Budaya Kekerasan di Kalangan Mahasiswa
Sangat memprihatinkan atau dalam bahasa Jawa “miris” ketika membaca pemberitaan tentang mahasiswa yang melakukan demonstrasi atau berunjuk rasa dalam upaya berargumentasi /bernalar mengemukakan dan menegakkan prinsip-prinsip yang diyakininya mengandung kebenaran yang perlu diperjuangkan tetapi akhirnya berujung dengan kekerasan dan anarkhis. Apapun alasannya, ketika nalar/pemikiran sudah berubah menjadi suatu tindakan anarkhis menjadi susah untuk dikendalikan dan berdampak kepada hal-hal yang justru tidak terpikirkan sebelumnya. Hal inilah yang dikhawatirkan, karena kalau sudah mencapai kepada tingkat kekerasan, hilanglah sifat dan keunggulan seorang mahasiswa, yang terlihat segerombolan orang yang bertindak brutal dan beringas.
Ketika dulu pada jaman rezim Orde Lama dan Orde Baru, para mahasiswa merasa bangga dan terhormat jika melakukan demonstrasi menentang rezim apalagi sampai ditahan, karena dengan demikian bisa mengenal lebih jauh terhadap orang/pihak yang menahannya. Tidak jarang, setelah selesai menjalani tahanan, hubungan antara mahasiswa dengan pihak yang menahannya menjadi lebih akrab dan terjalin komunikasi yang lebih baik. Karena ternyata mereka juga bersimpati terhadap gerakan/demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Biasanya mereka berkilah hanya sekedar melaksanakan tugas, tetapi kata hati mendukung apa yang diperjuangkan mahasiswa. Para mahasiswa pun tidak berani beradu fisik atau berkonfrontir dengan aparat yang bertugas, karena tahu mereka hanya sekedar menjalankan tugas. Waktu itu demonstrasi mahasiswa lebih merupakan keinginan untuk mendapatkan perhatian dalam menyampaikan aspirasi, supaya didengar atau diperhatikan pihak yang berwenang. Ketika terlihat ada indikasi melakukan kekerasan seperti membakar ban-ban bekas atau melakukan perusakan, dengan segera pimpinan UI menindak dengan tegas dan kalau perlu (menskor atau memecat pelaku tindakan kekerasan). Kebijakan yang keras ini, pada mulanya menimbulkan penentangan dari berbagai kalangan kampus dan juga dari aktivis mahasiswa. Setelah itu ternyata, para demonstran mahasiswa berpikir dua kali kalau mau mengadakan demonstrasi dengan melakukan tindakan kekerasan (anarkhis). Sejak itu, demo-demo yang dilakukan para mahasiswa lebih tertib dan beradab. Puncaknya “keberadaban” demonstrasi mahasiswa UI, menjelang keruntuhan Orde Baru. Didahului dengan melakukan demo-demo di Kampus Salemba dan Depok. Kemudian berlanjut melakukan dialog dengan Fraksi ABRI di MPR. Cukup dengan memberikan pernyataan tertulis menyatakan ketidakpercayaan terhadap mandataris MPR dengan disertai argumen yang mendukung pernyataan tersebut. Padahal saat itu, ada peluang bila para mahasiswa melakukan demonstrasi dengan kekerasan.
Ketika mendengar kabar dari media elektronik ada demonstrasi dan berujung dengan perkelahian antar mahasiswa dalam satu universitas di Makassar, menjadi teringat kembali kisah-kisah senior dahulu kalau di UI pun pernah terjadi perkelahian antar mahasiswa fakultas teknik dengan fakultas Ekonomi, ketika masih berkampus di Salemba. Dan Tadi siang (19/10) mendengar berita para mahasiswa Makassar melakukan demonstrasi menentang kehadiran Presiden SBY. Dan betul saja demonstrasi berujung dengan kekerasan, beberapa mahasiswa dan aparat keamanan ada yang terluka. Apakah kekerasan yang diperlihatkan para mahasiswa Makassar ada kaitan dengan budaya setempat atau watak keras dari sukubangsa yang ada di Makassar? Ataukah ada rasa bangga di kalangan para mahasiswa kalau melakukan demontrasi dengan kekerasan, walaupun hal itu harus dibayar dengan nyawa sekalipun? Sebetulnya demonstrasi anarkhis bisa dicegah kalau saja pimpinan perguruan tinggi di Makassa bertindak tegas terhadap perbuatan para mahasiswa yang berbuat onar, seperti juga yang terjadi tempo hari di UI. Kekerasan di kalangan mahasiswa ibarat virus yang hinggap pada diri seseorang, akan dengan cepat menular kepada orang lain hanya dalam waktu yang sekejap saja. Sama seperti nyamuk demam berdarah, kalau dia hinggap pada seseorang, selain menggigit dan menghisap darah, sang nyamuk pun menularkan penyakit DBD.Seorang pejabat suatu bank yang berasal dari Makassar, justru merasa malu dengan tindakan para mahasiswa Makassar yang bertindak anarkhis. “Mereka (para mahasiswa itu) tidak sadar, telah membuat citra yang buruk bagi masa depannya sendiri. Ketika mereka akan melamar pekerjaan, perusahaan akan melihat latar belakang sepak terjangnya selama menjadi mahasiswa.”