March 31, 2010

Mahasiswa Men “Schaak Maat” Faisal Basri

Filed under: Kampusiana — rani @ 10:37 am

Rabu kemarin (30/03) Universitas Indonesia (UI) bersama Universitas Pertahanan (Unhan) di kampus Depok menggelar simposium nasional bertajuk ”Apakah Kedaulatan Negara, Keutuhan Wilayah dan Keselamatan Bangsa Masih Dapat Dipertahankan?” Para Pembicara terdiri atas Prof. Dr. Juwono Sudarsono (Perspektif   internasional), Dr.J. Kristiadi (perspektif politik), Dr. Faisal Basri (perspektif ekonomi), Prof.Dr. Satya Arinanto, SH.,MH (perspektif ekonomi) dan Prof.Dr. Achmad Fedyani Saifudin perspektif sosial budaya). Satu pembicara lagi yaitu Jakob Oetama (perspektif media) tidak hadir dalam acara tersebut. Ruang Balai Sidang yang berkapasitas 400 orang dipenuhi 500 hadirin, selain para pejabat UI, Unhan dan Kementrian Pertahanan, juga para mahasiswa UI, mahasiswa Unhan, mahasiswa Sesko TNI-AL, dan mahasiswa PTIK.

Sebetulnya topik simposium  ide awalnya dari  pihak Unhan, satu perguruan tinggi bentukan Kementrian Pertahanan setahun lalu (berdiri 11 Maret 2009, khusus untuk program pasca sarjana). Tetapi rupanya Purnomo Yusgiantoro Menhan saat ini, sangat terkesan dengan penyelenggaraan seminar nasional tentang Kuliah Kerja Nyata (K2N) yang diselenggarakan UI  12 Januari lalu, kemudian dia menganjurkan pihak Unhan untuk bekerja sama dengan UI, menyelenggarakan kegiatan simposium.

Disini tidak akan disinggung mengenai isi pembicaraan dalam simposium tersebut. Tetapi ada satu hal yang sangat menarik untuk kita simak bersama, tatkala Faisal Basri memaparkan pemikirannya. Dia menyinggung mengenai kerawanan atau gangguan terhadap kedaulatan RI di wilayah pulau-pulau terdepan, yaitu wilayah yang langsung berbatasan dengan negara lain. Salah satu contohnya adalah Pulau Miangas salah satu pulau yang  termasuk Kabupaten Talaud  Provinsi Sulawesi Utara. Faisal Basri mengatakan, di pulau tersebut penduduk memakai mata uang peso yang berlaku di negara Philipina.

Dalam sesi tanya jawab, seorang mahasiswi fakultas Ilmu keperawatan UI mengoreksi pernyataan Faisal Basri dan menyatakan, di pulau Miangas penduduknya tidak menggunakan mata uang peso. Dia tahu persis masalah yang terjadi paling mutakhir di pulau Miangas, karena pada bulan Juli hingga agustus tahun lalu  melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata bersama 74 mahasiswa UI lainnya di pulau tersebut. Tampaknya ada  kekeliruan informasi yang didapat Faisal Basri mengenai pulau Miangas. Memang di beberapa situs internet disebut-sebut penduduk pulau Miangas menggunakan mata uang peso karena letak geografisnya lebih dekat ke pulau Mindanau  (hanya 4 jam dengan menggunakan perahu bermesin) ketimbang ke Pelabuhan Bitung  Manado (ditempuh dalam 20 jam dengan menggunakan Kapal Perang RI).

Kemampuan dalam  menyeleksi dan mendalmi informasi mengenai wilayah-wilayah terdepan Indonesia di kalangan warga Indonesia sendiri, sungguh sangat memprihatinkan. Seorang J. Kristiadi sendiri dalam simposium itu menyebut kata pulau Mianggas bukan Miangas. Ini saja menunjukkan dia tidak pernah melihat-lihat peta wilayah Indonesisa dengan seksama, apalagi mendatanginya. Hal ini bisa dimaklumi, jangankan J Kristiadi, aparat Pemda Sulawesi Utara Sendiri ada yang mengaku baru pertama kali berkunjung ke Pulau Miangas, tatkala di pulau tersebut ada mahasiswa UI yang ber-K2N, karena harus mendampingi Gubernur yang akan melakukan dialog dengan mahasiswa UI.

Almarhum Prof.Dr. Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi UI  suatu saat pernah bercerita mengenai pendidikan pada jaman Belanda kepada penulis. Guru Belanda akan menanyakan kepada murid-muridnya apa saja yang dilakukan sewaktu liburan. Kalau si anak menceritakan habis pergi berlibur ke suatu kota, maka akan ditanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kota tersebut secara terperinci. Misalnya habis berlibur di kota Cirebon, maka guru tersebut akan menanyakan sungai yang melintas, nama gunung yang terdekat, serta ciri-ciri topografi dan monografi daerah tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan hafal betul mengenai keadaan daerah tersebut.

Bandingkan dengan pengalaman yang penulis alami waktu simposium tersebut. Saya berdiri  di belakang mahasiswi Unhan ketika acara sedang berlangsung. Dia sibuk dengan telepon mobilnya mengirim sms kepada seorang temannya. ”minggu depan mau ke Australia dan bulan April mau ke Jerman, wah asyiik”. Barangkali memang memang sekarang jamannya beda. Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah perlu studi banding atau apalah namanya ke berbagai negara lain, tidak harus tahu mengenai wilayah-wilayah RI yang terpencil, karena toh para pengamat dan pengambil kebijakan negara juga berada di pusat kota, tidak berdiam di daerah terpencil.

March 30, 2010

Gerakan Hidup Bersih

Filed under: Lain-lain — rani @ 9:26 am

Sebetulnya setelah era reformasi bergulir di tahun 1998, banyak terjadi perubahan di kalangan para  birokrat terutama birokrat(PNS)  berusia muda, sebagai reaksi rasa muak terhadap sepak terjang  para birokrat (tua) yang tidak terpuji semasa era pemerintahan Orde Baru. Informasi ini didapat hasil dari wawancara pribadi  dengan kalangan orang-orang muda yang mulai bekerja sebagai aparat pemerintah.

Dari pengalaman semasa Orde Baru itulah kemudian anak-anak muda mulai membuat suatu gerakan hidup bersih, yang menjauhi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Gerakan tidak mau berk-KKN ini  juga menarik golongan tua. Salah satu diantaranya yaitu (alm) Prof.Dr. Kusnadi Hardjasoemantri, mantan Rektor UGM, tangan kanan Prof.Dr. Emil Salim di Kementrian Lingkungan Hidup, konseptor UU Lingkungan Hidup. Dalam beberapa kegiatan sosialisai ke kampus UI di awal reformasi, Prof. Kusnadi giat mempopulerkan  KKN ini. Untuk menghindari kerancuan dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata yang menjadi kurikulum wajib bagi mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri, Prof. Kusnadi yang juga salah satu pemrakarsa kegiatan kuliah kerja nyata tahun 1950 an, mengganti istilahnya menjadi K2N (Kuliah Kerja Nyata).

Gerakan hidup bersih ini akhirnya terpolarisasi menjadi dua bagian besar. Di satu pihak tetap menjadi aparat pemerintah, di pihak lain mendirikan atau berafiliasi dengan partai politik. Salah satu diantaranya yang banyak menampung kaum muda yang ingin memulai hidup bersih adalah Partai Keadilan Sejahtera dengan Ketua Umum pertamanya dipegang Nur Mahmudi Ismail, seorang birokrat yang dengan tulus ikhlas mengundurkan diri dari jabatannya di lingkungan pemerintahan. Ke dalam partai ini masuk Rama Pratama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI,  yang memimpin delegasi mahasiswa UI ke MPR (1998) dan memberikan pernyataan menolak  pidato pertanggung jawaban presiden Soeharto sebagai mandatari MPR.

Rupanya memang gerakan hidup bersih terus bergulir. Belakangan berdiri Komite Pemberantasan Korupsi. (KPK). Seperti yang dituturkan Ketua KPK Chandra Hamzah sewaktu berdialog dengan mahasiswa UI, ide-ide pendirian KPK ini tadinya berangkat dari pemikiran dan keinginan sekelompok anak-anak muda  bagaimana menegakkan pemerintahan yang demokratis, adil  dan bersih. Badan ini terinspirasi dengan gerakan yang dilakukan di Hongkong dalam memberantas korupsi, dimana salah satu korban pertamanya adalah kepala polisi Hongkong. Tahun ini KPK meluaskan daerah kerjanya ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Yang menarik, pernyataan yang dituturkan ketua KPK Antasari Azhar sewaktu berdialog dengan mahasiswa baru UI tahun 2009. Dari sekian banyak pelamar yang diterima kerja di KPK, 50 % diantaranya adalah adalah para lulusan UI.

Apakah ini suatu indikator, keberhasilan UI dalam hal penanaman idealisme terhadap anak didiknya? Wallahualam Bisawab.

March 29, 2010

Antara Pahlawan, Bangsat dan Pengkhianat

Filed under: Lain-lain — rani @ 4:35 pm

Akhirnya GT (30) PNS Golongan III/A Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, yang mempunyai simpanan uang di Bank sebesar 25 milyar rupiah yang (diduga) dari hasil yang tidak bersih, dipecat dengan tidak hormat oleh institusinya. Demikian informasi senin pagi ini (29/03) yang disiarkan dari salah satu stasiun televisi. Suatu keputusan yang (untuk sementara) sangat melegakan dan meredakan amarah publik terhadap kinerja aparatur negara. Peristiwa ini merupakan rentetan yang terjadi sebelumnya dengan peristiwa makelar kasus (markus) di institusi POLRI. Apa yang menarik dari kasus ini? Atau lebih dalam lagi, apa yang sebetulnya terjadi dan yang dilakukan para petinggi institusi terkait dengan adanya kasus ini?

Rupanya di Indonesia seorang PNS yang  golongannya rendah tidak boleh mempunyai simpanan/penghasilan besar sekali karena dengan mudah akan dicurigai sebagai uang ”kotor”. Karena itu dengan mudahnya dipecat tanpa harus melalui proses penyelidikan yang seksama. Sementara seorang PNS yang mempunyai jabatan dan kedudukan tinggi di suatu institusi, maka aparat pun sengaja ”membiarkannya” bahkan sengaja ditutup-tutupi dengan dalih belum ada bukti kuat. Dengan adanya kasus ini yang mencuat ke permukaan menjadi pertanyaan, bagaimana proses pengawasan dan reformasi birokrasi dalam era reformasi di instansi pemerintahan? Apakah hal ini bisa menjadi suatu indikator dari kegagalan kepemimpinan institusi tersebut? Kenapa kok bukan pemimpinnya yang mengundurkan diri?

Jadi ingat kuliah umum yang diberikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani tanggal 8 Maret lalu di hadapan sivitas akademika Fakultas Ekonomi dengan topik ”dinamika Ekonomi Indonesia”. Disitu disinggung tentang betapa di negara-negara maju sekalipun, pajak merupakan  penopang utama perekonomian suatu negara. Dia bercerita tentang sebuah film (Barat) yang menarik perhatiannya. Walaupun isi film ini berkaitan dengan budaya yang berlaku di negara-negara Barat, tetapi bisa juga berlaku di negara-negara berkembang. Dalam dialog film tersebut, seorang tokohnya bicara. Dalam hidup ini ada dua hal yang tidak bisa dihindari oleh setiap orang, kemanapun seseorang pergi atau bersembunyi. Dua hal tersebut adalah kewajiban MEMBAYAR PAJAK dan KEMATIAN. Jadi, apakah dia pahlawan, bangsat atau pengkhianat mesti membayar pajak dan akan menghadapi kematian.

March 26, 2010

Penanda Kampus Salemba

Filed under: Uncategorized — rani @ 8:51 am

Dalam suatu  kesempatan mengikuti kegiatan seminar internasional perubahan iklim di Universitas Indonesia (UI) pertengahan Maret lalu, secara tidak sengaja bertemu dengan seorang alumnus Fakultas Pertanian UI di Bogor. Dia menjadi mahasiswa saat IPB masih menjadi bagian dari UI. Bisa diperkirakan berapa tahun usianya sekarang. Di sela-sela istirahat, dia bercerita banyak tentang UI di masa lampau, yang mungkin tidak semua orang mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan UI.

 

Sebagai seorang mahasiswa pertanian dia tahu betul seluk beluk yang berkaitan dengan tanam-tanaman dan bentuk serta gambar tanaman. Dia meyakini, bentuk makara yang dijadikan lambang UI itu sebetulnya mengambil bentuk dari salah satu tanaman, yaitu pisang kipas. Lalu di juga mengaitkan dengan pengetahuan umum yang beredar di masyarakat Jakarta tentang letak kampus UI di Salemba.

 

Sekitar tahun 1950 an hingga tahun 1960 an, keadaan jalanan di sepanjang  Matraman hingga Kramat masih sepi dan belum banyak bangunan berdiri. Namun demikian, orang-orang belum mengetahui betul tentang gedung-gedung yang ada sepanjang jalan tersebut. Makanya ketika orang bertanya, dimana letaknya Kampus UI yang ada di Jalan Salemba, masyarakat akan memberikan informasi, cari saja bangunan yang di halaman depannya ada pohon pisang kipas.

 

Pada waktu peresmian kampus Depok,  ada delapan pohon pisang kipas dan terletak di depan gedung Pusat  Administrasi Universitas (gedung Rektorat). Awal tahun 2000-an  saat dilakukan perataan tanah halaman depan gedung rektorat, pisang kipas pun ikut diratakan. Sejak itu pula terjadi perubahan iklim  kehidupan di kampus Depok.

March 24, 2010

“Kami Bangga dengan Kepemimpinan Anda, Jenderal”

Filed under: Lain-lain — rani @ 9:55 am

Judul di atas diambil dari spanduk yang dipasang di bundaran jalan menuju Kelapa Dua dan Depok dari arah Pasar Minggu. Kalau tidak silap spanduk yang bergambarkan Kapolri itu dipasang saat memperingati Hari Ulang Tahun Brimob tahun lalu, dimana perayaannya dilaksanakan di Markas Besar Brimob Kelapa Dua Depok.

Densus 88 yang salah satu tugasnya “memburu” para teroris merupakan bagian dari Kesatuan Brimob. Prestasinya sangat menonjol terutama saat membekuk gembong – Dr. Azhari – teroris, yang sempat “menghantui” para pengusaha hotel berbintang dan kantor Kedutaan asing  di Jakarta, yang kerap dijadikan sasaran operasinya. Prestasi Brimob semakin menonjol dan mendapat pujian karena baru-baru ini berhasil membongkar sekaligus membekuk para teroris di sarang peltihan teroris di Aceh.

Semestinya kebanggaan terhadap pimpinan bukan hanya milik segolongan orang saja, tetapi menjadi kebanggaan semua orang yang berada di institusi tersebut. Dan juga tidak menjadi kebanggaan sesaat, setelah itu dilupakan atau bahkan dicibir. Dengan adanya gonjang ganjing kasus MARKUS, Pencucian uang dan penggelapan pajak di tubuh POLRI, masyarakat mempertanyakan kembali kebijakan reformasi yang didengung-dengungkan pimpinan POLRI.

Bicara soal reformasi POLRI, september tahun lalu UI melakukan kerjasama dengan POLRI untuk melakukan berbagai pelatihan bagi para pimpinan POLRI dalam rangka reformasi dalam organisasi POLRI. Kerjasama ini dihadiri para petinggi UI dan petinggi POLRI mulai dari yang berbintang empat hingga ke tingkatan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Usai penandatanganan kerjasama, seorang teman berbisik “POLRI perlu seorang ‘penyanyi’ untuk mengatakan di POLRI terjadi reformasi.” (Semoga saja anggaran untuk jasa yang diberikan UI bukan dari hasil pencucian uang atau penggelapan pajak).

Akhir tahun lalu hingga awal tahun ini mencuat kasus Anggodo, disusul dengan kasus Kabareskrim, kemudian sekarang ramai penggelapan pajak dan pencucian uang hingga ke MARKUS. Akhirnya terjadi ‘perang bintang’ alias perang mulut diantara para petinggi POLRI. Inilah sebetulnya saat yang tepat bagi pimpinan POLRI untuk melakukan reformasi yang sebenar-benarnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tindaklah yang salah, jangan pandang ‘bintang’ (bulu). Apalagi main pandang-pandangan sambil kedip-kedipan. Pagi ini saja (23/03), TVONE sudah bisa menghadirkan korban MARKUS dan memberikan pengakuan sudah menyetor 3,5 milyar ke oknum Bareskim.

Dengan peristiwa beruntun yang terjadi akhir-akhir ini di tubuh POLRI, entah golongan manakah gerangan yang masih bisa meneriakkan judul tulisan di atas. Tetapi yang jelas, kalau saja KAPOLRI atau pun siapa saja dalam tubuh POLRI yang bisa menyelesaikan persoalan internal sekarang ini, semua rakyat Indonesia akan berteriak “KAMI BANGGA DENGAN KEPEMIMPINAN ANDA, JENDERAL.”

March 23, 2010

Teriakan ‘Sate’ Barack Obama

Filed under: Lain-lain — rani @ 10:01 am

Hari Senin (22/03) menjelang senja, stasiun televisi RCTI menayangkan hasil wawancara Putra Nababan dengan Presiden Amerika Serikat Barack  Obama di Gedung Putih mengenai alasan penundaan kunjungan ke Indonesia. Tayangan ini kemudian disiar ulangkan kembali pada malam hari oleh stasiun televisi RCTI dan Global TV. Selasa pagi  ini (23/06)  dalam acara siaran berita Putra Nababan diwawancara oleh dua penyiar berita tentang kesannya waktu mewawancarai orang nomor satu  di Amerika.

Sebagai seorang jurnalis dalam melakukan  kegiatan jurnalistik, tentu saja harus mempersiapkan sebaik mungkin  berbagai hal yang berkaitan dengan subyek yang menjadi bahan berita, supaya dapat menghasilkan reportase yang bagus. Misalnya mempersiapkan atau membuat pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggali lebih jauh atau memberikan kesempatan berbicara lebih leluasa kepada subyek.Biasanya setiap orang mempunyai ‘naluri’ untuk melakukan hal-hal yang ‘di luar dugaan’ perkiraan orang pada umumnya. Naluri ini juga terdapat pada setiap jurnalis dalam melakukan tugas jurnalistik. Semakin ‘diasah’ atau dilatih naluri ini, akan semakin tajam dan dapat terlihat pada hasil karya jurnalistiknya. Naluri inilah sebetulnya yang akan menentukan kualitas hasil karya jurnalistik seseorang dibandingkan dengan yang lainnya.

Dilihat dari hasil wawancara berupa jawaban yang diberikan Barack Obama tentang berbagai hal yang selama ini menjadi pembicaraan hangat di masyarakat, terutama isu-isu yang menyangkut ekonomi, perdagangan, politik dan militer, jawaban yang diberikan standar saja. Begitu juga ketika ditanya tentang kebijakan hubungan Amerika dengan dunia Islam, Obama merujuk pada isi pidato yang pernah dikemukakan pada waktu berkunjung ke Negara Mesir. Tidak ada sesuatu hal yang baru.

Yang menarik, tatkala ditanyakan tentang pengalaman masa kecilnya sewaktu tinggal di Menteng Dalam (akhir tahun 1960-an hingga  awal tahun 1970-an), di dalam memorinya masih teringat teriakan orang berjualan sate, persis sama dengan teriakan tukang sate madura masa kini. Suatu hal yang luar biasa, seorang Presiden Amerika Serikat dalam suatu wawancara  resmi berteriak ‘sa’teee….”. Ini juga menunjukkan betapa Obama menyelami betul budaya Indonesia. Dan memang dalam bidang budaya inilah sebetulnya keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.