Memolitisir Dunia Akademik?
Senin kemarin (02/03), Institut Teknologi Bandung (ITB), menganugerahkan penghargaan Ganesa Prajamanggala Bakti Kencana kepada M.Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, Ketua Umum Partai Golkar dan Calon Presiden (capres) pada Pemilu 2009. Sebelumnya telah santer diberitakan justru Presiden SBY yang akan mendapat doktor Kehormatan, tetapi dengan halus SBY menolaknya, dan berkilah nanti saja setelah selesai Pemilu. Akhirnya memang SBY tidak datang, karena pada hari pemberian gelar kehormatan tersebut tengah mengadakan kunjungan kenegaraan ke Thailand.
Penghargaan yang diberikan kepada Jusuf Kalla ini diberikan dengan pertimbangan jasa dan pengabdiannya sebagai Wapres RI yang telah bermakna kepada Keluarga ITB (KITB). Dalam hal ini bukan bermaksud untuk mencampuri mengenai pemberian penghargaan tersebut, karena itu merupakan hak prerogatif setiap perguruan tinggi untuk memberikan kepada siapa saja yang sekiranya patut, tentunya berdasarkan pertimbangan yang matang. Sejatinya pemberian doktor kehormatan atau pun penghargaan lainnya ini memang lebih banyak bersifat politis daripada pertimbangan akademis. Karena itu, maka terkadang tidak selalu harus sesuai antara kepakaran seseorang dengan gelar yang didapatnya dalam bidang ilmu apa.
Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan latar belakang pemberian penghargaan tersebut secara akademis dan situasional. Jangan sampai menyebabkan pro dan kontra yang cukup tajam di kalanan masyarakat serta mencederai kebebasan akademis di kampus. TaufikAbdullah, yang akhir Januari lalu mendapat gelar doktor kehormatan dari UI, ketika mendengar kabar SBY akan mendapat doktor kehormatan dari ITB menjelang pemilu, menilai pimpinan ITB sudah melakukan blunder yang berbahaya. Pemberian penghargaan kepadaM Jusuf Kalla juga tampaknya kental dengan muatan politik dan ada kesan seperti dipaksakan. Sebagai institusi akademis, setahu saya pemberian penghargaan gelar doktorlah yang biasa lazim dilakukan.
Bila dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya, dimana ada mahasiswa ITB yang meninggal karena perpeloncoan dan Rektornya menyatakan tidak tahu menahu tentang peristiwa tersebut, Prof.Dr. Arif Rahman menilainya sebagai sesuatu hal yang tidak masuk akal. Jelas sekali disini terlihat pimpinan ITB tidak peka terhadap situasi dan opini masyarakat. Belum lagi ada beberapa alumni ITB yang menyuarakan ketidak setujuannya mengenai pemberian gelar doktor ini. (bandingkan dengan kasus ketika Jaksa Agung mengangkat Jaksa agung Muda bawahannya menjadi tim pemeriksa korupsi, tetapi atas desakan dari masyarakat, akhirnya pengangkatannya dibatalkan karena yang bersangkutan diduga tersangkut masalah dalam kasus korupsi Artalita Suryani)
Justru yang lebih mengagetkan lagi, adalah munculnya Jusuf Kalla yang menerima penghargaan ini. Padahal kita tahu, Jusuf Kalla diombang-ambingkan dengan permasalahan pencalonannya sebagai capres 2009-2014. Orang bilang, dia tidak PD (percaya diri), barulah ketika para wakil golkar dari berbagai daerah menyuarakan aspirasinya dan yang terakhir ketika dia didaulat oleh para kader Golkar di Makassar, kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Tetapi tentu saja dia memerlukan legitimasi dari komunitas lain, selain Golkar. Maka yang paling strategis adalah komunitas akademisi. Hal ini bisa dilakukan , karena ada Hatta Rajasa Mensegneg yang juga Ketua Keluarga ITB, ada Kusmayanto Kadiman, Menristek dan mantan Rektor ITB dan tentu saja ada Aburizal Bakri, Menko Kesra, salah satu tokoh Golkar, konglomerat kondang yang juga alumni ITB. Maka kloplah sudah, jalan merangkul komunitas akademis menjadi mudah.
Ini juga menjadi pelajaran yang baik bagi perguruan tinggi lainnya. Banyak hal bisa ditarik dari kasus ini, tergantung dari sudut mana memandang. Ada yang mengatakan UI kalah beberapa langkah dibandingkan dengan ITB dalam memberikan doktor kehormatan kepada petinggi negara. Tetapi rupanya orang-orang UI sudah meninggalkan pola seperti yang dilakukan ITB di atas, dan lebih bersifat “outworld looking” serta ingin menjadi motor pembaharuan, penggerak gerbong pembaharuan.
Saya teringat akan sebuah iklan di televisi, yang mempromosikan salah satu nama rokok (waduh, jadi balik ke rokok lagi nih!). Dalam iklan itu terlihat seorang yang mempunyai uang melihat patung orang utan. Di sebelahnya ada orang yang sedang meniru tabiat orang utan. Kemudian orang tersebut mengatakan “beli” dan anak buahnya yang selalu mengiringi dari belakang, langsung membeli dengan menyodorkan sekoper uang kepada orang yang meniru tabiat orang utan tersebut. Tapi ternyata ditolaknya. Saya ingin membuat iklan seperti berikut. Ada seorang pembesar diiringi para anak buahnya. Pembesar ini melihat sebuah patung gajah duduk yang dijaga oleh beberapa penjaga. Pembesar ini sangat berminat untuk membeli patung gajah ini. Transaksi terjadi, para penjaga patung gajah duduk itu masing-masing mendapat sekoper uang dan dengan sukarela mendorong patung gajah duduk itu kemanapun pembesar itu pergi.