blognya komarudin bin sayuti

blognya komarudin bin sayuti header image 2

Proof by contradiction dan Jaringan Islam Liberal (2)

November 22nd, 2015 · 2 Comments

Metodologi ‘kebebasan’ dalam Jaringan Islam Liberal

Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah salah satu paham keagamaan yang unik. Kelompok ini mempromosikan paham kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat di kalangan ummat Islam. Selain itu, kelompok ini mempunyai manifesto untuk menghilangkan diskriminasi, memberangus kekerasan antar kelompok dan menjunjung demokrasi.

Akan tetapi, sebenarnya paham kebebasan yang diusung JIL ini adalah kebebasan yang semu. Pada pembahasan beberapa masalah yang diusung JIL, para tokoh JIL sering kali sudah memiliki kesimpulan (pre-conclusion) sebelum mengadakan perjalanan pembahasan ilmiah. Biasanya, kesimpulan mereka merupakan turunan dari pemahamaman mereka tentang menghilangkan diskriminasi dan mencegah kekerasan antar kelompok. Berbekal dengan pre-conclusion ini, mereka akan mencari-cari dalil dan data penunjang yang mendukung klaim mereka. Bahasa keren untuk proses ini adalah proses pencarian pemahaman kontekstual-liberal. Atau kalau tidak bisa, suatu dalil dan data pendukung akan dibelokkan pemahamannya menuju pemahaman yang sering kali sulit dicerna akal.

Pemahaman kebebasan berpikir ini cukup kontras dengan pemahaman kebebasan berpikir para cendekiawan-cendekiawan muslim terdahulu. Para cendekiawan muslim a.k.a. ulama memiliki kebebasan dalam memahami dalil-dalil Al-quran dan As-Sunnah. Hal-hal yang membatasi pemahaman para ulama untuk suatu dalil adalah pembatasan oleh Al-Quran dan Assunnah yang lain. Dengan kata lain, suatu pemahaman ayat atau hadits tidak boleh bertentangan dengan ayat atau hadits yang lain. Selain itu, para ulama tidak memiliki kesimpulan awal (pre-conclusion) ketika membahas suatu persoalan. Sehingga, kesimpulan yang dihasilkan oleh para ulama bisa beragam ketika memahami suatu dalil.

Sisi lain yang mencolok dari metodologi kebebasan mereka adalah sifat kritis para tokoh JIL. Para tokoh JIL sangat giat dalam mengomentari pendapat orang-orang di luar JIL ketika mereka memiliki pendapat yang berbeda dengan pemahaman JIL. Akan tetapi, sifat kritis JIL ini hanya berlaku keluar untuk orang lain, tidak berlaku kepada diri mereka sendiri. Penulis tidak pernah menemui pembahasan kritis JIL tentang makna kebebasan, atau mengkritisi pemahaman non-diskriminasi dan penjunjungan tinggi terhadap demokrasi. Mungkin ini sudah diterima sebagai kebenaran mutlak. Misalnya, apakah mereka sudah melakukan studi akurat dan berkelanjutan yang berkesimpulan bahwa bahwa negara yang mendukung pluralisme memiliki tingkat kejahatan dan kekerasan yang lebih sedikit dari pada negara yang mendukung kemurnian agama?

Hal ini berbeda dengan praktek para ulama yang tetap kritis pada diri mereka dan bahkan kepada guru-guru mereka. Para ulama tidak ragu untuk mengkoreksi pendapat mereka ketika telah tampak kesalahan pendapat terdahulu mereka. Selain itu, tidak sedikit para ulama yang berbeda pendapat dengan guru-guru dan sahabat-sahabat mereka. Yang tidak kalah penting, mereka tetap mengatakan bahwa pendapat mereka tidak layak untuk diikuti jika seorang ummat mengetahui ada pertentangan terhadap Al-quran dan As-Sunnah.

 

Jaringan Islam Liberal dan kontradiksnya

Keunikan lain dari JIL adalah sisi kontradiksi dari pendapat-pendapat JIL. Beberapa pendapat JIL sangat sulit diterima akal karena berkontradiksi satu sama lain, bahkan kontradiktif dengan dirinya sendiri. Pada artikel ini, salah satu pendapat JIL yang kontradiktif akan dibahas dengan cukup detail. Fokus kita terutama untuk pendapat JIL: “Semua agama itu baik dan benar”.

Sisi kontradiktif pendapat “Semua agama itu baik dan benar” bisa dipaparkan sebagai berikut. Seperti kita tahu, semua agama memiliki klaim kebenaran. Artinya, satu agama memproklamirkan bahwa hanya agamanyalah yang benar dan agama lain bernilai salah. Jika kita mengamini pendapat JIL bahwa “semua agama itu baik dan benar”, maka kita kita menganggap semua agama adalah benar, termasuk klaim kebenaran yang ada pada agama tersebut. Dengan merujuk klaim kebenaran, suatu agama dianggap benar dan agama lain akan dianggap salah. Dengan demikian, suatu hal yang tidak mungkin adalah satu agama dianggap bernilai dua sisi kontradiktif, yakni benar dan salah, benar dari sisi agama tersebut tapi dianggap salah oleh agama lain.

Saking jelasnya sisi kontradiktif pendapat ini, Seorang Prof. M. Dawam Rahardjo merasa perlu merivisi dan atau memberikan penjelasan tentang pendapat ini. Prof. M Dawam Rahardjo menggambarkan memberikan pemahaman dengan perspektif JIL di artikel yang diterbitkan Tempo berjudul “Mengapa Semua Agama itu Benar?,” pada tahun 2006. Setidaknya ada lima poin yang diketengahkan beliau tentang pemahaman semua agama benar. Pada kesempatan ini, kita akan bahas beberapa di antaranya.

Prof. Dawam membatasi kebenaran dan baiknya suatu agama itu bagi para pemeluknya. Dengan kata lain, kebenaran suatu pendapat dalam agama adalah relatif, menurut pemeluknya benar tetapi menurut pemeluk agama lain bisa jadi salah. Jika kita renungkan baik-baik, pemahaman ini adalah pemahaman yang berbahaya. Mengapa? Karena setiap perbuatan kriminal yang dianggap baik oleh suatu agama harus kita anggap benar dan baik. Sebagai contoh apakah kita akan menganggap baik dan benar perbuatan pembunuhan dan pengeboman orang orang yang tidak berdosa? Menurut pelakunya, perbuatan mereka ini dibenarkan oleh agama mereka. Bagaimana pula nilai kebenaran suatu perbuatan yang dianggap berbeda oleh beberapa agama, semisal perzinahan, poligami, transaksi riba dan perjudian? Apakah JIL berani menganggap semua perbuatan itu sebagai benar dan baik sebagaimana mereka membenarkan semua bentuk nikah beda agama?

Di sisi praktek, jika seorang JIL konsisten dan istiqomah menerapkan pendapat “kebenaran suatu agama itu bagi para pemeluk agama tersebut”, maka pemahaman ini harus dibatasi bagi penganut Islam liberal saja. Hal ini karena pendapat ini diusung oleh penganut JIL dan ia ada frasa “bagi pemeluknya” di pendapat ini. Sehingga tidak perlu bagi penganut JIL untuk berusaha meng-convert orang lain yang memiliki pendapat yang berbeda. Akan tetapi, kenyataannya jauh panggang dari api. Sering kali tokoh-tokoh JIL meng-kritik pemahaman ummat Islam mayoritas yang menurut pendapat ini pemahaman ummat Islam mayoritas adalah baik dan benar bagi mereka.

Pada artikel yang sama, Prof. Dawam membagi kebenaran suatu agama menjadi kebenaran ekslusif yang hanya berlaku bagi penganut suatu agama tertentu dan kebenaran inklusif yang berlaku bagi penganut semua agama. Sayangnya, Prof. Dawam tidak menjabarkan kriteria yang jelas untuk mengidentifikasi jenis-jenis kebenaran dalam suatu agama. Di satu sisi, pendapat ini seperti sebagai darah segar untuk pemahaman kebenaran semua agama. Tetapi di sisi lain, kita menemukan sisi flaw dari pembagian ini.

Sebagai suatu pemahaman agama, seharusnya pendapat ini juga menjadi objek hukum dari pendapat itu sendiri. Pemahaman “semua agama itu benar dan baik” tidak bisa dianggap sebagai kebenaran inklusif. Pemahaman “semua agama itu benar dan baik” tidak bisa dianggap sebagai kebenaran yang berlaku untuk penganut Islam liberal dan untuk yang bukan. Hal ini dikarenakan pemahaman ini tidak diterima oleh semua penganut agama. Pada artikel tersebut Prof. Dawam menjelaskan trinitas tidak dapat dianggap sebagai kebenaran inklusif karena tidak dapat diterima oleh ummat Islam. Mirip dengan hal tersebut, pemahaman “semua agama itu benar dan baik” tidak bisa dianggap sebagai kebenaran inklusif karena tidak dapat diterima oleh mayoritas ummat Islam.

Sekarang kita anggap kebenaran pemahaman “semua agama itu benar dan baik” adalah merupakan kebenaran eksklusif, yakni hanya berlaku untuk penganut Islam liberal. Menurut pemahaman ini, suatu pemahaman agama dianggap benar kalau pemahaman tersebut hanya mengatur agama tersebut. Padahal, pendapat ini tidak hanya mengatur agamanya sendiri akan tetapi juga mengatur agama lain. Di sinilah juga ada kontradiksi, pendapat tersebut mengajarkan untuk tidak mengatur agama orang lain dengan cara mengatur agama orang lain.

Sebenarnya ada yang lebih gawat dari proposal JIL yang menganggap “semua agama itu benar dan baik bagi pemeluknya”. Secara tidak sadar, penganut paham ini berusaha menyenangkan hati manusia tetapi dengan melakukan sesuatu yang mengurangi hak Tuhan. Bagaimana tidak dianggap mengurangi hak Tuhan ketika seseorang percaya kebaikan dan kebenaran ajaran Tuhan-Nya akan tetapi ia tidak berkeinginan menyebarkan kebaikan dan kebenaran tersebut kepada orang-orang yang belum mendapatkannya? Bagaimana tidak dianggap mengurangi hak Tuhan ketika dia diperintah untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran tetapi dia tidak mau menyebarkannya?

Satu hal yang mungkin perlu kita renungi bersama ialah tentang akar permasalahan pemikiran JIL. Mereka menawarkan solusi dari permasalahan diskriminasi dan kekerasan antar agama dengan paham “semua agama itu baik dan benar bagi pemeluknya”. Secara tidak langsung, mereka menganggap bahwa agama yang ada sekarang adalah salah satu penyebab kekerasan dan ketidakrukunan masyarakat. Bukankah tidak menutup kemungkinan bahwa seorang muslim tidak melakukan diksriminasi dan kekerasan atas nama agama ketika ia menganut paham kemurnian agama?

Print Friendly, PDF & Email

Tags: my life

2 responses so far ↓

  • 1 Ajaran Islam Liberal Sesat // Dec 26, 2016 at 7:14 pm

    Satu poin penting yang saya dapat dari tulisan ini, tokoh jaringan liberal tidak pernah kritis terhadap sesama, selain itu mereka hanya kritis pada hal yang beraroma Islam saja. Hal ini membuktikan, sebenarnya mereka sangat subjektif. Sebaliknya, para ulama sangat objektif terhadap diri mereka bahkan guru dan pendahulu.

    Jazakallah.

  • 2 syaf // Jun 23, 2020 at 12:50 am

    Mantap.. Sy sbg mhs matematika sgt tertarik dgn tulisan semacam ini.. Kebetulan jg kmrn sy baru menyelesaikan trilogi novel Kemi karya Adian Husaini. Smkn tercerahkan..
    syukron..