Antara “Jangan Menyerah” dan Salam Persahabatan
Dua kalimat tersebut di atas boleh dikatakan sebagai suatu rangkuman dari acara Bedah Buku “Televisi Jakarta di Atas Indonesia karya Ade Armando, mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia yang juga staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP. Paling tidak itulah kesan penulis yang menyempatkan hadir pada saat acara akan segera berakhir. Semua pembicara dan seorang penanya yang bekerja untuk pemberitaan Voice Of Amerika (VOA) menyebut-nyebut “jangan menyerah” untuk terus mengembangkan televisi jaringan di Indonesia yang oleh Ade Armando dikatakan mengalami kegagalan karena digilas televisi nasional yang berpusat di Jakarta. Acara bedah buku yang berlangsung Kamis (30/06) di Auditorium Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI Kampus Depok ini berakhir satu jam lebih dari waktu yang sudah ditentukan, karena baik penanya maupun pembicara panjang lebar memberikan komentar dan penjelasan dibalik kekusutan dan rimba raya penyiaran di tanah air ini.
Dalam bagian akhir acara bedah buku, Ade Armando memberikan klarifikasi, tujuan penulisan bukunya ( yang judulnya sangat provokatif) bukan untuk memusuhi para juragan industri penyiaran televisi nasional, apalagi berperang dengan sistem kapitalistik yang memang sudah mendominasi sistem perekonomian Negara ini. Tetapi mengingatkan, cobalah untuk bertindak adil, berikan kesempatan berkembang kepada televisi daerah/jaringan dan patuhi aturan yang telah dibuat komisi Penyiaran Indonesia yang telah berusahan menjabarkan semangat reformasi dalam bentuk regulasi penyiaran yang telah menjadi Undang-undang. Para pengelola televisi di Jakarta sebetulnya diuntungkan kalau televisi daerah berkembang. Di Amerika Serikat yang menjadi “mbahnya” sistem kapitalisme, bisa bertindak adil, kenapa di Indonesia tidak bisa?
Maka ketika penulis meminta tanda tangan Ade Armando pada buku karyanya , dia menuliskan kata “untuk Rachmat, salam persahabatan”. Seakan-akan menyiratkan antara televisi Jakarta dan televisi berjaringan (daerah) harus bersahabat. Atau ingin menegaskan, walaupun selama ini antara penulis dan Ade Armando selalu bersebrangan dalam beberapa hal pemikiran, tetapi harus tetap terjalin persahabatan. Entahlah, hanya Ade Armando sendiri yang tahu, kenapa di buku penulis tertulis kata “salam persahabatan”.
Perkara pencantuman nama yang bertanggung jawab terhadap kegagalan televisi jaringan di Indonesia, Ade Armando secara terang-terangan menyebut nama Sofyan Djalil (sewaktu menjabat Menkominfo, kini Ketua ILUNI UI) dan Jimly Ashshidiqie (mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Guru Besar FHUI). Dua nama ini sama-sama orang UI. Bahkan Jimly adalah satu angkatan dengan Ade Armando sewaktu mengikuti kegiatan Latihan Prajabatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) UI tahun 1990. Menurutnya pencantuman nama itu sengaja, supaya orang ingat atau paling tidak yang bersangkutan ingat, sewaktu menjadi pejabat negara membuat kebijakan yang salah. Ini adalah tradisi tragedi atau tradisi ilmiah, suatu kebijakan yang salah tetap harus dikatakan salah, walaupun yang membuat kebijakan itu teman dekat bahkan satu almamater. Ini barangkali satu tradisi yang sesuai dengan motto UI saat ini yang menjunjung azas VERITAS (kebenaran), PROBITAS (kejujuran) dan IUSTITIA (keadilan). (300611)