MALARI: 1974
Sebuah Episode yang digubah berdasarkan pengalaman
penulis sewaktu duduk di Klas II SMPN XXXV- Gambir.
Bubaran sekolah aku mengikuti rombongan
Yang meneriakan pekik kebebasan dalam kemarahan.
Pada hari itu aku bangga dapat mengempiskan tiga mobil perwira.
Temanku lima bahkan ada yang sepuluh.
Semua berlomba mengumpulkan pentil sebanyak mungkin.
Para perwira terpaksa harus berjalan bersama massa.
Pada hari itu kami bangga dapat mengusir Panser
Kami gembira dapat menghalau robot-robot berpakaian seragam
Pada hari itu, kami menjadi sombong,
Karena berhasil menakuti para birokrat dan aparat.
Di Pejambon,
Aku bergabung dengan serombongan Arek
Yang seakan sedang mementaskan pertunjukan reog.
Mata mereka seperti terpejam.
Hawa mulutnya menebar anggur kebencian
Garang membawa balok dan pentungan.
Sambil berteriak seperti orang kesurupan.
Kami lalu berbelok ke arah Lapangan Banteng
Menuju Proyek Senen.
Di sana, pemilik toko komat-kamit,
Entah berdoa atau ngomel tak karuan.
Para preman Batak ikut sibuk membersihkan perhiasan.
Warga Sentiong, Tanah Tinggi, Kwitang, dan Alamo Kwini
Berebut memusnahkan barang produk Jepang.
Sehari itu, mata kami menjadi ahli membedakan
Barang yang mana yang harus dibuang.
Proyek Senen terbakar,
Jakarta lengang
Semua orang berjalan
Bahkan di jalan orang dapat tiduran.
Iring-iringan rombongan seperti ada perayaan.
Ya, memang ada perayaan menyambut kemenangan
Perayaan menyambut kebencian
Perayaan menyambut kemarahan
Dan perayaan menyambut kecemburuan.
Atas nama sebagian orang yang tidak dapat mencicipi
Harta pampasan perang Jepang.
Di Bunderan Air Mancur,
Mahasiswa bersama massa mendesak aspri mundur
Karena dianggap sebagai antek Tanaka
Yang menjerumuskan masyarakat Indonesia ke jurang romusha.
Brandwier kehabisan air
Untuk memadamkan jiwa-jiwa yang terbakar.
Yang melemparkan kekesalannya melalui batu-batu,
Melalui linggis, dan melalui api.
Baru pada hari itu, aku merasakan menjadi pemilik kota ini
Dan merasakan menjadi pemilik negeri ini.
Setelah berjalan berputar-putar, kami berpencaran.
Di pingir jalan orang bertanya,
Tentang asap yang menghitam di belakang kami.
Menjelang Malam,
Di depan jalan ke rumahku para tetangga bergerombol
Seakan berhasil menjerat mangsa buruan
Mereka mengurungku dan menanyakan peristiwa hari itu.
Ternyata, aku adalah orang pertama yang ditunggunya.
Nah…, aku menjadi pewarta.
Mereka mengikutiku sampai ke serambi rumahku.
Dengan tenang kuurut semua menit kejadian.
Pada hari itu Aku menjadi berita
Aku menjadi pencerita
Aku menjadi koran dan radio
Aku adalah si pewarta.
Yang bangga dapat mengalahkan Oom Usman dan `Ceu Ety
Yang biasa menjajikan berita kepada para tetangga.
Sampai tengah malam,
Para tetangga masih seperti lalat mengerubungi bangkaiku.
Walaupun berjalan berkilo meter, aku tidak merasa lelah.
Yang tersisa hanya perasaan bahagia
Atas kebebasan, kemenangan, dan keberanian.
Selesai,
Semua telah kuwartakan.
Tapi ada sesuatu yang kulewatkan
Yang tak kuceritakan pada mereka
Dan tak akan pernah kuceritakan,
Bahwa di dalam kantong celanaku
Tersimpan puluhan jam tangan
Dan beberapa emas batangan
Hasil jarahan….
(Dikutip dari buku “dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999” karya Zeffry Alkatiri)