Profesor Lagi!
Seperti kita ketahui bersama, profesor atau Guru Besar/mahaguru adalah suatu jabatan atau gelar dari pemerintah yang diberikan kepada seseorang karena pengabdian, dedikasinya serta kepakarannya dalam satu bidang ilmu tertentu yang luar biasa. Kalau biasa-biasa saja namanya dosen. Maka pantaslah kalau jaman dahulu seorang profesor sangat ditakuti sekaligus juga dihormati, karena pendapat atau kalau bicara bagaikan “sabda pandita ratu”. Atau seperti p yang selama ini kita kenal (maha) guru itu adalah yang harus digugu dan ditiru. Itu menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya jabatan seorang guru. Apalagi Guru Besar. Tetapi jaman sekarang ini, seorang profesor tidak saja dikenal sebagai seorang yang ‘mumpuni’ di dalam salah satu bidang ilmu tertentu dan sangat dihormati dalam komunitas bidang keilmuan dan pendidikan, tetapi juga orang sudah mulai dikenalkan dengan profesor yang melakukan tindakan tidak terpuji dan sangat jauh dari arti keprofesorannya. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Apakah karena Profesor itu manusia juga?
Hari Rabu lalu (30/06), mengikuti rapat di Fakultas Teknik untuk mempersiapkan upacara pengukuhan tiga orang Guru Besar dari tiga fakultas yang berbeda yang akan berlangsung pada akhir Juli atau awal Agustus tahun ini. Ini baru pertama kalinya tiga fakultas sekaligus melakukan pengukuhan Guru Besarnya. Sejak Rektor Prof Usman Chatib Warsa (2002-2007), diberlakukan pengukuhan dalam satu upacara harus lebih dari satu orang. Jadi boleh dua, tiga, empat atau lima orang sekaligus. Hal ini dilakukan untuk efisiensi biaya, waktu dan tenaga. Biasanya yang terjadi, satu fakultas melakukan pengukuhan lebih dari satu orang. Atau paling tidak dua orang dari dua fakultas yang berbeda. Tetapi kalau dalam satu waktu dikukuhkan tiga Guru Besar dari Tiga Fakultas yang berbeda, baru kali ini terjadi.
Hari Kamis malam (01/07) satu stasiun televisi melakukan wawancara dengan Yusri Ihza Mahendra tentang kasus Sisminbakum (sistim administrasi badan hukum) Departemen Hukum dan HAM RI, dimana waktu itu Yusril menjabat sebagai Menterinya. Disitu diperlihatkan surat yang ditanda tangani menteri lengkap dengan gelarnya Prof.Dr. Walaupun belum ada kepastian hukumnya, tetapi Ini bakal menjadi malapetaka kedua kali bagi UI, setelah kasus KPU tempohari yang juga melibatkan ketuanya, yang juga dalam surat-surat resminya memakai gelar Prof.Dr. Apakah ada yang salah kalau memakai Prof? Bagaimana bisa terjadi seorang Guru Besar yang menjabat menteri masih juga memakai gelar Prof? Bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya perkara pemakaian Prof ini?
Saya masih ingat cerita dari almarhum Prof. Fuad Hassan. Ketika masih aktif sebagai staf pengajar dia diangkat sebagai Ketua Balitbang Departemen Luar Negeri, kemudian diangkat menjadi Duta Besar Mesir. Secara etika ilmiah, Profesor dipakai saat orang tersebut masih aktif mengajar di lingkungan kampus atau yang berkaitan dengan pendidikan. Ketika sudah tidak berada di lingkungan pendidikan atau tidak mengajar lagi karena pensiun, maka profesornya itu harus ditanggalkan (lihat pengertian profesor di atas). Maka ketika Fuad Hassan menjadi Duta Besar, dia tanggalkan profesornya dan hanya memakai Doktor saja, karena gelar akademis tertinggi ini merupakan pencapaian seseorang dalam satu bidang ilmu tertentu, tidak melihat apakah dia mendedikasikan dirinya dalam mengajar atau membimbing mahasiswa. Ketika tugas Dubesnya sudah selesai dan kembali ke lingkungan perguruan tinggi, Fuad Hassan mencantumkan kembali profesornya di depan namanya. Menjadi pertanyaan sekarang, kalau seorang Guru Besar menjabat sebagai menteri atau menduduki birokrasi dalam pemerintahan, apakah masih punya waktu secara rutin untuk mengajar di kampus layaknya Guru Besar lainnya? Jadi, harus rela profesor itu ditanggalkan dulu selama dia menjabat dalam birokrasi pemerintahan.
Adalah dahulu kala, seorang yang bergelar doktor ing, yang bukan berlatar belakang sebagai tenaga pengajar, diangkat menjadi menteri pendidikan. Beberpa waktu kemudian setelah menjadi menteri, dia pasang profesor di depan namanya. Padahal untuk mendapatkan Profesor itu, harus mengumpulkan sejumlah komponen kum yang meliputi Tri Dharma Perguruan tinggi. Selain itu juga harus dilihat berapa banyak dia melakukan publikasi ilmiah, presentasi dalam seminar ilmiah dan lain-lain yang berkaitan dengan bidang keilmuannya. Mungkin jaman dahulu memang hal demikian belum diatur sehingga dengan mudahnya Profesor didapat. Karena contoh itu, maka para menteri lain pun berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan profesor dari perguruan tinggi negeri ternama. Maka kalau cermat diperhatikan, jaman Orde Baru ada menteri-menteri yang mencantumkan profesor di depan namanya. Saat Prof.Dr. Prijono Tjiptherijanto, staf pengajar Fakultas Ekonomi UI menjabat sebagai sekretaris Wakil Presiden, dia sama sekali tidak mencantumkan profesor, apalagi gelar doktornya. Maka ketika ada heboh kasus surat edaran itu, lalu dia akhirnya (dipaksa harus) mengundurkan diri, tidak terlampau berpengaruh terhadap institusi UI.
Mungkin, lain wibawanya kalau seorang pejabat mencantumkan profesor di depan namanya. Tetapi harus diingat juga, akan berdampak besar kalau ternyata orang tersebut melakukan tindakan yang tidak terpuji. Jadi kepada para profesor muda UI, bila suatu saat dipercaya sebagai pejabat di lingkungan pemerintahan atau di luar kampus, jangan sekali-kali mencantumkan profesor, karena secara etika akademik hal itu tidak bisa dibenarkan.