Pandji P. dalam tulisannya “Mengapa Kami Menyinggung” menyebutkan bahwa seyogyanya Komika harus memiliki swa-sensor. Dia menyebutkan bahwa sering kali materi kontroversial digunakan oleh Komika dalam mop hanya sebuah kejutan. Kejutan itu sebenarnya demi memelintir pengharapan penonton.
Benarkah hanya demikian?
Kalau dilihat dari sejarah, mop modern berasal dari Amerika Serikat. Di sana, generasi dari Seinfield sampai Chris Rock berkembang. Semuanya sama, mereka mengisi dengan konten kritik sosial. Bahkan, tak lupa mereka memasukkan konten-konten yang menyakitkan.
Di negara Paman Sam sana, komedian dapat berkembang dengan baik. Amandemen UUD mereka menjamin seorang komedian takkan dihukum oleh perkataannya yang bebas. Mereka bahkan memiliki Comedy Central sebagai pusat produksi mereka.
Indonesia nampaknya tidak memiliki hukum tertinggi seperti itu. Mungkin, seperti yang dimengerti Pandji, mereka masih menganggap komika bisa memasukkan hal-hal kontroversial merupakan sebuah hal yang keren. Padahal, setiap mop yang terjadi mungkin sebenarnya memiliki agenda baik politik mau pun sosial, tapi terutama isu sosial. Sayangnya, saat ini konsekuensinya di Indonesia terlalu menakutkan.
Kalau saya boleh tarik lebih lanjut, sejarah mop berasal jauh dari zaman dahulu kala jauh di zaman kerajaan. Mereka biasanya berpakaian badut dan melucu untuk Raja atau pun para bangsawan. Mereka disebut sebagai Jester.
Mereka memiliki tugas untuk menghibur. Seorang jester mengolok tuannya dengan kritik. Hiburan dan kritik ini adalah bagian dari seorang jester. Mereka sering mengolok juga orang-orang lain.
Anehnya, banyak kerajaan di dunia menaruh posisi jester sebagai penasihat. Bahkan, di India bagian Selatan seorang raja takkan lengkap tanpa jester-nya. Mahabrata takkan lengkap tanpa punakawan.
En Folastrant Sagement
Ada kasus Ratu Elisabeth memecat jester-nya karena kurang kontroversial terhadap dirinya. Di lain pihak, banyak jester yang bercanda keterlaluan sehingga menghadapi dari hukuman cambuk bahkan sampai hukuman mati. Selalu ada resiko untuk menjadi pihak yang menghibur dengan kontroversial.
Namun, mengapa profesi tetap saja ada?
Seorang ayah yang terlalu posesif kepada anak perempuannya membuat anaknya tak bisa menikah. Seorang kaya mewarisi anaknya dengan kebodohan sehingga hartanya terkuras. Seorang raja terlalu angkuh menyediakan kepalanya di nampan pada hari tuanya. Seorang yang berdiri tinggi tanpa ada yang mengkritik cenderung mengarah kepada kehancuran.
Untuk orang-orang yang terlalu tinggi inilah seorang jester diperlukan. Seorang jester perlu menampar seseorang tanpa membuat dia kehilangan harga dirinya. Sifat ini yang menjadikan seorang jester yang baik adalah seorang yang begitu bijak sehingga ia bisa menjadi si bodoh. Menemukan formulasi yang tepat untuk memulai diskusi adalah sebuah tugas dari seorang jester. Inilah tugas dan tantangan yang harus dihadapi oleh seorang jester modern, komika a.k.a komedian.
Peter Russels mengolok-olok ras-ras dengan menyebutkan stereotipe-stereotipe ras tersebut. Pertama-tama, ia memulai dengan mengangkat ras tersebut. Lalu, ia masuk ke olokan ras tersebut. Terakhir, ia tak lupa mengangkat kembali ras yang telah dioloknya. Ia selalu menyediakan jalan keluar untuk mengangkat harkat ras tersebut sehingga ras tersebut pada akhirnya tidak tersinggung.
Untuk yang suka level keras, ada juga komedian di Comedy Central yang langsung ke subyek yang sensitif. Namun, kalau saya amati, sepertinya hidupnya seperti lelucon. Ada saja fitur dari tubuhnya yang dapat menjadi tertawaan. Memang, dosis komedi seperti ini bukan untuk khalayak ramai.
Kalau saya baca argumen yang dibilang oleh Pandji, saya teringat argumen yang berusaha diungkap oleh John Oliver kepada jurnalis. John Oliver merupakan komedian yang mengangkat tema-tema sulit di Amerika dan membawakan berita tersebut dengan gaya lelucon. Para jurnalis menyebutnya sebagai jurnalis, tetapi Beliau menyebut dirinya sebagai komedian yang berusaha membuat orang tertawa. Menurut dia, dia dan timnya memformulasikan bahwa lelucon kehilangan kelucuannya bila data yang dipaparkan tidak akurat.
Kalau menurut saya, John Oliver dan timnya telah sukses memasukkan berita yang kontroversial dengan kelucuan. Mereka berhasil menaikkan isu penting kepada publik Amerika Serikat tanpa mengaktifkan pertahanan. Pertahanan itu seperti penolakan (denial), pengacuhan, dan bahkan sensor. Alarm pertahanan tak aktif karena lelucon-lelucon yang dipaparkan membuat penonton tak merasa frustrasi, bahkan sebaliknya, mereka merasa diperkuat.
Kembali ke Pandji
Ada banyak isu yang menjadi api dalam sekam di negara ini. Isu antar umat agama. Toleransi dengan kaum minoritas. Isu jurang ekonomi yang semakin jauh dan munculnya generasi kelas menengah yang acuh. Bahkan, sampai isu sensitif seperti paham-paham komunisme dan liberalisme.
Bangsa ini terlalu takut untuk membahas isu-isu penting itu. Kami butuh jester untuk membuat kami nyaman untuk memulai diskusi itu. Kami perlu Pandji dan kawan-kawan untuk secara cerdas memasukkan isu-isu tersebut dengan lelucon, bukan swa-sensor.
Dari pada menunggu hukum yang melindungi mereka, saya hanya bisa berharap agar rekan-rekan daring melindungi mereka dari cyber-bullying. Lindungi perkataan mereka walaupun seperti menyakitkan. Saya rasa, mereka orang-orang jenius yang bukan sekedar lelucon belaka. Kita perlu melindungi mereka dari niatan jahat yang berusaha menjatuhkan mereka.
Sifat bangsa Indonesia yang sekarang semakin tak bisa dikritik menurut saya sudah pembodohan lebih dari zaman dahulu. Padahal, adalah budaya Nusantara untuk pantun-pantun jenaka. Adalah budaya Nusantara untuk majas-majas ironi dan satir. Adalah bagian dari budaya kita untuk bersilat lidah.
Saya harap, mop-mop Indonesia bisa mengembalikan budaya kita yang mau terima kritik dan mengkritik dengan elegan; mengkritik dengan lelucon. Jangan sampai api dalam sekam itu membakar lumbung padi kita. Biarlah ia terkuak dengan lelucon sehingga dapat dipadamkan.