SDSB Masuk Kampus
Sejak diluncurkan ke tengah masyarakat, SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) memang telah mengundang kontroversi. Mulai dari politisi, cendekia, ulama, para pemerhati masalah social sampai mahasiswa. Yang intinya menghendaki agar pencarian dana melalui jalan yang satu ini ditinjau kembali.
(SDSB yaitu kegiatan seseorang membeli kupon suatu pertandingan olahraga dengan menebak siapa yang akan menjadi pemenangnya. Kalau tebakannya betul, maka akan mendapat hadiah berlipat ganda dari harga kuponnya. SDSB ini diplesetkan menjadi Sudomo Datang Semua Beres. Waktu itu Sudomo menjabat sebagai Pangkopkamtib/Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, salah seorang pejabat yang sangat ditakuti oleh sebagian masyarakat.)
Memang terlepas dari pembicaraan kehidupan kita yang berdasarkan Pancasila yang tentunya menjamin warga negaranya untuk mengamalkan ajaran agamanya, termasuk menentang praktek perjudian, penyelenggaraan SDSB telah membawa ekses-ekses negative. Perangkat yang memungkinkan setiap orang untuk mengadu nasibnya secara sangat tidak mendidik ini telah banyak merugikan rakyat kecil yang mayoritas adalah pecandunya.
Proses penyertaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan cara yang satu ini dari awal telah mengundang sikap kontra dari berbagai pihak tadi.Sikap kontra seperti itu sudah muncul sejak namanya masih ‘porkas’ yang konon saat itu dananya untuk mengatrol reputasi olahraga nasional. Bahkan penolakan masyarakat itu sebenarnya sudah ada sejak zaman nalo dulu. Tapia pa hendak dikata, ‘lampu hijau’ dari pemerintah tetap menyala. Pemerintah tetap merestui keberadaan SDSB. Mungkin dasar yang coba dipertahankan pemerintah ialah untuk menyertakan masyarakat dalam pembangunan. Akhirnya kita pun cuma bisa berharap, karena tidak mudah mengganggu-gugat SDSB, mudah-mudahan yang tersalur ke Depsos ini nantinya benar-benar kembali ke masyarakat, utamanya untuk rakyat kecil. Minimal mendekati impas. Dari rakyat kembali ke rakyat.
Masuk Kampus
Belum lama berselang, saya membaca di sebuah media massa, mahasiswa sebuah PTS di Yogya berontak karena sebagian dana pembangunan kampus barunya dari dana SDSB. Kabarnya dana itu kemudian dikembalikan lagi. Beberapa waktu yang lalu juga terjadi penolakan yang sama oleh mahasiswa Universitas Hassanudin Makassar, ketika mengadakan kejuaraan sebuah cabang olahraga antar perguruan tinggi se-Indonesia. Memang mereka tidak satu almamater dengan kita, tetapi secara pribadi, hal ini tidak mengurangi penghargaan pada mereka yang tetap berusaha menjaga idealismenya sebagai mahasiswa.
dipercaya – ternyata ada oknum-oknum mahasiswa (baca: mahasiswa UI) yang justru memanfaatkan dana dari keringat rakyat tadi sekedar untuk menyokong kegiatan-kegiatan dunia kemahasiswaan. Tidak perlu saya sebutkan kegiatan apa atau unit kegiatan mana.
Karena si oknum juga mahasiswa, tentulah dia tidak bodoh alias sadar kalau dana dari yang dipakai bukanlah dari SDSB melainkan dari Depsos. Dana khusus kek, atau apa sajalah namanya, yang penting jangan ada kata SDSB. Walau ada juga satu kegiatan yang pihak panitianya jelas-jelas mengakui itu – itu juga setelah didesak – kalau dananya sebagian memang dari SDSB, bukan lagi Depsos.
Sebenarnya mahasiswa, yang tentunya berbeda dengan masyarakat awam, konon dianggap lebih kritis. Tentunya bisa mengestimasi bahwa kontribusi dana SDSB di Depsos tidaklah kecil, jadi tidak dengan mudah mengklaim, bahwa dana dari Depsos tidak bisa disamakan dengan dana SDSB.
Tanggung Jawab Moral
Saya jadi berpikir, inikah gerangan alibi yang menyebabkan kita bungkam seribu bahasa saat orang ramai mempersoalkan keberadaan SDSB? Di saat berbagai pihak menyatakan keberatan atas penambahan periode penarikan, yang kini menjadi 9 kali dalam sebulannya.
Kita semua ingat ketika abang-abang becak belum diharamkan mengayuhkan kakinya di Jakarta ini, merekalah yang dengan setia mengisi kas SDSB sambil menanti “mu’zizat” Tapi begitu abang-abang yang dulu selalu mengantar kita kalau berangkat ke sekolah harus berhadapan dengan petugas Tibum – padahal mereka hanya sekedar mencari sesuap nasi buat anak istrinya – terusir, kita Cuma bisa diam.
Ironisnya, sekarang justru kita yang menikmati andil-andil penarik becak Jakarta yang menikmati andil-andil penarik becak Jakarta, yang sekarang sudah tinggal cerita Mungkin kalau dana tadi dimanfaatkan untuk kegiatan semacam bakti social. Orang sedikit Walau lebih afdol kalau kita mau merogoh saku sendiri, atau kalau terpaksa bisa mencari konglomerat yang jumlah banyak.
Justru anehnya kalau kegiatannya sama sekali berbeda jenisnya dengan yang disebutkan di atas. Padahal kalau kita jujur, dalam kegiatan yang menjadi ajang adu prestasi olah raga di UI, benarkah prestasi yang menonjol, bukan kesan pesta atau rekreatifnya? Kalau pun demi keagungan sebuah nama, karena suatu unit kegiatan membawa nama UI, entah di bidang seni atau atau sekedar untuk petualangan, etiskah dengan memakai dana Depsos dan bukan yang dari SDSB sekalipun?
Kalau dua hal yang terakhir ini memang dirasa sulit, bagi saya pribadi, kenapa di kampus ini tidak sekalian saja dibuka tempat penjualan kupon mimpi itu? Cabang rektorat atau apalah namanya. Jadi kita punya andil mengisi. Setidaknya beban moral kita tidak akan terlalu berat disaat kita harus nemakai dana tersebut.
(Achmad Rivai, sekretaris Komisi Khusus BPM FT, dalam SKK Warta UI No.53, Tahun XIV, Desember 1991)