WASANTARA dan TANNAS Dalam era Globalisasi
Artikel di bawah ini tulisan Juwono Sudarsono ,Wakil Gubernur Ketahanan Nasional, yang disampaikan pada hari Ulang Tahun ke-35 FKG UI (21 Desember 1996). Ditulis ulang dan disajikan pada kesempatan ini, menjelang keberangkatan para mahasiswa UI yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (K2N) dari tanggal 15 Juli hingga 20 Agustus 2009 di Pulau Miangas, Sangir Talaud, Sulawesi Utara, Pulau Terluar Indonesia yang berbatasan dengan wilayah negara Philipina. Kegiatan K2N ini mendapat dorongan dari Juwono Sudarsono kini Menteri Pertahanan RI, dan Jenderal Djoko Santoso Panglima TNI RI.
Ideologi adalah perangkat Gagasan dan nilai intrisik budaya yang secara keseluruhan menjadi pegangan hidup yang dianut manusia dalam memahami alam sekitar, mengupayakan perubahan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik di lingkungan sekitarnya.
Setiap kelompok manusia memiliki ideologi sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua masyarakat memiliki ideologi yang bersifat nasional menyeluruh, tersusun secara rinci dan ditetapkan sebagai acuan resmi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kehidupan bermasyarakat terdiri atas sejumlah besar “lingkar masyarakat” yang berada di seluruh pelosok Tanah Air. Kesadaran itu berlandaskan kehidupan warga yang melekat pada lingkungan terdekat: suku, agama, adat, daerah. Kesadaran ‘berwarga masyarakat’ mencakup kehidupan bersuku, beragama, berbahasa, berdaerah dan beradat yang berbeda-beda. Pegangan hidup warga-masyarakat diwariskan oleh lingkungan sekelilingnya yang paling akrab: keluarga, puak, adat, bahasa ibu, agama. Ketaatan pada kehidupan berwarga masyarakat umumnya terbentuk atas dasar keterikatan batin yang diciptakan oleh lingkungan budaya yang terdekat. Sedangkan kesadaran bermasyarakat Indonesia mencakup pandangan hidup yang lebih luas daripada sekedar kesadaran berwarga lingkarannya yang terdekat, sekalipun setiap orang menilai penting lingkungan suku, adat, bahasa, ras dan agama darimana ia berasal. Kehidupan bermasyarakat adalah lingkar pertama dari perluasan jatidiri orang seorang dalam menuju kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehidupan berbangsa merupakan peringkat kesadaran yang lebih lanjut dari kesadaran bermasyarakat. Setiap orang Indonesia dari suku, agama, ras, lingkungan adat atau lingkungan bahasa manapun adalah juga warga-bangsa dari suatu lingkar acuan yang lebih luas. Dalam tataran ini, warga masyarakat menjadi warga bangsa yang mencakup tetapi sekalian melintas kesukuan, keagamaan, keturunan ras ataupun lingkungan adat. Meskipun orang berasal dari lingkungan adat, suku, kedaerahan dan kebahasaan yang berbeda-beda, perasaan senasib dan sepenanggungan dengan sesama bangsanya makin tumbuh dalam kesadarannya.
Kebangsaan menghargai martabat dan nilai suku, agama, adat, bahasa yang berbeda-beda sambil mengutamakan kesetiaan akan acuan yang lebih luas. Pegangan hidup berbangsa menghargai nilai-nilai kedaerahan, keagamaan, kebahasaan atau kesukuannya, akan tetapi terpanggil untuk mencakup dan melinatas lebih daripada lingkungan awalnya itu. Paham kebangsaan membuka cakrawala baru dan menggugah faedah menjunjung tinggi kepentngan bangsa, di atas kepentingan adat, suku, lingkungan bahasa atau agamanya sendiri. Paham kebangsaan dikenal sebagai nasionalisme dan menjadi lingkar kedua dalam jatidiri orang.
Kehidupan bernegara adalah paham bahwa warga masyarakat dan warga bangsa tunduk pada kewenangan atas dasar keabsahan tertinggi yang dijalankan atas daya laksana kekuasaan negara. Pada tataran ini, kepentingan umum atau kepentingan nasional dilaksanakan atas dasar kewenangan negara yang menjalankan kebijakan yang didukung oleh kekuasaan yang absah. Sifatnya yang didukung keabsahan daya paksa inilah yang membedakan bobot kebijakan negara dibandingkan dengan kehendak kelompok atau golongan yang berlaku pada tataran kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kebangsaan.
Kesadaran berwarganegara mengaku kewenangan negara menjalankan kepentingan umum pada tingkat yang paling tinggi. Dasar kehidupan bernegara yang tersusun dikenal sebagai ideologi negara. Kehidupan bernegara adalah acuan yang abstrak, tetapi ia adalah satu-satunya kaidah yang secara sah didukung oleh daya paksa alat negara. Karena didukung oleh keabsahan daya paksa, maka kesadaran bernegara memiliki sifat mengikat yang berdaulat, melintas kehidupan bernegara dan kehidupan bermasyarakat.
Di negara-negara sedang membangun, terutama dimana rasa persatuan dan kesatuan masih lemah atau rentan pada pertikaian, profesi di bidang pertahanan keamanan seringkali menjadi pelopor dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan terutama bernegara. Prajurit menjadi pelopor dari kehidupan berbangsa dan bernegara karena profesi keprajuritan menuntut darinya kesetiaan pada kaidah alat negara yang melintas kepentingan kesukuan, keagamaan, ras, kedaerahan dan kebahasaan. Makna “nasional” pada lambang TNI yang dikenakan pada baju seragam prajurit menandakan bahwa ia setia kepada keabsahan tertinggi, dalam hal ini pada Negara dan Pemerintah Republik Indonesia, darimanapun ia berasal. Demikian pula makna “RI” pada lencana “POLRI”. Diharapkan profesi-profesi lain (dokter, insinyur, akuntan, ahli hukum, manajer perbankan, ahli asuransi, ahli informatika, ahli bioteknologi) semakin mengembangkan kesetiaan pada kaidah-kaidah profesionalisme yang berlandaskan paham kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam masyarakat dan bangsa yang majemuk, peran paham kebangsaan sebagai dasar kehidupan bernegara amat penting untuk memelihara persatuan dan kesatuan atas dasar kebersamaan dan toleransi. Ideologi negara menjalin kepentingan semua warga masyarakat dan semua warga bangsa yang taat pada keputusan politik tertinggi, menjamin kelangsungan hidup serta jatidiri masing-masing kelompok, puak, lingkungan adat, agama dan daerah. Di negara-negara sedang membangun, pemantapan ideologi negara amat penting bagi terselenggaranya perdamaian budaya. Perdamaian budaya ini menggambarkan mosaik masyarakat dan budaya Indonesia, sebagai wujud dari kebhinekaan dalam persatuan dan kesatuan nasional. Setiap orang dari suku, ras, agama, propinsi dan lingkungan adat manapun terjamin untuk mempertahankan jati-diri asalnya dan yang sekalian menyumbang pada kokohnya kebangsaan Indonesia. Inilah makna Bhinneka Tunggal Ika.
Kebangsaan yang memberi makna pada konsep warga negara, menjamin orang Indonesia dari latar belakang suku, ras, agama, adat dan bahasa manapun akan rasa aman dan nyaman bahwa nilai-nilai inti yang dianutnya tidak akan pudar atau lenyap. Ideologi negara menjamin bahwa tidak satu pun kaidah kesukuan, kedaerahan, ras, adat atau keagamaan tertentu akan menjadi satu-satunya kaidah yang paling diunggulkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahaya mengunggulkan salah satu suku, ras, puak, bahasa atau agama menjadi satu-satunya dasar negara telah kita lihat dalam pertikaian yan bergolak di bekas Uni Soviet, bekas Yugoslavia, di beberapa negara Afrika serta India.
Di banyak negara maju maupun sedang membangun, derajat kepedulian terhadap ideologi berbeda-beda menurut perkembangan sejarah, lingkungan geopolitik dan tahap perkembangan ekonominya. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, ada naluri dasar untuk menolak ideologi sebagai dasar kehidupan yang resmi diberlakukan terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Naluri untuk menolak ideologi fasisme bersumber dari warisan sejarah perlawanan terhadap kekuasaan mutlak raja-raja Eropa lama (abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-20) dan dari pengalaman pahit menentang Jerman dibawah Nazisme (1936-1945) serta melawan komunisme di Uni soviet (1920an sampai akhir perang dingin 1991).
Bangsa Amerika Utara dan Eropa Barat umumnya mengakui memiliki “pandangan hidup” atas dasar tradisi kewargaan, pentingnya individu dan perlunya ketertiban umum. Tetapi mereka menolak penetapan secara resmi suatu ideologi negara, apalagi yang diwajibkan oleh pemerintahan negara, karena hal itu dianggapnya memasung dan membatasi kebebasan manusia dan masyarakat.
Sebagai masyarakat, bangsa dan negara yang sedang membangun Indonesia memerlukan ideologi untuk mengikat rasa persatuan dan kesatuan atas dasar paham kebangsaan dan kenegaraan. Berbagai tokoh yang latar belakang suku, ras, adat, daerah dan agama yang berbeda telah sepakat sejak Sumpah Pemuda bahwa bangsa Indonesia bersatu dalam kebangsaan Indonesia. Dasar negara ditetapkan sejak diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945 dan dikukuhkan melalui kebijakan nasional tentang P-4 sejak tahun 1978.
Setiap angkatan, tua dan muda, secara terus menerus harus berpegang pada paham kebangsaan dan kenegaraan yang diyakini sebagai pengikat persatuan dan kesatuan serta mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, ilmu dan teknologi serta lingkungna hidup.
Perubahan-perubahan cepat di bidang ilmu dan teknologi, ekonomi, perdagangan dan transportasi harus ditanggap dengan bijaksana pada setiap tahap. Dampak perubahan-perubahan cepat di masing-masing bidang itu seringkali menimbulkan pergeseran-pergeseran kepentingan sehingga terjadilah secara serempak hentakan-hentakan pada lima tataran: lokalisme, provinsialisme, nasionalisme, regionalisme dan globalisme. Tak satupun daerah di wilayah Indonesia yang bebas dari hentakan perubahan-perubahan yang terjadi pada kelima tataran tadi secara serempak. Kejadian-kejadian di berbagai daerah dan propinsi yang sarat dengan kegiatan pembangunan, terutama yang erat kaitannya dengan pengaruh perdagangan, inventasi, transportasi dan media internasional akan terus menerus mempengaruhi sikap dan pandangan hidup berbagai lapisan masyarakat yang tengah mengalami guncangan-guncangan budaya. Di Irian Jaya, Timor Timur, Aceh Kalimantan Timur dan daerah-daerah padat manusia yang rawan gejolak di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi semakin terasa hentakan-hentakan lima gatra tadi, terutama di kota-kota bear atau kawasan yang memiliki sumber daya alam yang memasar.
Kelanggengan paham kebangsaan amat tergantung pada para pengembangnya, khususnya pucuk pimpinan dan lapisan menengah di setiap lingkungan dan pada tiap jenjang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tantangan bagi kepemimpinan nasional masa kini dan di masa mendatang adalah bagaimana perubahan-perubahan global dan regional dapat dipahami oleh masyarakat pada tataran propinsi dan lokal. Sebaliknya, peristiwa pada tataran lokal seringkali berdampak pada tataran regional dan global, sebagaimana kita saksikan di Irian Jaya dan Timor Timur baru-baru ini.
Sebagai paham yang berada di tengah-tengah antara globalisme dan lokalisme, wawasan kebangsaan menjadi pandangan hidup yang di Indonesia dikenal sebagai Wawasan Nusantara atau Wasantara. Setiap orang Indonesia menempatkan dirinya sebagai warga dari lingkar budaya yang khusus (suku, agama, ras, golongan, adat) sekaligus menjadi bagian dari warga dunia di mancanegara, bersatu dalam lintasan sejarah dunia dengan umat manusia di Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa dan Amerika.
Di negara kitam, sesuai dengan sejarah perjuangan bangsa, kondisi geo-politik serta bangun negara yang terdiri atas kepulauan, Wasantara menjadi pengikat persatuan dan kesatuan. Wasantara menjadi penghubung antara paham kedaulatan negara dengan kemanusiaan, antara hak pembela kepentingan nasional dengan kewajiban untuk memajukan kesejahteraan seluruh umat manusia. Wasantara memadukan paham kesatuan kepulauan Indonesia, sumber daya alam serta sumber daya manusia dalam pengertian Tanah dan Air. Paham ini ditunjang oleh doktrin Ketahanan Nasional (Tannas), yakni segi-segi dinamis dan kualitatif dari kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan yang secara keseluruhan memperkuat daya juang bangsa di segala bidang. Termasuk dalam hal ini adalah demokratisasi politik dan ekonomi serta upaya mengatasi kesenjangan struktural, spatial dan sektoral di seluruh pelosok Tanah Air.
Pada dasarnya memupuk rasa berbangsa dan rasa bernegara adalah suatu ikhtiar yang tak henti-hentinya dilakukan oleh setiap generasi. Setiap generasi wajib menerapkan azas konsistensi, kontekstualisasi dan relevansi agar dari waktu ke waktu dari tahap ke tahap, semakin mekar ruas-ruas kebebasan, pemerataan dan keadilan sosial di seluruh penjuru tanah air. Memelihara Wasantara dan Tannas yang demikian memerlukan kinerja kepemimpinan yang tepat, yang paham akan perlunya memelihara martabat serta lingkar-lingkar budaya lokal di seluruh negeri, baik di Irian Jaya, Timor Timur, Aceh bahkan di seluruh pelosok Indonesia.
Pelajaran dari kegagalan ideologi Uni Soviet adalah para pemimpin mengingkari janji dan mandat yang seharusnya dijalankan, yakni mengemban tugas membangun keadilan sosial akan kehilangan keabsahannya dari dalam. Para pemimpin partai komunis hidup lebih mewah dan lebih kapitalis dari rata-rata kaum pekerja di negara kapitalis. Selama perang dingin, bahaya ancaman luar yang dibangkitkan dalam persaingan Timur-Barat memungkinkan para pemimpin partai Komunis Uni Soviet mempertahankan kekuasaan dan memanipulasi ideologi untuk kepentingannya yang serakah. Komunisme digagalkan oleh pengembannya.
Pelajaran dari retaknya Yugoslavia pada 1990-1994 adalah apabila salah satu suku bangsa berambisi untuk menempatkan dirinya sebagai yang paling unggul, maka federasi yang semula menjalin persatuan dan kesatuan Yugoslavia pecah menjadi bangsa-bangsa yang terdidi atas paham kemurnian dan keunggulan sukunya masing-masing. Orang Serbia melakukan pembersihan etnik dan menetapkan paham “sini” mlawan “sana” secara mutlak. Demikian pula orang Kroatia dan Bosnia. Terjadilah malapetaka berdarah berkepanjangan dan mengerikan. Hal serupa terjadi dalam perang antar sukuy di Rwanda dan Burundi, antara suku Hutu dan Suku Tutsi. Kemurnian sukunya ”mengharuskan” kehancuran suku lain.
Perkembangan masyarakat, bangsa dan negara dalam zaman transformasi sosial, ekonomi dan politik sekarang ini berhadapan dengan tantangan-tantangan perubahan cepat di bidang telekomunikasi, teknologi informasi dan transfortasi internasional. Perubahan cepat di bidang ilmu dan teknologi selang 50 tahun terakhir ini menghasilkan perubahan-perubahan yang lebih luas dan lebih dahsyat daripada 150 tahun sebelumnya. Globalisasi produksi, investasi, pembiayaan dan pemasaran menembus batas-batas negara sehingga setiap jenjang pimpinan maupun swasta diseluruh Indonesia harus arif dalam menjawab tantangan-tantangan yang berkembang serba cepat dan serba mendadak
(bersambung)