Teori Model Doger Monyet
Semalam menjelang pagi (06/10) mendengar berita di Radio El Shinta, Presiden SBY menunda kunjungan kenegaraan ke Negeri Belanda, setelah mendapat masukan dari para staf ahli dan para pembantu Presiden, sehubungan dengan adanya peristiwa dimana seorang pengacara yang mewakili komunitas Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda, mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Internasional tentang pelanggaran Hak Azasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan karenanya meminta untuk menangkap dan mengadili kepala Negara Indonesia. Sidang kasus ini ternyata dipercepat dan waktunya bersamaan dengan kunjungan Kepala Negara Indonesia ke Negeri Belanda.
Kemarin sewaktu menurunkan artikel “Kampanye dan Doger Monyet” tak terlintas dalam pikiran untuk membuat suatu teori model. Tetapi ketika mendengar kabar di atas, tiba-tiba saja terbersit dalam pikiran, kenapa tidak membuat “model doger monyet”. Dalam ilmu Komunikasi, banyak model dibuat untuk dapat memudahkan dalam melihat atau menganalisis suatu kenyataan/fakta yang terjadi. Misalnya saja teori komunikasi “model jarum suntik”, model Lasswell dan sebagainya. Nah, model doger monyet ini terdiri dari beberapa komponen. Ada juragan yang berkuasa terhadap monyet. Ada monyet lehernya diikat dengan tali dan dikendalikan oleh juragan, yang harus menjalankan segala instruksi yang diberikan juragannya. Ada seperangkat permainan yang harus dimainkan oleh monyet. Ada Gendang, tetabuhan untuk meramaikan suasana atau menyemangati permainan doger monyet.
Mari kita lihat kasus penundaan kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Balanda. Konon katanya, salah satu agenda penting kunjungan itu adalah karena Ratu Belanda akan memberikan secara khusus dan langsung pengakuan kedaulatan atas NKRI. Padahal pengakuan kedaulatan telah dilakukan Pada Desember tahun 1949, dalam konferensi Meja Bundar (KMB). Jelas sekali di sini Walanda sebagai “juragan” yang pernah berkuasa dan memerintah Hindia Belanda. Konon katanya, pada kesempatan itu Belanda akan meminta maaf atas pembunuhan 40 ribu orang Indonesia oleh Westerling yang Orang Belanda. Ini adalah “gendang” untuk meramaikan suasana. Tetapi di saat yang sama ada Mahkamah Internasional yang akan bersidang tentang pelanggaran Hak Azasi manusia oleh pemerintah Indonesia. Ini jelas sejenis “permainan” dari sang juragan untuk dipertontonkan dan dimainkan oleh sang monyet. Untunglah Presiden SBY menolak untuk datang saat ini melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda. Kalau tetap jadi juga berangkat, kita akan tetap dianggap sebagai pemain doger monyet.