MPR Digugat Dari Dulu Hingga Sekarang
Entah karena kebetulan bulan April ini diperingat Hari Kartini, seorang pahlawan nasional yang memperjuangkan nasib kaum peempuan Indonesia; ataukah karena sebelumnya dikukuhkan 3 Srikandi Hukum Indonesia dari FHUI, pada acara sosialisasi keputusan MPR RI yang berlangsung Selasa lalu (28/04), dengan gagah berani seorang mahasiswi FHUI mempertanyakan mengenai eksistensi lembaga MPR. “Kalau hanya sekedar mengubah UUD dan melantik presiden saja, lebih baik MPR dibubarkan saja, karena hanya menghambur-hamburkan uang rakyat saja.”. Kalau saja pertanyaan itu terjadi pada jaman Orde Baru, sudah pasti mahasiswi itu kena ciduk.
Komentar dari mahasiswi itu mengingatkan saya kepada keberanian para senior mahasiswa UI jaman dulu, yang kebetulan menyimpan arsip pernyataan dari Ikatan Keluarga Mahasiswa UI, seperti di bawah ini.
Seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya pada lembaga tertinggi Kedaulatan rakyat (MPR) kali ini kembali bersidang untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai dengan UUD ’45 dan Pancasila di Republik ini.
Tentunya dalam sidang yang mulia ini mereka akan secara jujur dan berani harus menyuarakan hasrat, harapan dan keinginan rakyat Indonesia, khususnya rakyat terbawah.
Pada kenyataannya hal-hal yang terjadi sebagai berikut:
- SU MPR hanya merupakan sandiwara umum, dengan Ketua MPR sebagai Ketua Bengkel Theatre.
- Sanggupkah wakil-wakil rakyat di MPR menyuarakan hasrat, harapan dan keingingan rakyat, khususnya rakyat terbawah, jika terungkapkan suatu kata-kata salah satu fraksi di MPR terdiri dari orang-orang sinting.
- Rakyat menjadi tawanan sistim politik yang berlaku sekarang sebagai konsekuensi logis dari Undang-Undang Pemilu yang hanya melanggengkan kekuasaan.
- Bisakah aspirasi rakyat tertampung jika komposiisi di MPR terdiri 40% Pandawa VS 60 Kurawa yang menjadi konsensus nasional.
- Di dalam demokrasi Pancasila yang telah berkembang, voting dipergunakan untuk melaksanakan kehendak.
- Kalau Cuma satu pilihan (calong tunggal), apakah masih bisa disebut memilih?
- Bagaimana MPR (legislatif) bisa menghasilkan keputusan/ketetapan yang obyektif jika eksekutif dominan, seperti kata pepatah “ada udang di balik batu, ada penguasa di balik MPR.”
- Harus kita pertanyakan kembali sampai dimana keobyektifan komisi “D” dalam menilai pertanggungjawaban Presiden, apakah hanya merupakan “BASA BASI NASIONAL”.
- Pada hakekatnya gerakan moral mahasiswa tidak akan memaksakan kehendak, namun berlangsungnya SU MPR ternyata harus disertai penyanderaan tokoh-tokoh mahasiswa, pemuda dan masyarakat serta pameran kekuatan oleh pihak penguasa.
- Akhirnya kita semua bertanya-tanya, permainan apa lagi yang akan terjadi di MPR???
Demikian hasil penilaian sementara Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SU MPR yang sedang berlangsung.
Kepada semua pihak mohon maaf, karena hanya ini yang dapat kami sampaikan.
Jakarta, 18 Maret 1978
Keluarga Mahasiswa
UNIVERSITAS INDONESIA