Demokrasi Vs Musyawarah Untuk Mufakat
Suatu hal yang tidak diduga, pada saat Tanya jawab dengan para calon ketua ILUNI FISIP 2011 – 2013 Sabtu kemarin (11/12) harus berhadapan dan berbeda paham dengan Abang Yasril Ananta Baharuddin (FISIP angkatan 1975), politikus, mantan anggota DPR fraksi Golkar dan mantan diplomat di PBB. Gara-garanya diojok-ojok sama Ketua angkatan FISUI ’80 Indra Sadya Darmawan. Ibaratnya seperti “diceburkan” ke kali, jadi kepalang basah.
Pada saat tanya jawab itu Yasril Ananta Baharuddin yang menjagokan salah seorang calon ketua ILUNI FISIP mengusulkan supaya dua calon ini berembug diantara keduanya untuk mencapai kesepakatan, siapa yang akan memimpin Ketua ILUNI FISIP, untuk menghindari terjadi konflik diantara keduanya dan para pengikutnya. Dia melihat keduanya mempunyai program yang bagus dan kapabel menjadi ketua. Tetapi kemudian penulis memberi komentar supaya tetap saja dilakukan pemungutan suara, karena tampaknya panitia sudah mempersiapkan mekanisme pemungutan suara, serta untuk mengetahui sejauh mana dukungan yang didapat oleh masing-masing calon. Kalau dengan musyawarah mufakat tidak akan diketahui seberapa besar seorang calon mendapat dukungan dari para alumni.
Setelah selesai mengemukakan pendapat, langsung dipanggil Bang Yasril. Dia berpendapat penulis tidak bisa menangkap maksud dari musyawarah untuk mufakat. Mekanisme ini jauh lebih baik daripada sistem pemungutan suara karena berasal dari akar budaya bangsa. Justru dengan sistem demokrasi a’la Barat seperti pemungutan suara, negara kita menjadi carut marut tidak keruan. Sekjen PBB katanya, dipilih bukan dengan cara pemungutan suara terbanyak, tetapi dengan musyawarah untuk mufakat.
Ketika dilakukan pemungutan suara dan akhirnya diketahui siapa yang mendapat suara terbanyak, maka untuk sementara selesailah persoalan. Tetapi ternyata seorang panitia mengemukakan ada kelemahan dan kejanggalan dalam mekanisme dan proses pemungutan suara. Ada suara yang mewakili satu angkatan sangat diragukan kebasahannya. Belum lagi suara yang mewakili angkatan tua, apakah betul dia itu mahasiswa angkatan seperti yang dia akui? Ini menunjukkan proses pemungutan suara berjalan tidak dengan semestinya.
Bagaimana cara penyelesaiannya? Mungkin harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa kira-kira putusan yang akan diambil MK? Pasti akan mensyahkan hasil pemungutan suara tersebut. Lho kok begitu! Apa dasar pertimbangannya? Karena begitulah proses demokrasi yang berjalan di Indonesia.