Repotnya Menjadi Suami Caleg
Tempo hari pernah diturunkan tulisan tentang dosen yang menjadi calon legislatif (caleg). Kali ini mencoba untuk mengisahkan tentang seorang dosen yang beristrikan seorang caleg. Kemarin (12/02-09) di jalan berpapasan dengan sang dosen yang memang sudah agak lama tidak ketemu. Padahal biasanya tiap hari biasa ketemu karena memang kantornya satu atap/gedung.
Seperti biasa, pada mulanya percakapan basa basi. Dia menanyakan mau kemana, maka penulis menjawab mau jemput anak pulang sekolah, karena waktu itu juga sudah waktunya istirahat kantor. Waktu balik tanya, gimana kabar anaknya. “Anak saya masih dalam kandungan, Maret baru lahiran” jawabnya. Dia mau makan siang di rumah. Jarak dari kantor ke rumahnya hanya menghabiskan waktu 7 menit. Waktu ditanya apakah nyonya di rumah, jawabnya ada di Bandung lagi kampanye, karena sang nyonya caleg salah satu parpol dari daerah pemilihan Bandung dan sekitarnya.
Sang nyonya adalah seorang caleg nomor 2 dari partai berlambang binatang, untuk tingkat nasional. Walaupun ada dalam daftar nomor urut dua, tetapi yang menentukan apakah bisa berkantor di senayan adalah jumlah suara pemilih yang mencontreng namanya. Walaupun sang nyonya seorang selebritis yang cukup dikenal se antero nusantara, tetapi rupanya tetap masih menyimpan kekhawatiran tidak mencukupi jumlah suara yang memilihnya. Maka dalam keadaan hamil tua, giat berkampanye kesana kemari dan juga meninggalkan suami tercinta sendirian di rumah. Tiada hari tanpa safari kampanye. Bisa dibayangkan bagaimana hari-hari sang suami tanpa kehadiran seorang istri. Tetapi itulah barangkali resiko yang harus dihadapi seorang suami beristrikan caleg.
Hari Sabtu kemarin (14/02-09) bersama anak dan istri menghadiri syukuran pernikahan (ngunduh mantu) di bilangan Jakarta Pusat. Ibu mempelai pria adalah seorang teman lama istri. Walaupun jarang berhubungan, tetapi kalau ada acara penting keluarga selalu diundang. Keluarganya sangat luar biasa dalam menerima tamu, kita sebagai tamu merasa sangat dihargai dan tersanjung karenanya. Kakaknya adalah dosen UI yang menjadi pejabat dan menjadi ketua umum salah satu parpol.
Menurut ajudan pejabat ini, menjelang pemilihan legislatif, jadwal kegiatan padat sekali, hari libur pun diisi dengan kunjungan ke daerah-daerah. Selain kunjungan dinas, disela-sela waktu luang dalam kunjungan dinas itu, dipakai pula untuk sosialisasi kegiatan parpol. Jadi sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Kalau tidak begitu, akan banyak waktu dan tenaga serta biaya yang terkuras. Hal ini banyak dilakukan oleh para pejabat negara yang juga menjadi aktivis parpol. Campur aduk urusan pemerintah dengan urusan parpol tidak bisa terhindarkan lagi.
Banyak hal yang tidak terpikirkan sebelumnya dalam upaya menerapkan demokratisasi di republik ini. Pelaksanaan di lapangan terkesan tambal sulam, kerap terjadi keliru atau salah. Undang-Undang Pilkada misalnya, akan ditinjau ulang karena banyak ekses terjadi yang negatif. Inilah barangkali ongkos yang harus dibayar, baik secara sistem maupun perorangan. Sampai kapan hal ini akan berlangsung, tampaknya masih harus menunggu hingga lima tahun lagi pada waktu pemilu 2014. Kenapa harus menunggu begitu lama? Karena masyarakat kita paling malas belajar dari hal-hal yang sudah terjadi.