanggi keluar dekat Komdak Metro Jaya. Sampai di Depan Hotel Ritz Carlton, terlihat mobil dengan plat nomorRI 1 sudah diparkir. Cepat-cepat lari, di Lobby setelah Tanya sebentar disuruh ke Lantai 4 dimana acara digelar. Tanpa mendapat hambatan berarti akhirnya sampai juga di ruang Ballroom. Segera bergaung dengan kru juru kamera yang terletak di belakang. Sepuluh menit kemudian SBY baru memasuki ruangan. Alhamdulillah bisa datang sebelum acara dimulai.

Acara yang baru pertama kali digelar itu, mendapat sambutan luar biasa. Kata Ketua HIPMI dari tiga hari informasi di media nasional, undangan yang direncanakan hanya untuk limaratus orang, ternyata yang datang mencapai seribu orang pengusaha muda dari seluruh Indonesia. Untuk pertama kalinya SBY diundang dan berbicara dalam forum yang dihadiri para pengusaha muda itu, ingin mendengarkan langsung bagaimana pengalaman SBY dalam memimpin republik selama ini dan sebagai cerminan bagaimana memimpin Negara ini di masa mendatang.

SBY memberi judul ceramahnya “Menjadi Pemimpin pada Era Perubahan”. Pada pembukaan ceramahnya, SBY memperkenalkan diri terlebih dahulu, mengikuti sambutan yang diberikan ketua ketua Panitia Pelaksana.” Nama SBY, pekerjaan Presiden RI sejak tahun 2004.” Selanjutnya dia memberikan pernyataan politik,”Saya tidak akan mencalonkan diri menjadi Capres tahun 2014, begitu juga istri dan anak saya.” SBY juga menyatakan tidak mempersiapkan bakal calon menggantinya, biarlah rakyat yang akan menentukan sendiri.

Ada Sembilan peristiwa penting pengalaman SBY yang diceritakan dalam ceramahnya. Dia juga mewanti-wanti, ambilah hal-hal yang baik dan buang hal yang buruk. Sebab permasalahan yang akan datang belum tentu bisa diselesaikan dengan solusi yang pernah dijalankan dalam era pemerintahan SBY. Akan selalu ada pro-kontra terhadap kebijakan yang diambil. Selama ini dalam mengambil kebijakan selalu berpegang teguh pada aturan hukum dan mengedepankan demokrasi serta sedapat mungkin melakukan kompromi untuk mencapai kesepakatan, sehingga terkesan tidak tegas dan ragu-ragu. Dalam beberapa kasus SBY langsung menangani sendiri tidak mendelagasikan kepada orang lain, sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya. Tetapi untuk hal-hal yang yang berkaitan dengan keutuhan NKRI SBY tidak segan-segan untuk bertindak tegas tidak ada kompromi.

Beberapa orang yang ditanya komentarnya tentang ceramah SBY menyatakan positif dan memuji isi ceramahnya. Seorang dosen UI menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan SBY yang tidak mempersiapkan calon pemimpin masa yang akan datang. Karena tantangan yang dihadapi semakin berat, justru pemimpin yang akan datang harus dipersiapkan dengan baik, terlepas apakah nanti dia dipilih atau tidak dipilih oleh rakyat. Ada dua orang Guru Besar Fakultas Ekonomi yang justru menilai ceramah SBY mengandung banyak kelemahan. Misalnya dalam pencapaian indeks kesejahteraan rakyat yang tiap tahun semakin meningkat. Harus ada bandingannya, saat ini peringkat Indonesia berada di urutan 108, masih kalah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand san Filipina. Juga mengenai ada beberapa pernyataan SBY yang seharusnya dimasyarakatkan oleh Kementerian Kominfo, tetapi kementerian tersebut terkesan tidak pro-aktif memasyarakatkan kebijakan presiden. 09062011

June 7, 2011

“Udin” Masuk Kurikulum Pendidikan Pancasila?

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:11 am

Penulis tidak mempunyai pengalaman membuat kurikulum, tetapi ingin “rembugan” soal kurikulum Pendidikan Pancasila yang baru-baru ini dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh. Paling tidak bisa memberikan inspirasi kepada pihak yang mempunyai kewenangan dalam membuat kurikulum. Kalau pun memang tidak layak, paling tidak bisa membuat pembaca terhibur. Namanya juga “penggembira”, harus bisa menghibur, tetapi juga ada sesuatu yang patut direnungkan. Itulah tujuan tulisan ini.

Dalam buku memoarnya yang berjudul (kalau tidak silap) “Aneka Warna”, almarhum Prof.Dr. Slamet Iman Santoso, Bapak Psikologi Indonesia menceritakan, bagaimana pola pendidikan pemerintah kolonial Belanda kepada para siswa bangsa pribumi. Kepada para siswa yang telah menghabiskan pakanci, biasanya Guru Belanda suka bertanya pergi kemana saja selama liburan. Kalau ada siswa yang bercerita liburannya pergi ke satu kota, maka si guru belanda akan bertanya tentang data kota tersebut. Misalnya saja kota tersebut penghasil apa, apa nama gunung di kota tersebut, hasil pertanian yang utamanya apa dan lain-lain. Dengan demikian para siswa dilatih untuk mengetahui lebih jauh tentang kota tersebut. Atau kalau suatu saat pergi liburan lagi, si siswa akan berusaha mencari informasi tentang data-data kota tersebut. Dengan demikian maka siswa akan terlatih untuk menghafal tentang data-data geografis dan informasi lainnya tentang kota tersebut.

Rabu lalu (01/06) ketika melakukan dokumentasi kegiatan pendaftaran mahasiswa baru UI program undangan (tanpa tes) di Balairung Kampus Depok, penulis berkenalan dengan seorang mahasiswa baru asal Mataram Nusa Tenggara Barat. Dengan bangganya dia bercerita masuk Departemen Komunikasi FISIP UI. Kenapa memilih program studi tersebut, dia mengatakan karena ingin menjadi reporter yang handal. Penulis bertanya, apakah satu kampung dengan pencipta lagu “Udin Sedunia”. Beda katanya, kalau dia orang Lombok Barat, sementara Soaludin pencipta lagu itu orang Sasak yang berasal dari Lombok Timur. Menurut pengamatan penulis, ini orang hebat juga, bisa menciptakan lagu yang dapat memberikan inspirasi kepada orang lain dan lagunya itu cukup fenomenal serta mempunyai ciri sendiri, yang orang tidak berpikir ke arah sana. Bagaimana nama orang bisa ditafsirkan dengan cerdik, seperti orang yang suka tinggal di kamar (Kamarudin), binatang yang suka jalan-jalan di jalan (sapiudin). Kita bisa menafsirkan nama lain misalnya orang yang berjualan ikan asin (Jamaludin).

Kembali kepada kurikulum Pendidikan Pancasila, barangkali bisa diajarkan dan dihapalkan buat para siswa dengan mengadaptasi lagu udin tadi. Misalnya menghafal nama-nama orang berikut sepak terjangnya yang mempunyai konotasi tertentu, tujuannya supaya para siswa bisa belajar mana yang tidak patut untuk ditiru. Contohnya nama seorang hakim yang mencemari korpsnya (Syarifuddin), nama bendahara partai yang menggoncangkan dunia perpolitikan (Nazaruddin), atau nama seorang gubernur yang berlaku curang dalam pilkada (Agusrin M Najamudin). 07062011

June 6, 2011

Tugas Berat Mendiknas M. Nuh

Filed under: Uncategorized — rani @ 3:09 pm

Dalam pemberitaan media beberapa hari ini, berkaitan dengan peringatan lahirnya Pancasila, hangat diperbincangkan Mendiknas mendapat tugas untuk memasukkan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan. Ini suatu tugas yang cukup berat mengingat pengalaman masa lalu pada jaman Orde Baru Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) di lakukan tidak saja di lembaga pendidikan tetapi juga di berbagai instansi pemerintah dan swasta pada semua berbagai lapisan masyarakat.

Pada saat memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei lalu, dalam teks pidato mendiknas, terlihat jelas program Kementerian Pendidikan Nasional yaitu bagaimana mengembangkan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai landasan untuk membina karakter dan watak generasi muda yang akan datang. Tetapi perkembangan yang begitu cepat berubah dengan adanya peristiwa teror bom yang mengatasnamakan agama dan konflik horizontal antar golongan perilaku beberapa aparatur Negara dan politikus yang tidak lagi mengindahkan etika, membuat bahan perenungan yang mendalam, pasti ada yang tidak beres dengan pada sistem pemerintahan. Pidato mantan Presiden Habibie pada peringatan Hari lahirnya Pancasila dengan tepat sekali membeberkan ketidakberesan itu. Bangsa ini sudah melupakan esensi dan makna sebenarnya hakekat Pancasila.

Beberapa waktu lalu penulis sempat menghadiri acara promosi doktor bidang Antroplogi di FISIP UI, yang memakai landasan teori invensi tradisi Eric Hobsbawm (1992). Salah satu kesimpulannya antara lain bagaimana invensi tradisi bisa berlangsung terus dan tetap eksis sehingga kepemimpinan dengan segala macam hak atau kewenangan akan terus langgeng. Itulah barangkali yang terjadi pada masa Orde Baru, Pancasila menjadi satu alat untuk melanggengkan kekuasaan. Kalau jaman Orde Lama tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari Lahir Pancasila, maka jaman Orde Baru ada hari Kesaktian Pancasila, yang justru diperingati dengan lebih meriah. Tidak itu saja, bahkan dibuatkan pula film khusus untuk lebih terkesan secara mendalam kepada khalayak.

Kini pemerintah sudah menyadari, perlu strategi baru bagaimana invensi tradisi Pancasila bisa ditanamkan kembali kepada setiap warganegara Indonesia dengan baik dan benar, bukan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan yang berkuasa sekarang, melainkan untuk menjadikan warganegara sadar akan hak dan kewajibannya demi mencapai kesejahteraan rakyat dan kejayaan bangsa.

Pengalaman yang dilakukan Prof.Dr. Nugroho Notosusanto sewaktu menjadi Rektor UI dimulai dengan melakukan ujicoba pelaksanaan P4 pada kelompok kecil di lingkungan mahasiswa baru. Waktu itu masih bersifat sukarela dan tidak ada indoktrinasi. Mahasiswa diberi kebebasan untuk berbicara dan berargumentasi. Dosen dan para fasilitator hanya bersifat membimbing untuk kelancaran jalannya kegiatan diskusi. Salah satu peserta yang paling aktif di kalangan para mahasiswa baru UI yaitu saudara Effendi Gozali yang kini menjadi salah seorang pakar komunikasi politik. Kebetulan penulis masih menyimpan rekaman video kegiatan P4 mahasiswa baru UI. Tidak ada salahnya kalau Kementerian Pendidikan mempelajari dan mengevaluasi kegiatan P4 tempo dulu. Ambil yang baiknya dan buang yang jeleknya. Dengan demikian maka Kementerian Pendidikan tidak mulai dari nol sama sekali dalam merancang kurikulum Pancasila.(06052011)

Buku, Aktivis, Intelektualitas dan Aktualisasi Diri

Filed under: Uncategorized — rani @ 1:59 pm

Ide tulisan ini muncul ketika di salah satu milis beramai-ramai mengucapkan selamat kepada anggotanya yang telah berhasil menulis dan membukukan ide-ide serta pemikirannya tentang sesuatu hal yang menjadi fokus pengamatan atau hasil penelitiannya. Suatu prestasi yang patut diapresiasi, karena tidak setiap orang mampu menulis dan membuat buku, disebabkan berbagai kendala antara lain kesibukan dan ketiadaan waktu untuk merenung mengendapkan ide/pikirannya menjadi satu tulisan.

Dalam lingkungan akademik, perkara tulis menulis bukan sesuatu yang asing. Sejak tingkat pertama seorang mahasiswa sudah disibukkan untuk membuat laporan atau tugas yang diberikan dosen, bahkan kesarjanaan (S1) seseorang dilihat dan diuji dari hasil tulisan skripsi yang dibuatnya. Tetapi bukankah skripsi juga bisa dibuatkan orang, jadi calon sarjana tidak perlu repot membuat skripsi? Betul, tetapi ada kasus seorang teman satu angkatan penulisan skripsinya dibantu teman-temannya. Ketika dia maju sidang, tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan penguji, karena dia tidak menguasai materi skripsi yang diajukan. Padahal dosen pembimbing skripsinya menjabat Ketua Jurusan Program Studi. Seorang teman lain lagi, dia menulis skripsinya sampai ratusan halaman, menyamai tulisan disertasi doktor yang tebalnya seperti bantal. Keruan saja para pembimbingnya meminta untuk ditulis ulang dengan lebih ringkas.

Di Fakultas Hukum UI, ada tradisi beberapa orang yang melakukan promosi doktornya, kepada para undangan diberikan disertasi yang sudah menjadi buku yang enak dibaca. Artinya disertasinya diedit sedemikian rupa, dengan bahasa yang popular tetapi tetap mengindahkan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Keuntungannya, bagi doktor yang kebetulan berstatus PNS/dosen, menjadi tambahan untuk nilai kum bagi jenjang kepangkatannya untuk memenuhi persyaratan menjadi Guru Besar. Di Fakultas lain, belum pernah melihat disertasi yang langsung dibuat menjadi buku. Hanya sebatas dibuatkan ringkasan disertasi.

Tiga tahun belakangan ini Badan Eksektuif Mahasiswa (BEM) UI setiap akan mengakhiri masa kerjanya membuat buku, rangkuman tulisan dari berbagai kalangan yang menyoroti permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Walaupun buku tersebut beredar dalam lingkungan terbatas, suatu kemajuan dan kesadaran dari para aktivis mahasiswa akan pentingnya penulisan buku.

Akhir Maret lalu, penulis sempat menghadiri peluncuran kembali buku otobiografi proklamator Bung Hatta yang diselenggarakan penerbit buku Gramedia. Buku yang ditulis sendiri oleh Bung Hatta sendiri setelah tidak menjabat sebagai wakil presiden dan diterbitkan untuk pertama kalinya oleh penerbit Tintamas tahun 1979. Dari situlah kita dapat melihat kembali gagasan dan kiprah yang dilakukan Bung Hatta sejak jaman pergerakan ketika menimba ilmu di Bleanda hingga kemerdekaan, yang tidak semua orang mengalami dan menjadi pelaku sejarah. Taufik Kiemas, Ketua MPR memberikan komentar kepada penulis, ciri khas dari para tokoh jaman dahulu, selain aktivis dan seorang intelek juga mempunyai kemampuan menulis yang bagus.(10052011)

June 1, 2011

Menggugat Pembukaan UUD 1945

Filed under: Uncategorized — rani @ 2:21 pm

Pada Sore harinya (17 Agustus 1945, pen.) aku menerima telpon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang menanyakan, dapatkah aku menemui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan sesuatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishiyama sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang, Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, yang dikuasai Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang berbunyi,”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Akan tetapi, tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-undang Dasar berarti mengadakan “diskriminasi” terhadap golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-undang Dasar, Mr. A.A Maramis yang ikut serta dalam dalam Panitia Sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu A.A. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang yang 90 % jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi. Pembukaan Undang-undang Dasar adalah pokok daripada pokok sehingga harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya. Kalau sebagian daripada dasar pokok itu hanya mengikat sebagian dari rakyat Indonesia, sekalipun yang terbesar, itu dirasakan oleh golongan minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu, kalau diteruskan juga Pembukaan yang mengandung diskriminasi itu,, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.

Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan “Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh,” perkataannya berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 Tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan menguasai. Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya bahwa esok hari dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkepala panas itu supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda.

Karena begitu serius rupanya, esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan Negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 Menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.

Pada waktu itu kami menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ke Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Negara Indonesia yang kemudian memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai rencana undang-undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem syariat Islam yang teratur dalam undang-undang, berdasarkan Al Quran dan hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang. Orang tidak perlu mengambil saja dari syariat Islam yang berlaku dahulu di negeri-negeri Arab dalam abad ke-8, ke-9, atau ke-10 yang pada waktu itu sesuai pula dengan keadaan masyarakat di situ.

Kira-kira pukul 09.30 sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibuka oleh ketuanya, Sukarno. Perubahan yang disetujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, disetujui oleh sidang lengkap PanitiaPersiapan Kemerdekaan dengan suara bulat. Sesudah itu dipersoalkan Undang-Undang Dasar seluruhnya dengan mengadakan sedikit perubahan di sana-sini yang tidak prinsipil. Yang prinsipil hanya perubahan dalam Pembukaan yang tersebut tadi, yang diterima dengan suara bulat. (Dikutip dari buku otobiografi Mohammad Hatta Untuk Negeriku, pada buku ketiga berjudul “Menuju Gerbang Kemerdekaan” hal.95-98)

Seputar Kelahiran Pancasila

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:52 am

Pada permulaan September 1944, tersiarlah ucapan PM Koiso, yang menggantikan Tojo sebagai Perdana Menteri Jepang bahwa Indonesia akan dimerdekakan “kelak kemudian hari”. Ucapan itu sangat menggembirakan, boleh dikatakan di seluruh Indonesia. Di Jakarta diadakan rapat umum untuk menyambutnya. Sukarno dan beberapa pemimpin Jawa Hokokai lainnya berpidato di lapangan Ikada. Aku pun diminta berpidato. Sejalan dengan pengumumam Perdana Menteri Koiso itu, di Jawa terdapat banyak perubahan. Lagu “Indonesia Raya” dibolehkan dinyanyikan kembali. Bendera merah putih boleh dikibarkan bersama-sama dengan Hino-maru. Dalam bulan Desember 1944 diangkat beberapa orang Indonesia menjadi sanyo pada tiap-tiap departemen. Mereka itu dianggap sebagai wakil ketua departemen.

Jabatan itu diadakan sebagai latihan untuk kelak menjadi menteri apabila Indonesia dimerdekakan. Pada bulan Mei 1945 diadakan suatu panitia dengan nama Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Anggotanya dipilih oleh badan-badan atau organisasi yang ada pada tiap tiap Shu dan atas pilihan itu ditunjuk Shucokan jumlah anggotanya kira-kira 60 orang. Ketua panitia itu ialah dr. Radjiman Wediodiningrat, yang diangkat oleh Gunseikan dari anggota-anggota yang terpilih. Pada tanggal 29 Mei 1945 sidang panitia itu mulai dibuka oleh dr, Radjiman Wediodiningrat dengan suatu pidato yang agak ringkas. Dalam pidato itu ditanyakannya, Negara yang akan kita bentuk itu apa dasarnya?

Anggota yang terbanyak tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir, pertanyaan itu akan membawa pertikaian filosofis yang akan mengambil waktu yang panjang sekali. Ada yang mengemukakan, mana yang baiknya saja bagi Indonesia pada masa peralihan: demokrasi parlementer atau demokrasi yang memakai kabinet presidensiil seperti di Amerika Serikat. Pada hari ketiga agak tajam pertentangan antara golongan yang mengemukakan Negara Islam dan golongan yang mempertahankan Negara yang bebas dari pengaruh agama. Hanya Sukarno yang menjawab pertanyaan Ketua Radjiman Wediodiningrat.

Pada hari keempat tanggal 1 Juni 1945, Sukarno berpidato panjang lebar yang lamanya kira-kira 1 jam yang berpokok pada Panca Sila, lima dasar. Pidato itu disambut hampir semua anggota dengan tepuk tangan yang riuh. Tepuk tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan. Sebelum selesai sidang hari itu, Ketua Radjiman Wediodiningrat mengangkat suatu panitia kecil yang didalamnya duduk semua aliran, Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli konstitusi, untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Sukarno itu. Panitia kecil itu menunjuk Sembilan orang diantara mereka untuk merumuskan kembali pidato Sukarno yang kemudian diberi nama Pancasila.

Menurut pidato Sukarno, kelima sila itu urutannya ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Panitia Sembilan mengubah susunannya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila yang pertama, sebagai sila yang mempersatukan seluruhnya. Sila kedua diganti menjadi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ketiga disebut sila Persatuan Indonesia, untuk menegaskan kepada orang-orang Jepang bahwa Indonesia mau bersatu, tidak mau dibagi-bagi, sila keempat itu ialah sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, sila kelima ialah Sila Keadilan Sosial.

Teks Pancasila yang sudah dirumuskan kembali menurut keputusan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia akan dimuat dalam permulaan UUD Republik Indonesia. Dalam Panitia 9, Sukarno meminta Mr. Muhammad Yamin membuat suatu preambul yang di dalamnya dimuat teks Pancasila. Preambul itu dibuat terlalu panjang oleh Mr. Muhammad Yamin sehingga Panitia Sembilan menolaknya. Bersama-sama dengan Mr. Muhammad Yamin, Panitia Sembilan membuat teks yang lebih pendek, seperti yang terdapat sekarang pada UUD Republik Indonesia.

Mr. Muhammad Yamin kemudian mengambil teks yang panjang itu sebagai pengganti pidato yang diucapkannya dalam sidang Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian lagi dimasukkannya ke dalam buku pertama yang tiga jilid, yang diterbitkannya dan berjudul Undang-Undang Dasar 1945.(dikutip dari Buku otobiografi Mohammad Hatta Untuk Negeriku pada buku ketiga yang berjudul “Menuju Gerbang Kemerdekaan” hal.64-67)