October 31, 2010

Yang Amat Sangat Terpelajar

Filed under: Uncategorized — rani @ 11:44 am

Kita mengenal kata pelajar atau siswa, sebutan untuk seorang yang studi di sekolah dasar hingga sekoleh menengah. Begitu pula kata guru, mengacu kepada seorang yang memberikan pelajaran di tingkat sekolah dasar hingga menengah. Kita juga mengenal mahasiswa untuk sebutan seorang yang menuntut ilmu di tingkat pendidikan tinggi serta mahaguru atau guru besar merujuk kepada seseorang yang memberikan pelajaran di tingkat pendidikan tinggi. Dari pengertian ini kemudian berkembang istilah-istilah akademis lain yang mengadopsi dari istilah akademik yang berlaku di negeri Belanda, yang dulu mengembangkan pendidikan tinggi di Indonesia sejak sebelum proklamasi kemerdekaan hingga awal kemerdekaan NKRI.

Banyak hal atau tradisi akademik di lingkungna pendidikan tinggi (khususnya UI) yang aneh dan terkadang menggelikan.Tetapi karena itu sudah menjadi tradisi yang turun menurun sejak dahulu, maka sudah dianggap biasa dan lazim sehingga tidak menimbulkan suatu keanehan lagi. Pada masa tahun kedua perkuliahan, ketika mendapat tugas matakuliah teknik mencari dan menulis berita, ditugaskan untuk meliput kegiatan acara promosi doktor di suatu fakultas. Banyak istilah baru ditemukan. Misalnya saja promovendus/promovenda untuk calon doktor. Pastilah ini sebutan diambil dari bahasa Belanda. Kalau calon doktor akan menjawab pertanyaan yang diajukan penguji, calon doktor harus menyebutkan nama penanya kemudian disambung dengan menyebut sebutan tertentu,sesuai dengan gelar yang disandangnya. Misalnya kalau penanya bergelar doktor, maka calon doktor harus menyebutnya “Bapak/ibu Fulan yang amat terpelajar”. Kalau penanya bergelar professor,maka sebutannya “Bapak/ibu Fulan yang amat sangat terpelajar”. Kenapa sebutannya seperti itu, barangkali kita bisa mengira-ngira alasannya sebagai berikut. Kalau sebutan terpelajar diperuntukkan bagi mahasiswa jenjang S1, maka untuk doktor yang telah menyelesaikan jenjang S3 diberi sebutan “amat terpelajar”. Sedangkan untuk sebutan pengganti kata profesor, yang dari segi keilmuan sudah mumpuni melebihi kemampuan seorang doktor, dipakailah sebuan “yang amat sangat terpelajar”. Ketika calon doktor dinyatakan lulus, maka Ketua Sidang promosi pun akan dengan serta merta menyebut calon doktor dengan sebutan “yang amat terpelajar”. Tradisi akademik seperti ini berlangsung hingga akhir tahun 1990-an.

Setelah UI berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) tahun 2000, tradisi akademik tata cara promosi doktor ditata ulang kembali, termasuk sebutan-sebutan seperti tersebut di atas. Lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan tradisi akademik yang bersifat egaliter.

October 30, 2010

Taat Syariat Manfaat Dapat Pahala Berlipat

Filed under: Uncategorized — rani @ 11:05 am

Sampailah kita kepada masalah, bagaimana bisa membantu para korban bencana alam tetapi dengan tidak harus secara fisik berada di lokasi bencana untuk menyatakan rasa simpati yang mendalam dan menghibur masyarakat di lokasi penampungan. Biarlah hal itu dilakukan para aparat yang berwenang atau pejabat negara, supaya bisa merasakan penderitaan rakyat kecil yang terkena bencana.

Pada waktu masih di sekolah Lanjutan atas, pernah membaca buku “Capita Selekta” berupa kumpulan tulisan almarhum M. Natsir, salah satu tokoh Partai Masyumi dan pernah menjadi perdana Menteri jaman Kabinet Parlementer tahun 1950 an. Salah satu tulisan yang menarik yaitu Perdebatan antara dia dengan Soekarno pada jaman pra kemerdekaan. Disitu dikupas tentang membersihkan diri setelah anggota badan terkana najis anjing (kena moncong anjing, bukan moncong putih banteng, lambang salah satu parpol). Soekarno mengatakan,bersihkan saja pakai sabun yang memang mengandung zat pembunuh bakteri, praktis dan higienis. Tetapi M. Natsir berpendapat lain, dibersihkan dengan air yang dicampur pasir/tanah diusap-usap kepada badan yang terkena najis anjing tadi sebanyak tujuh kali. Hal itu sesuai dengan yang dicontohkan Muhammad Rasulullah. Kalau setelah dibersihkan air bercampur tanah kemudian dibersihkan dengan memakai sabun, boleh-boleh saja. Tetapi yang jelas Sunnah Rasul telah diterapkan. Sampai saat ini kita tidak tahu, zat apa yang terkandung dalam campuran tanah/pasir dengan air untuk membersihkan najis anjing. Dan kita juga tidak tahu, seberapa bersih sebetulnya sabun dapat membersihkan najis anjing.

Korban bencana pastilah sangat membutuhkan makanan untuk memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Asupan makanan harus seimbang dan mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan tubuh. Tidak sehat kalau hanya melulu makan mie, yang memang banyak disumbangkan dari berbagai pihak. Perlu juga daging khewan. Penulis berpikir, sebentar lagi umat Islam akan melaksanakan Idul adha yang diahiri dengan pemotongan dan pembagian khewan qurban. Kenapa tidak menyumbangkan daging khewan qurban kepada saudara-saudara kita yang terkena bencana, Tinggal dicari suatu teknologi sederhana supaya daging dapat tahan lebih lama, sehingga dapat disimpan dalam waktu tertentu tanpa mengalami pembusukan.

Dengan demikian, qurban dapat dilaksanakan sesuai perintah agama, dagingnya bermanfaat dan (Insya Allah) pahala berlipat.

October 29, 2010

Tanah Air Kita

Filed under: Uncategorized — rani @ 3:01 pm

Masih perkara memperingati Sumpah Pemuda, kali ini bicara tentang tanah air. Tempat dimana kita berpijak dan dimana kita senantiasa minum air yang telah menjadi kebutuhan kita sehari-hari. Tetapi rupanya di bagian lain tanah dan air ini menjadi komoditi yang diperjualbelikan dan menjadi alat politik politik untuk menekan pihak tertentu supaya mau mengikuti keinginannya.

Dua hari lalu istri penulis berkesempatan ke Bontang Kalimantan Timur dan bertemu dengan pihak pemda setempat dalam melaksanakan tugas. Bicara banyak berbagai hal dan banyak melihat perkembangan yang terjadi. Sumberdaya alam batubara sangat melimpah dan menjadi rebutan para pengusaha (pribumi) untuk mengolahnya. Tetapi rupanya pengusaha ini mensubkan lagi kepada perusahaan asing. Maka pengerukan batubara tidak terkendali dan tidak peduli dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Di tengah-tengah hutan belantara berdirilah kota Bontang dengan berbagai fasilitas yang berstandar internasional, bahkan pihak Pemdanya pun mempunyai pesawat sendiri dengan pilot dan montir orang asing. karenanya banyak orang asing yang hilir mudik di kota yang mencoba peruntungan mengais-ngais penghidupan di kota satelit di tengah-tengah hutan belantara. Itulah tanah kita tercinta di belantara Borneo.

Tigahari lalu penulis bertemu dengan orang LSM koalisi rakyat untuk air bersih yang kebetulan sama-sama mengikuti tele konferensi Pre-ASEAN Summit di GDLN Kampus Salemba. Berceritalah dia bagaimana PAM Jaya yang kini bekerjasama dengan konsultan asing justru merugi terus karena banyak kebocoran di tengah jalan sebelum sampai ke konsumen. Kebocoran ini sampai mencapai 50 %. Cilakanya lagi pihak PAM Jaya sendiri tidak mempunyai peta perpipaan air di wilayah Jakarta. Jadi tidak tahu dimana letak kebocoran itu. Padahal menurut orang LSM tersebut, di Malaysia yang jumlah pelanggan PAM nya lebih kecil daripada di Jakarta bisa untung besar dengan harga langganan yang lebih rendah daripada harga langganan di Jakarta.

Begitulah nasib dari tanah air atau ibu pertiwi kita, yang dalam lagu-lagu selalu didendangkan dengan penuh kesyahduan dan kecintaan mendalam, tetapi kini dieksploitasi orang asing, tetapi kita tidak berdaya.

October 28, 2010

Cara Berlogika dan Berbahasa Kita

Filed under: Uncategorized — rani @ 3:06 pm

Sumpah Pemuda pastilah berkaitan dengan tanah air, bangsa dan bahasa yang satu yaitu Indonesia. Seperti juga Universitas yang menyandang Indonesia hanya ada satu. Itu dulu, tapi kini sudah berbeda, karena kita sekarang lebih akrab dengan bahasa-bahasa asing dan makanan asing. Lihatlah pembicaraan orang-orang, bahasa iklan di media dan istilah lainnya berseliweran di berbagai media dengan amat bebasnya. Begitu juga dengan universitas, sekarang sudah ada Universitas (Pembangunan) Indonesia, ada juga plesetan universitas indonusa (esa unggul), atau ada lagi Universitas (persada) Indonesia. Jadi jangan heran kalau keindonesiaan kita sekarang ini jadi aneka ragam. Rupanya aneka ragam ini tidak saja melanda bidang bahasa, melainkan juga dalam hal tata kelola pemerintahan sekarang ini serta pola berpikir para birokrat dan wakil rakyat pun sangat beragam kacaunya.

Jika kita ingin mendengarkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar di media, maka dengarkanlah warta berita di berbagai televisi. Sinetron dan acara lain sejenisnya seperti guyonan, jangan harap bisa mendengarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tetapi justru yang hebat, film-film kartun memakai sulih bahasa Indonesia standar (yang baik dan benar). Tontonan buat anak-anak ini ternyata kurang efektif menyosialisasikan supaya dicontoh para anak-anak yang menonton. Karena ternyata anak-anak lebih menyukai memakai bahasa Indonesia dialek Betawi yang sering ditemui dalam percapakan yang biasa dipakai orang dewasa. Suatu ironi yang sangat menyedihkan pada saat sumpah pemuda sudah berusia 82 tahun.

Penulis masih ingat ketika memperingati 50 tahun ilmu Komunikasi FISIP UI (desember 2009), Prof. Dr. Harsono Suwardi menceritakan bagaimana para mahasiswa yang mengambil program studi Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Fakultas Hukum UI kesukaran dalam menangkap pelajaran yang diberikan oleh para dosen-dosen orang Belanda, karena kacau dalam berlogika. Karena itulah ketika hal tersebut dikemukakan kepada Prof. Djokosoetono dan mengusulkan supaya ada matakuliah filsafat dan logika bagi para mahasiswa, dengan serta merta ditolaknya. Tetapi Prof. Djokosutono mengusulkan supaya para mahasiswa cukup belajar bahasa saja, karena dalam berbahasa dapat tercermin bagaimana cara berlogika mahasiswa tersebut. Karena dengan berbahasa dapat diketahui bagaimana seseorang mengemukakan gagasan, alur berpikir dan sistimatika berbahasa orang tersebut.

Dahulu pernah tercetus, bahasa Indonesia potensial untuk dijadikan sebagai bahasa internasional seperti juga bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa pemersatu di kalangan negara-negara ASEAN, karena keunggulannya yang simpel, adaptif terhadap bahasa lainnya serta ditulis dalam huruf latin. Tetapi kemudian ‘tenggelam’ dan terkalahkan dengan bahasa asing yang banyak dipakai oleh kalangan terpelajar Indonesia. Akhirnya cita-cita sebagai bahasa pemersatu di kalangan negara serumpun pun makin surut. Yang terjadi adalah betapa kaum muda lebih merasa percaya diri kalau fasih dalam bahasa asing ketimbang bahasa nasional. Dan lebih celakanya lagi instansi pemerintah ataupun perusahaan swasta dalam merekrut pegawai lebih senang kepada calon pegawai yang fasih berbahasa asing ketimbang mempertimbangkan kemampuan berbahasa nasional yang baik dan benar.

Menantang Maut Merenggut

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:08 am

Inilah tragedi pada peristiwa Gunung Api Merapi yang menimpa seorang insani, saat melaksanakan tugas jurnalistik untuk mendapatkan keeksklusifan informasi . Ternyata kematian telah menanti seperti yang semua akan kita hadapi, tergantung bagaimana kita menyikapi, menantang malakal maut dengan menghadapi sebagai seorang idealis ataukah kita menghindari untuk bisa tetap bersaksi terhadap berbagai peristiwa yang terjadi tanpa harus kehilangan jati diri.

Peristiwa bencana alam senantiasa menorehkan kepedihan yang tiada terperi. Kerusakan lingkungan alam, kehilangan harta benda, kesakitan dan luka jasmani, kehilangan keluarga bahkan sampai kehilangan nyawa. Seperti yang terjadi pada peristiwa meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta. Karena itu diperlukan persiapan secara fisik dan mental untuk menghadapinya. Tetapi toh, masih saja terjadi hal-hal yang diluar dugaan, seperti yang menimpa Mbah Maridjan dan seorang relawan serta seorang wartawan.

Kalau menurut berbagai pemberitaan di media, sebelumnya telah diwanti-wanti jangan mendekati Merapi karena besar kemungkinan akan lewat “wedus gembel” (awan panas),tetapi relawan dan sang wartawan nekad naik gunung untuk membujuk dan menjemput Mbah Maridjan supaya mengungsi dari tempat tinggalnya yang hanya berjarak 4 kilometer saja dari puncak Gunung Merapi, yang justru memang diduga kuat akan dilewati “wedus Gembel”.

Sang Wartawan mungkin punya pertimbangan lain kenapa dia nekad untuk menjemput Mbah Maridjan. Sebagai yang pernah berecimpung dalam dunia jurnalistik, penulis mengerti betul naluri seorang wartawan untuk mendapatkan informasi yang eksklusif. Dan itu hanya bisa didapat dari narasumber seperti Mbah Maridjan. Tetapi rupanya sang wartawan tidak mengetahui betul “keganasan” dari wedus gembel dan inilah yang menyebabkan malapetaka menimpa.

Alih-alih maksud hati ingin mendapatkan informasi yang eksklusif dengan harapan mendapat berita yang spektakuler sehingga sang wartawan menjadi ternama, yang terjadi kemudian adalah “pulang” tinggal nama.

October 27, 2010

Menanti Maut Menjemput

Filed under: Uncategorized — rani @ 7:22 pm

Mbah Maridjan, penjaga Gunung Merapi dan juga petugas khusus sebagai pelaksana kegiatan ritual kraton Yogyakarta di Gunung Merapi telah meninggal dunia, setelah rumahnya diterjang “wedus gembel” dari puncak Merapi. Inna Lillahi Wa Inna Ilaiho Roojiuun, sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Inilah peristiwa dramatis yang begitu mengharukan seorang manusia yang berpegang teguh untuk melaksanakan tugas dan pekerjaannya secara total.

Seperti dijelaskan Sultan Hamengkubuwono X dalam wawancara sore ini (27/10) di Metro TV, Mbah Maridjan sangat mengerti akan tugasnya sebagai penjaga Merapi, ketika pemerintah memberlakukan status “siaga” Gunung Merapi, sehingga penduduk harus segera mengungsi tidak terkecuali Mbah Maridjan. Dalam usianya yang mencapai 80 tahunan dia juga sangat faham dengan seluk beluk “perilaku” Merapi kalau sedang “beraksi”. Tetapi Mbah Maridjan juga mendapat tugas khusus dari Kraton Yogya, terutama saat melakukan kegiatan ritual di Merapi. Pertentangan dalam melaksanakan dua tugas inilah membuat dia tetap bertahan tidak mengungsi, sampai akhirnya datang petugas relawan dan wartawan yang datang untuk menjemput Mbah Maridjan. Penjemput ini dan juga sebagian orang tidak mengerti akan kegundahan Mbah Maridjan kalau dia “meninggalkan” Merapi. Tetapi akhirnya dia mengalah juga dan berjanji akan ikut penjemput, setelah selesai melaksanakan shalat Magrib. Tetapi rupanya sang maut lebih dahulu “menjemput” saat Mbah Maridjan melaksanakan shalat magrib, bersama dua penjemput lainnya. Barangkali itulah yang dinantikan Mbah Maridjan, lebih senang dijemput maut dalam bertugas.

Mbah Maridjan, orang kecil yang mungkin pendidikannya pun rendah pula. Tetapi dia mengerti bagaimana harus menjalankan tugas, berdedikasi tinggi dan tanpa pamrih dalam melaksanakan pekerjaannya, kesetiaan dan totalitasnya dalam menjalankan perintah membuatnya rela untuk berkorban. Satu sikap dan watak yang jarang dipunyai para pemimpin kita sekarang ini.

Penulis membayangkan, jika saja para wakil rakyat kita bersikap seperti Mbah Maridjan, pasti dia akan rela mengurungkan kepergiannya untuk melakukan studi banding ke luar negeri. Biarlah biaya studi banding yang triliyunan rupiah itu diperuntukkan bagi perbaikan bencana alam yang tengah melanda negeri kita. Dengan demikian maka beban keuangan negara tidak terlalu berat. Tetapi kita juga jangan sampai tergantung dengan bantuan dari luar negeri. Karena ternyata kasus bantuan tsunami tahun 2004 itu telah membuat rakyat di Sabang bermental pemalas, seperti yang ditemukan para mahasiswa UI yang melakukan kuliah kerja nyata di sana Juli lalu.

Konsep Perancangan Kampus Depok

Filed under: Uncategorized — rani @ 11:18 am

A.Dasar Pemikiran Universitas Indonesia adalah satu-satunya universitas negeri di Tanah Air ini yang menyandang nama Indonesia. Selain berperan sebagai Universitas Pembina, UI juga berperan sebagai panutan bagi ciri Indonesia. Karena itu disamping memenuhi syarat fungsional juga memenuhi syarat ideal. Untuk itu jabaran citra Indonesia perlu dilakukan terlebih dahulu sebagai titik tolak bersama-sama dengan program fungsional.

Indonesia adalah Negara kepulauan, gugusan pulau-pulau ini mengindikasikan adanya kekhususan kelompok-kelompok masyarakat dan menghasilkan keanekaragaman kebudayaan. Walaupun semua daerah memiliki kekhususan sendiri-sendiri, ditemukan suatu ciri bersama di semua kebudayaan tersebut, seperti yang dinyatakan melalui semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

B.Wilayah Perancangan Wilayah perancangan terbagi atas Pusat dan Pinggiran. Wilayah Pusat lebih mencirikan ke “ika” an sedangkan wilayah Pinggiran lebih mencirikan ke “Bhineka”an. Karena misi sebuah universitas adalah mencari kebenaran, maka wilayah pinggiran mencerminkan dua pokok yang selalu menjadi inti kehidupan yaitu “manusia dan lingkungan”.

B1. Bentuk Keseluruhan Wilayah Pusat Wilayah Pusat perlu dinyatakan melalui keseragaman bahasa bentuk, bahan-bahan yang mewujudkannya, warna antar bangunan, ciri-ciri kewibawaan dan pertamanan yang mengisi ruang diantaranya. Bangunan-bangunan yang didirikan sedemikian rupa sehingga memberi arti bagi wilayah pusat sebagai tempat untuk melayani pendidikan dan tempat dimana segala kebijaksanaan Kampus dipusatkan. B2. Bangunan-bangunan di Pusat Bangunan-bangunan di wilayah ini perlu menyatakan diri sebagai obyek individual yang berdiri di atas podium dan berdialog satu dengan yang lainnya melalui sumbu-sumbu visual. Bentuk dasar bangunan bersifat memusat. Hirarki obyek perlu diatur sehingga mudah dimengerti; mana yang merupakan obyek terpenting dan mana yang bersifat paling banyak melayani. Melalui tata letak dan bentuk badan bangunan, ciri masing-masing obyek dapat ditampilkan bersatu, yaitu melalui keseragaman bahasa bentuk. Obyek yang terpenting perlu berperan sebagai paku bagi keseluruhan wilayah pusat; dan juga bagi keseluruhan kampus. Gedung Rektorat yang merupakan pusat dari seluruh wilayah kampus, dirancang untuk melambangkan Pancasila yaitu satu “Bangunan Inti” melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan diapit oleh 4 bangunan yang melambangkan ke-4 sila lainnya. B3. Pertamanan di Wilayah Pusat Pertamanan di wilayah ini perlu menciptakan suasana nyaman bagi wilayah Pusat agar manusia terlindung dari hujan, terik matahari dan angin. Pertamanan perlu memperhalus sumbu visual yang terjadi antara obyek-obyek di wilayah Pusat. Sesuai dengan norma bangsa yang jarang mengambil sikap frontal, peran pertamanan adalah memperlunak hubungan-hubungan frontal tersebut, sekaligus mempertegas ruang-ruang yang terjadi. Daerah hijau yang sudah ada perlu dipertahankan sejauh mungkin selama tidak mengganggu vista yang diadakan. Pertamanan juga diperlukan untuk meningkatkan dan memperjelas landasan ideal dari wilayah Pusat. Oleh karena itu jalan-jalan untuk pejalan kaki perl;u diperjelas melalui pertamanan ini. B4. Bentuk Keseluruhan di Wilayah Pinggiran Wilayah Pinggiran mengelilingi Pusat dan membentuk sebuah lingkaran terbuka ke arah Timur. Antara Pusat dan wilayah Pinggiran perlu ada batas visual yang jelas, namun tidak ada batas hubungan. Susunan gugusan bangunan di wilayah Pinggiran perlu mempunyai batas yang jelas bagi kegiatan yang terjadi di dalamnya. Batas tersebut melengkapi dirinya sendiri, tanpa membatasi jaringan hubungan antara gugusan yang satu dengan lainnya. Keseluruhan gugusan bangunan mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri dari wilayah Pinggiran dinyatakan melalui keseragaman aturan susunan gugusan bangunan yang menampilkan citra dan dusun masyarakat Indonesia pada umumnya, antara lain adanya bangunan utama sebagai pusat dan deretan bangunan-bangunan yang disusun mengelilingi atau merupakan kelanjutan dari bangunan utama tersebut. Hanya kegiatan rekreatif yang terlepas dari ikatan ini, namun keseragaman bahan-bahan bangunan tetap dipertahankan. B5. Bangunan-Bangunan di Wilayah Pinggiran Kompleks Fakultas-fakultas tidak lebih tinggi dari 4 lantai dengan jarak minimum sama dengan tinggi badannya (potongan). Bentuk dasar bangunan ada 2, yang bersifat memusat untuk fasilitas administratif dan pelayanan yang dikelola pusat fakultas seperti kelas dan perpustakaan dan yang bersifat memanjang untuk fasilitas penunjang latihan dan percobaan serta pengolahan. Bagian bawah (kaki) bangunan menyalurkan kegiatan pejalan kaki, sehingga ada hubungan yang terlindung dari hujan dan terik matahari antara bangunan dan hubungan yang sama antar fakultas di kelompok wilayah pinggiran. Bangunan rekreatif perlu diseragamkan melalui bahan bangunan dan pertamanannya. Perletakan bangunan ini hendaknya terikat oleh sumbu visual dengan pusat melalui dialog obyek-obyek.

C.Bentuk Umum Bangunan Bangungan-bangunan tradisional adalah salah satu wujud nyata keanekaragaman kebudayaan yang kita miliki. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lembaga teknologi FTUI terhadap khazanah Arsitektur Tradisional Indonesia dan setelah mempelajari bangunan-bangunan tradisional serta pengelompokannya memberi keyakinan akan adanya kenyataan berikut: C1. Cara Pengelompokan Pada hakekatnya terdapat dua macam bangunan, yang memanjang untuk yang berulang dan yang memusat untuk yang tunggal. Pengelompokan bangunan juga ditandai kedua ciri tersebut, menyebar memanjang atau memusat atau memusat menutup. C2. Bentuk Dasar Denah Bangunan Bentuk dasar denah bangunan selalu geometris, tersusun secara memanjang dan sentries/memusat. Yang dicapai dari tengah akan menambah ruangannya pada sisi kiri dan kanan sekaligus (bila ada kebutuhan untuk hal itu) atau menambahkan sebuah bangunan di belakangnya. Bangunan yang tersusun memanjang berbentuk empat persegi panjang dapat dicapai melalui salah satu sisinya. Dalam kasus yang terakhir ini, ruang-ruang mulia pun ada di sebelah tepi. Bangunan yang tersusun secara memusat akan mengambil bentuk bujur sangkar atau lingkaran. Dalam kasus ini ruang ini ruang-ruang mulia terdapat di bagian tengah. Baik bangunan dengan susunan memanjang maupun yang dengan susunan memusat selalu mempunyai serambi-serambi. C3. Bentuk Bangunan Bangunan pada umumnya didirikan di atas panggung, ketinggian panggung berbeda-beda, yang panggungnya tinggi akan membentuk sebuah kolong dan sering terdapat di daerah luar Jawa – Madura. Tiang-tiang selalu berdiri di atas umpak batu. Bangunan terdiri dari “kaki” (kolong/umpak), “badan” (ruangan-ruangan) dan “kepala” (atap). Pada badan bangunan hunian, balai, istana dan bangunan adat terdapat serambi sebagai titik temu penghuni dan pengunjung. Pada bangunan lumbung tidak terdapat serambi. Atap selalu curam dan berteritis lebar melindungi sopi-sopi pada susunan memanjang dan badan bangunan (baik susunan memanjang maupun susunan memusat). Kolong merupakan tempat komunikasi yang potensial dan sering digunakan. Pada umumnya bangunan-bangunan disusun menurut kaidah tertentu dimana bangunan dikelilingi rumah-rumah atau rumah kepala desa yang dapat dibedakan menurut tata letak maupun ukurannya. Batas desa ditandai dengan pagar yang bahan dan tinggi rendahnya sesuai dengan daerah masing-masing. Penerapan kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam sebuah penuntun khusus perancangan. (diambil dari Buku “Informasi UI”, diedarkan waktu Peresmian Kampus Depok 5 Sept 1987)

October 26, 2010

Jusuf Kalla yang “Berdarah-darah”

Filed under: Uncategorized — rani @ 11:24 am

Mantan Wakil Presiden RI H.M. Jusuf Kalla tampaknya memang ditakdirkan untuk mengalami kehidupan yang bersinggungan atau yang berkaitan dengan darah. Demikian kesimpulan yang dapat diambil dari kuliah umum yang berlangsung Senin (25/10) di hadapan Sivitas Akademika Fakultas Hukum, Kampus Depok. Saat ini Jusuf Kalla menjabat Ketua Umum Palang Merah Indonesia. Minggu lalu baru saja mengunjungi Jordan, Palestina dan Israel, kawasan Timur Tengah yang tengah mengalami gejolak dan pertumpahan darah. Sewaktu menjabat Wakil Presiden, dialah yang menjadi penengah pertikaian GAM dengan RI di Helsinki, Meredakan pertumpahan darah di Ambon dan Poso. Dan yang terakhir ramai dalam pemberitaan media yaitu melakukan investigasi terhadap peristiwa Mbah Priok.

Kehadiran Jusuf Kalla di Kampus Fakultas Hukum dalam rangka memperingati Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia yang sudah berusia 86 tahun. Salah satu rangkaian acaranya yaitu donor darah. Sedangkan ide untuk mengadakan kuliah umum datangnya dari pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FHUI). Rupanya “gayung bersambut“, Jusuf Kalla bersedia untuk mengisahkan pengalamannya selama menjadi mediator “perdamaian“ saat menjabat sebagai Wakil Presiden. Selama dua jam, pencetus pemeo “lebih cepat lebih baik“ ini memberikan kiat-kiat bagaimana menjadi seorang mediator yang handal untuk mendapatkan kepercayaan dari para pihak yang berselisih atau bersengketa. Ada sepuluh orang yang bertanya dalam kesempatan tersebut. Dan akhirnya pembicaraan tidak bisa lepas juga menyinggung topik yang hangat tentang situasi kenegaraan saat ini.

Jusuf Kalla menyatakan, Indonesia telah mengalami banyak percobaan sistem demokrasi, ternyata tidak merubah keadaan menjadi lebih baik. Sementara, China yang berideologi komunis dan jumlah penduduknya banyak, perekonomiannya lebih baik dari Indonesia. Kuncinya bukan terletak pada sistem demokrasi yang diterapkan, tetapi kepada semangat untuk maju dan menyejahterakan rakyatnya, baik di kalangan para penyelenggara pemerintahannya maupun generasi mudanya. Semangat inilah sebetulnya yang dipunyai para pemuda angkatan 1928, Bung Karno dan kawan-kawannya ketika akan memproklamirkan kemerdekaan, juga para pemuda angkatan 1966. Kekeliruan terjadi saat reformasi menggantikan Orde Baru, dimana banyak meminta bantuan konsultan asing untuk membuat beberapa produk hukum dalam mengembangkan perekonomian, yang ternyata lebih mengarah menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat saja. Produk hukum yang dibuat lebih lebih mengedepankan legalitas semata ketimbang substansi.

Ada satu pertanyaan yang agak ”rawan”, yaitu alasan untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Jusuf Kalla bersedia juga untuk menjawabnya walaupun dengan mewanti-wanti ’of the record’. Sebetulnya masih cukup ‘nyaman’ berkoalisi dengan partai demokrat dengan menjadi Wakil Presiden. Tetapi rupanya pengurus partai Golkar tidak bisa menerima ketika petinggi Partai Demokrat melecehkan partai Golkar dengan menyebutkan hanya akan mendapatkan suara 6 % saja pada pemilu 2009. Akhirnya partai Golkar Mencalonkan Jusuf Kalla sebagai calon Presiden, walaupun menyadarai kecil kemungkinannya capres yang berasal luar Pulau Jawa dapat meraih suara terbanyak. Rupanya situasi perpolitikan semakin hari makin susah di prediksi. Karena ternyata langit masih ”biru”, walaupun di pedesaan tanaman padi sudah ”menguning”.

Gagasan Pindah Kampus

Filed under: Uncategorized — rani @ 6:36 am

Gagasan untuk membangun kampus baru UI timbul karena adanya keinginan untuk mengembangkan UI secara fisik maupun mutu yang baik, dan mengingat lokasi UI yang sekarang (kampus Salemba dan Depok. Pen) dirasakan sudah terlalu sempit.

Gagasan ini timbul sebagai hasil pemikiran beberapa staf senior UI di bawah pimpinan Prof.Dr.Ir. Soemantri Brodjonegoro selaku Rektor UI yang kemudian direalisasikan pada tahun 1974 pada masa kepemimpinan Prof.Dr. Mahar Mardjono dengan mencari lokasi yang baik dan kelak dapat dikembangkan menjadi kota universitas.

Beberapa daerah yang dijadikan pilihan lokasi diantaranya adalah Ragunan, Cibubur, Gunung Putri, Ciseeng, Serpong dan daerah diantara Jakarta Selatan dengan sebagian Depok (Beji, Pondok Cina, Kukusan). Setelah diadakan perundingan dengan berbagai instansi yang berwenang menangani lokasi untuk kampus UI, maka disetujuilah daerah antara Jakarta Selatan dengan sebagian Depok dengan luas tanah 312 hektar.

Proses pembebasan tanah dimulai tahun 1075 dan pada tahun 1979 dimulai pembangunan jalan lingkar utama dalam kampus, disusul kemudian dengan pembangunan gedung Politeknik pada tahun 1982.

Sementara itu setelah melalui beberapa konsultasi dan studi perbandingan serta penyesuaian lainnya, disiapkan rencana induk pembangunan fisik kampus baru UI yang pada dasarnya dirancang oleh staf UI, perencanaan dan perancangan fisik kampus baru UI ini dilakukan Lembaga Teknologi Fakultas Teknik (Lemtek Ft) UI.

Pada tanggal 25 Oktober 1984, yaitu pada masa kepemimpinan Rektor Prof.Dr. Nugroho Notosusanto, dilakukan proses awal pembangunan gedung-gedung (pemancangan tiang pondasi Gedung Rektorat/pusat administrasi universitas).

Pada masa jabatan Rektor Prof.Dr. Sujudi, pembangunan kampus UI dilanjutkan. Saat ini telah selesai pembangunan tahap I yang meliputi pembangunan gedung-gedung 7 fakultas yaitu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Teknik, Hukum, Sastra, Psikologi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP), Kesehatan Masyarakat dan lainnya yaitu Gedung rektorat, Balairung, Perpustakaan Pusat, Mesjid, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat.

Pada saat ini sudah dimulai pembangunan tahap kedua yaitu gedung Fakultas ekonomi dan kemudian akan disusul dengan pembangunan gedung fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Keperawatan dan Pasca Sarjana.

(Diambil dari Buku “Informasi UI” yang diedarkan saat peresmian Kampus Depok 5 Sept 1987)

October 25, 2010

Duapuluh Enam tahun Lalu

Filed under: Uncategorized — rani @ 9:22 am

Hari ini (25/10) duapuluh enam tahun lalu (1984), dimulai pembangunan kampus Depok dengan melakukan pemancangan pertama tiang pondasi Gedung Rektorat (Pusat Administrasi Universitas). Secara simbolis para pimpinan Universitas Indonesia (UI) dan Fakultas melakukan penarikan tambang yang dikaitkan kepada tiang pondasi.Merea itu adalah rektor UI Prof.Dr. Nugroho Notosusanto, Wakil rektor I Prof.dr. WAFJ Tumbelaka, Wakil Rektor II Dr. S.B. Joedono, Kepala Biro Administrasi Akademik Sanjoto Subekti, SE, Kepala Proyek Pemangunan Kampus Depok Ir. Dijan Sigit, Dekan Pasca Sarjana Prof.Dr. Gunawan Adi Wardhana, Wakil Dekan I FKUI Prof.Dr. A.H. Markum, Dekan FKG Prof. Dr. Drg. S.W. Prajitno, Dekan FMIPA Prof.Dr. Somadikarta, Dekan FT Ir. Indradjit Soebardjo, Dekan FPsi Dr. Soesmalijah Suwondo, Dekan FISIP Dr. Manasse Malo, Dekan FKM Dr. Alex Papilaya. Inilah salah satu tonggak sejarah penting UI menandai keberadaannya di Kampus Depok. Setelah itu, bermunculan bangunan-bangunan baru di Kampus Depok, yang hingga kini terus melakukan pembangunan dalam upaya menuju menjadikan UI sebagai universitas yang berkelas dunia.

Beruntung sekali penulis ikut terlibat dalam proses pengabadian peristiwa bersejarah tersebut. Waktu itu sedang menyenangi memakai kamera video laboratorium Komunikasi Massa FISIP. Beratnya minta ampun, pundak sebelah kiri menyangga VTR sedangkan pundak sebelah kanan menjadi tumpuan penyangga kamera video Sony. Sendirian tak ada yang membantu. Untungnya tidak ada panitia yang usil mengusir, karena waktu itu sudah dikenal sebagai reporter SKK Warta UI. Hanya Prof. Nugroho Notosusanto yang menatap tajam penuh selidik, siapa gerangan orang ini. Memang waktu itu tidak ada yang menugaskan untuk melakukan dokumentasi video, karena panitia sendiri melakukan dokumentasi dengan memakai kamera handycam.Tetapi dokumentasi ini tidak ketahuan ada dimana. Ada juga TVRI yang meliput acara tersebut. Tetapi dokumen tersebut terbakar saat terjadi peristiwa kebakaran yang menimpa stasiun TVRI Senayan.

Dokumentasi video tersebut kini masih tersimpan dalam format Betamax. Sempat ditransfer dalam bentuk DVD, tetapi kualitas gambarnya sudah mulai buram. Beberapa pihak yang memang dahulu terlibat pada awal pembangunan kampus Depok sudah diberikan copynya. Setelah dokumentasi tersebut, ada beberapa dokumentasi lagi pembangunan beberapa gedung di kampus Depok. Tetapi yang menjadi tonggak sejarah lainnya yaitu pada saat peresmian Kampus Depok tanggal 5 September 1987. Waktu itu pun tak ada yang menyuruh, atas inisiatif sendiri pula. Memakai kamera JVC punya saudara, yang lebih ringan daripada kamera video Sony milik Laboratorium Komunikasi Massa FISIP.

Dari pengalaman tersebut di atas, beberapa hal penting yang dapat ditarik pelajaran. Ketika orang tidak berpikir untuk melakukan sesuatu, penulis selalu memposisikan diri melakukan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain. Dari pengalaman di atas juga semakin menyadari pentingnya suatu dokumentasi sebagai suatu kegiatan proses komunikasi. Dengan bekal pengalaman sebagai reporter media kampus, intuisi semakin terasah, mana saja peristiwa yang harus didokumentasikan dalam bentuk audio visual mana yang tidak. Tetapi yang lebih penting lagi, walaupun dahulu selama kuliah hanya sedikit saja mendapat pelajaran tentang hal yang berkaitan dengan audio visual, tetapi medium ini tidak saja merekam realita yang ada tetapi juga menjadi alat berkomunikasi dan alat ekspresi dalam berinteraksi dengan manusia dan lingkungan alam sekitar.