Bhayangkara Dilanda Prahara, Piliso ‘Mengempo’ Tempo
Sudah berusaha untuk menahan diri tidak membuat tulisan yang berkaitan dengan kehidupan di luar kampus, tetepi senantiasa tergoda dan ternyata tidak bisa menahan godaan itu. Paling tidak membuat judul tulisan yang dapat menarik pembaca seperti judul tulisan di atas. Dengan membaca judul tulisan ini, diharapkan pembaca pada tanggal 1 Juli ini yang tepat dengan ulang tahun Kepolisian RI sudah dapat menangkap peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Tadinya malahan mau membuat judul tulisan ‘Jika saya menjadi KAPLORI’ suatu kata meniru plesetan para pemain OVJ (opera van Java) sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya di blog ini yang berjudul “Kami Bangga dengan Kepemimpinan Anda, Jenderal.” Kalau saya jadi memakai judul tersebut, saya akan memanggil para JANDAREL yang telah mencoreng nama korps dan meminta komitmennya untuk segera menyelesaikan dan memberikan solusi terhadap persoalan yang menimpa korps. Tetapi judul dan cerita tersebut terlalu tendensius dan menjurus kepada perorangan. Saya takut diciduk dan dijebloskan ke hotel prodeo. Karena itu saya batalkan.
Sahabat saya yang sudah seperti saudara yang kini tinggal di nagri jiran, pernah bercita-cita akan masuk ke Bhayangkara setelah menyelesaikan studinya di UI. Itu tercetus pada dekade 80 an. Waktu ditanya apa motivasinya, dia menjawab biar bisa cepat kaya. Istri saya mempunyai teman, suaminya mantan PATI di TNI. Dia bercerita kalau para ibu keempat angkaan sudah kumpul-kumpul, gaya dan suasananya berbeda sekali. Ibu-ibu dari Bhayangkara kelihatan lebih wah dan sangat berbeda dibandingkan dengan ibu-ibu lainnya. Hal ini tampaknya bukan sesuatu yang luar biasa, kalau kita mengacu kepada apa yang diceritakan majalah Tempo. Kalau mendengar penuturan Chandra M. Hamzah sewaktu berdialog dengan para mahasiswa UI, KPK didirikan, meniru ‘plek’ persis seperti ‘AIKEK’ di Hongkong. Yang menjadi sasaran tembak pertama institusi ini yaitu Kepolisian Hongkong. Dengan tiga cerita tersebut, maka jelaslah sudah, bagaimana menyelesaikan salah satu persoalan ‘kusut’ di republik ini.
Tahun ini bagi Jenderal polisi Bambang Hendarso Danuri merupakan tahun pertaruhan dan masa transisi yang amat penting. Dengan adanya pemberitaan di majalah Tempo, bisa dapat meringankan tugas dan berfokus untuk melaksanakan reformasi besar-besaran di tubuh POLRI. Seperti kata-kata pada salah satu sajak Chairil Anwar biarlah “Sekali berarti, setelah itu mati”, tetapi akhirnya masyarakat simpati pada polisi.