Judul di atas adalah buku yang ditulis oleh Prof. Erman Radjagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum UI, untuk mengenang Prof. Padmo Wahyono. Dalam tulisan ini sengaja disajikan teks lengkap pidato Prof. Erman dalam suatu acara di Fakultas Hukum UI. Banyak hal bisa dilihat dari isi pidatonya itu yang sangat berguna bagi para pembaca kalangan muda, generasi muda. Paling tidak kita bisa melihat dinamika mahasiswa jaman dahulu dan “serpihan” perjalanan seorang Guru Besar.
Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, dua topik disamping berbagai topik lainnya, menjadi pembahasan dalam Mata Kuliah Ilmu Negara yang diasuh oleh Prof. Padmo Wahyono (Alm). Karangan ini untuk mengenang beliau, kepada siapa saya amat berhutang budi. Saya masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1964, bersama antara lain Mbak Ciciek dan saudara Suryadi yang duduk dibelakang itu. Ketua Mapram adalah saudara Haryono Kartohadiprodjo yang hadir juga di ruangan ini. Pada waktu apel pagi Mas Haryono bertanya: “Prama-prami baik?” “Baiik”, kata kami semua. “Prama-prami sehat?” “Sehaat” jawab kami lagi. Padahal malam tadi kami disiram dengan livertram yang baunya bukan main. Setahun kemudian pecah G30S/PKI dan saya ikut demontrasi mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1965 sampai dengan 1967. Saya aktif dalam kepengurusan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UI dan sempat pula menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UI, dimana saudara Mochtar Arifin menjadi pula pengurus senat dan anggota BPM. Beliau ini dulu rambutnya gondrong juga seperti saya, idealis dan vokalis, ini salah itu salah. Kadang-kadang saya sebagai ketua BPM kesal pula padanya. Tapi hari ini beliau menjadi Wakil Jaksa Agung R.I., kita semua bangga dibuatnya.
Karena sebagai mahasiswa ingin sedikit punya uang, saya kemudian menjadi wartawan Harian Kami sampai surat kabar itu dilarang terbit bertepatan dengan peristiwa Malari.
Pak Padmo mengatakan kepada saya : “Selesaikan skripsi mu segera, daripada kamu ditangkap, sudah bawa sikat gigi belum?”. Karena menganggur skripsi dapat saya selesaikan dalam tiga bulan pada tahun 1974.
Saya sadar benar, ketika tidak ada dosen yang mau menerima saya menjadi asisten mereka. Apa yang bisa diharapkan dari SH yang baru tamat setelah 10 tahun, antara kuliah dan tidak kuliah. Namun Pak Padmo bersikap lain, ia menyerahkan Surat Pengangkatan kepada saya menjadi asisten Ilmu Negara. Walaupun Ilmu Negara bukan minat saya tetapi beliau berkata : “Suatu hari nanti ada gunanya bagimu”. Pengangkatan itu ternyata kemudian mengantarkan saya menuruni lembah-lembah ilmu, mengarungi laut pengetahuan sampai ke ujung-ujung dunia.
Untuk mengenang Prof. Padmo Wahyono, berikut ini ringkasan buku yang sedang saya tulis “Demokrasi dan Negara Kesejahteraan”.
Menjelang akhir tahun yang lalu Wakil Presiden mengatakan, bahwa demokrasi hanya alat, kesejahteraan yang menjadi tujuan. Banyak orang terkesima. Syukurlah kemudian ada penjelasan, walaupun tetap menggelitik, “Demokrasi tak boleh jadi agama”; katanya, dimana yang dimaksudkan adalah cara berdemokrasi. Jika pilkada jadi sangat mahal, membuat rakyat berkelahi, dan melelahkan, maka tata cara perlu diubah.
Hubungan antara demokrasi dan pembangunan sudah menjadi bahan studi sejak dua abad yang lalu. Kata “demokrasi” telah mendapat berbagai pengertian. Demokrasi tidak identik dengan pemilihan umum secara berkala, karena pemilu bisa diatur. Negara hukum juga ciri demokrasi yang dangkal. Hukum dapat dipakai sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atas nama ketertiban.
Ada persetujuan yang luas bahwa demokrasi adalah “sharing of power among different groups of a national society, including a common right to express views and to compete for the opportunity to make or influence decision,” kata Tato Vanhannen. Unsur yang penting adalah berjalannya umpan balik dan mekanisme penyesuaian yang mendesak Pemerintah merespon dan mengikuti pandangan yang lain. Kalau Pemerintah merobah kebijaksanaannya, karena tuntutan rakyat; bukan artinya Pemerintah lemah, atau tidak ada pendirian; tetapi Pemerintah menegakkan demokrasi.
Adam Smith dalam “The Wealth of Nations” kuliahnya dua abad yang lalu, mengatakan : “decentralization of political power and liberalization of the market contribute to produce confidence, initiative, investment, and growth”.
Kenyataannya rezim yang represif tetapi memberikan kepastian (predictable) mungkin lebih menarik bagi investor daripada demokrasi yang hiruk pikuk dengan seringkalinya berganti pimpinan dan kebijakan. Kata orang “development oriented dictatorship” diperlukan untuk membangun infrastruktur, memobilitas dana, menarik orang menabung yang dibutuhkan bagi industrialisasi. Rezim otoriter pada masa lalu di Amerika Latin dan Asia, melaksanakan pembangunan lebih baik daripada pemerintah yang baru menjalankan demokrasi. Walaupun demikian satu persatu pemerintah repressif tersebut runtuh karena tak ada dukungan rakyat.
Sekarang China menetapkan mogok adalah kriminal, serikat buruh dan partai cuma satu, tetapi modal asing mengalir deras menjadikan China kekuatan ekonomi baru dunia. Oleh karena itu tak heran bila ada yang memimpikan kembalinya “zaman Pak Harto”. Hanya mereka lupa bagaimana bisa lebih dari seratus triliun BLBI hanya untuk sekelompok pengusaha dibandingkan 3 triliun kredit macet untuk jutaan UKM. Ada orang yang tak diketemukan sampai sekarang, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya. Indonesia jangan balik kebelakang, jalan teruslah demokrasi pada tahun-tahun mendatang ini.
Buku “Demokrasi dan Negara Kesejahteraan” saya tulis dengan tidak kurang dari 80 catatan kaki, sebagian besar dari sumber bahasa Inggris, bahasa yang saya takuti sejak SMP. Namun saya sampai ke Amerika juga akhirnya dan tinggal disana lama-lama. Kepergian saya itu karena pengangkatan saya tadi sebagai “asisten” Ilmu Negara, artinya dosen UI. Tanpa status dosen UI, tidak mungkin saya mendapatkan beasiswa untuk belajar ke luar negeri.
Tanpa pengangkatan dari Pak Padmo tak mungkin saya sampai ke Amerika, mungkin saya tidak pernah menjadi doktor dan kemudian mejadi gurubesar pada tahun 1997; tidak mungkin pula dapat membimbing 33 doktor, beberapa diantara mereka menjadi gurubesar pula. Ada yang sudah berpulang, ada pula yang akan mengucapkan pidato pengukuhan minggu depan, yaitu Prof. Agus Sardjono yang tadi saya lihat duduk disitu. Sebelas calon doktor lagi sedang menunggu bimbingan saya. Disinilah makna pengangkatan saya menjadi asisten Ilmu Negara oleh Prof. Padmo Wahyono, pengangkatan yang buah berbuah hingga kini. Bapak Padmo yang namanya pada hari ini kita kukuhkan untuk ruangan ini. Semoga dari ruangan ini, seperti kata Bapak Mochtar Arifin tadi, lahir Sarjana-sarjana Hukum baru yang jiwanya seperti Pak Padmo, jiwa pendidik yang senantiasa ingin memajukan orang lain. Semoga amalnya diterima Allah SWT dan Tuhan Yang Maha Kuasa itu memberkati keluarganya, Mbak Didiet beserta anak-anak dan cucu-cucunya. Sekian dan terima kasih.