Category Archives

9 Articles
Aku Ingin Masuk

Aku Ingin Masuk

Bandwithnya seikhlasnya...

JP (bukan nama sebenarnya) saat mengunjungi situs-situs dari Indonesia tertentu.

Bagaimana cara menilai sebuah situs bagus? Saya punya standar minimal:

Ketika lebih cepat membuka Youtube dengan kualitas 240p daripada situs Anda, maka situs Anda perlu dipertanyakan. Ketika menonton 360p lebih lancar dari membuka situs Anda, itu artinya perancang situs Anda makan gaji buta! Anda perlu menggunakan pengembang situs yang lain.

Saya kesal! Ada suatu situs penting di Indonesia yang dibutuhkan untuk harkat hidup orang banyak tetapi sulit sekali dibuka. Dan bukan hanya situs itu saja, ternyata banyak situs di Indonesia yang memiliki situasi serupa. Saya bukan pakar web, tetapi saya sudah ada dari zaman Warnet masih Rp16.000,00 per jam dan 14.4 kbps adalah kecepatan yang optimal. Jadi, izinkanlah saya marah-marah, protes, dan kasih solusi. 🙂

Terlepas dari omongan saya yang rada kasar tadi — mohon maaf buat Anda yang tersinggung, ini puncak kekesalan saya setelah selama bertahun-tahun masih saja sama masalahnya — saya berminat untuk memberikan sebuah solusi. Semoga tips yang saya berikan berkenan untuk diimplementasikan.

Perhatikan Isi

Pada masa Web 1.0 dan ucapan “Under Construction” merupakan norma, GIF dengan animasi dan tag marquee merupakan primadona. Tetapi semenjak zaman Web 2.0, orang sudah menganut ucapan “Beta” dan prinsip KISS diterapkan.

KISS artinya “Kip it simpel stupid!” [read: Keep it simple, stupid!]. Anda hendak memajang informasi kepada pengguna. Jadi, usahakan Anda definisikan untuk menaruh apa di situs Anda:

  • Mana yang perlu di halaman depan;
  • mana yang cukup cuplikan saja; dan
  • mana yang ditaruh di halaman lain saja.

Untuk membantu bagaimana memilahnya, Anda dapat menggunakan berikut:

  • Siapa target atensi Anda. Jadi, pisahkan informasi berdasarkan target tertentu, misalnya: mahasiswa, dosen, dan pengunjung iseng. Contoh: situs IBM.
  • Fasilitas yang biasa digunakan orang. Cara tahunya bisa dengan menggunakan fungsi counter, lho…. (Counter bukan untuk adsense, doang.)
  • Tanyalah diri sendiri, apa yang Anda harapkan Anda dapatkan dari mengunjungi situs Anda?

Setelah demikian, lakukan Indonesian Idol 2012 edisi situs Anda untuk menentukan siapa yang perlu dipajang di halaman depan dan siapa yang perlu di belakang. Ingat! orang Indonesia itu terbiasa visual bukan membaca tulisan. Lautan tulisan justru membuat orang terintimidasi.

Perhatikan Gambar Anda

Ada pengembang web yang mungkin berpikir bahwa orang yang mengunjungi situsnya  menggunakan jaringan Intranet atau langsung dari komputer dia. Buktinya, gambar lebih dari satu mega bita dijadikan latar belakang. Ada kemungkinan juga, sih, dia lulusan kritikus film yang elit dan visualphile, sehingga setiap ikonnya dibuat dengan presisi komposisi warna yang rumit. Lihat, kalau diperbesar ikon rumahnya ada bercak di sisi kiri jendela mirip siluet orang; ada sebuah interpretasi rumit mengenai ini.

Kalau itu bukan Anda dan situs Anda bukanlah untuk sebuah karya seni, mohon perhatikan hal-hal berikut:

  • Kompresi gambar Anda!
  • Perhatikan jumlah gambar Anda karena itu menentukan berapa jumlah rit koneksi Internet untuk membuka situs Anda.

Cara kompresi gambar ada dua:

  • Turunkan gradasi warna. Cara turunkan gradasi warna dapat dengan menggunakan blur. Pengaburan ini fungsi sebenarnya bukan cuma buat menyensor dada, tetapi juga untuk menurunkan gradasi warna. Kombinasi Wand untuk memilih area tertentu dan Gaussian Blur di GIMP bisa dipakai untuk itu. Atau, coba cari saja plugin GIMP untuk optimasi web.
  • Simpan dengan format JPEG dan turunkan kualitas. Kalau di GIMP, gunakan indeks warna. Mainkan kualitas dan sampling yang dipakai. Menurut pengalaman saya, format JPEG adalah format yang paling irit. (GIF yang pertama, sih, tapi siapa yang mau pakai GIF?)

Kalau Anda mau lebih keren lagi, gunakan CSS sprite. CSS sprite adalah sebuah teknik dari Yahoo untuk menyimpan gambar-gambar ikon dalam satu berkas gambar. Nantinya gambar yang besar itu dipotong-potong dengan menggunakan teknik klip CSS.

Yang paling penting dari semua: hentikan animasi yang tak penting! Gambar yang beranimasi cenderung mengganggu orang dari serius membaca tulisan. Sudah secara alami Anda akan melihat gambar bergerak. Itu bagian dari keselamatan di alam dan duduk lebih dari 8 jam di depan komputer tak akan menghilangkan hasil evolusi berjuta tahun.

Duniamu Mengalihkan Duniaku

Saya sebagai orang yang lebih dari 8 jam di depan komputer menggunakan tematik hitam dan kontras rendah. Sayangnya, beberapa orang kreatif menghias lapaknya dengan warna hitam dan hurufnya berwarna putih. Untuk situs-situs ini, saya kerap kali harus menggunakan penyunting untuk mengisi formulir. Karena formulir dan hurufnya berwarna putih, saya seringkali harus melakukan tebak-tebak berhadiah. Saran saya, tolong buat formulirnya berwarna hitam juga, dong. Atau, mohon warnai formulirnya.

Memang, ini derita saya dan saya tidak bisa menyalahkan mereka. Ya, sudah, saya terima itu. Tapi, berikut ini yang lebih parah.

Satu hal yang menghalangi saya untuk mengikuti proses sosial dari sebuah situs adalah situs yang pengembangnya menggunakan asumsi bahwa penggunanya menggunakan peramban tertentu saja. Saya sadar, terkadang menjadi seorang pengguna peramban  minoritas berarti kehilangan fungsional tertentu.

Apakah itu perlu?

Sebuah situs yang hanya mengambil masukan dan melakukan seluruh operasinya di sisi server, apakah ini perlu menggunakan peramban tertentu? Saya paham kalau misalnya sebuah situs diperuntukan bagi IE6 karena menggunakan ActiveX. Tapi, situs yang hanya memerlukan fungsi tradisional, mengapa perlu berjalan di peramban tertentu?

Saya menggunakan Opera 12.0 versi GNU/Linux selain Firefox. Ada sisi sentimentil bagi saya untuk menggunakan peramban ini. Selain cepat, dahulu sewaktu zaman Window Maker masih pengatur jendela saya, Opera 2.0 merupakan peramban yang paling modern. Sepertinya perasaan itu masih belum hilang. Apalagi, Ctrl+Shift+N masih ada untuk terhubung ke situs…. * ahem

Sisi sentimentil lainnya, dia merupakan peramban inovatif dan hanya mendukung standar web resmi. Sebagai pecinta standar terbuka, saya menyukai sikap Opera. Dan seharusnya dengan standar terbuka, saya seharusnya dapat menulis komentar. Tetapi, mengapa fitur komentar tidak muncul di situs Anda, wahai situs berita K?

Mohon untuk situs-situs penting bagi hajat hidup orang banyak, gunakan fitur-fitur standar yang sudah pasti berjalan di seluruh peramban (kecuali IE6). Amal ibadah Anda pasti diterima di sisi-Nya. Apalagi kalau Anda menggunakan URI nan cantik dan bisa diindeks oleh Google. Saya sumpahin Anda dapat jodoh yang baik dan mertua yang pengertian! Amin.

Saya tahu, menggunakan Flash dapat menghasilkan animasi yang keren. Tapi, mohon pahami bahwa Flash membutuhkan data bita yang besar. Sistem operasi saya pun kurang stabil dengan banyak Flash yang berjalan.

Menjadi pengembang web bukan soal mengembangkan konten. Ada hal-hal yang harus diperhatikan, terutama soal teknis. Setelah mengatur struktur informasi, seseorang atau tim juga harus belajar memverifikasi situsnya. Caranya:

  • Lihat situs dari berbagai peramban dan sistem operasi.
  • Gunakan validator daring untuk melihat akuntabilitasnya.

Lebih gampangnya, saya beri contoh kasus.

Terkadang sistem operasi tertentu tidak mendukung fasilitas yang membuat peramban yang sama pada sistem operasi lain tidak masalah. Sebagai contoh, huruf web yang saya gunakan di situs ini menggunakan Google Webfonts. Terlihat indah bila di GNU/Linux dan Windows 7.

Sayangnya, ketika saya menggunakan Windows XP, tulisan situs ini jadi jelek. Usut punya usut, Windows XP harus mengaktifkan Clear Type untuk bisa melihat situs ini dengan bagus.  Berhubung ini masalah Windows XP dan remeh, saya akhirnya memutuskan tetap menggunakan huruf web. Apalagi, IE6 sudah dianggap almarhum oleh Microsoft. Jadi, buat apa saya dukung web itu?

Tapi Bagaimana Mungkin, Membaca Saja Aku Sulit

Gampang, kok. Cukup gunakan slogan TIK yang terkenal: re-use. Re-use bukan mengambil konten orang lalu menaruh di situs dengan iklan bejibun tanpa memberikan kredit (menyebut penulis asli atau tautan ke situs asli misalnya). Itu namanya menyolong dan di dunia akademis disebut plagiat.

Re-use artinya menggunakan komponen-komponen yang sudah tersedia untuk digunakan sebagai dasar. Misalnya Anda kurang bisa PHP seperti saya, gunakan Drupal atau WordPress dan pakai tematik yang sesuai dengan kebutuhan.

Anda mungkin sebuah situs berita profesional atau situs pertemanan dan memerlukan fungsi Javascript untuk interaktivitas. Anda bisa menggunakan JQuery daripada menulis sendiri skrip Anda. Atau, gunakan Modernizr sebagai dasar pengatur konten Anda.

Pustaka-pustaka itu diciptakan supaya Anda tidak perlu melewati proses yang sama untuk bisa kompatibel dengan banyak peramban. Dari pengalaman saya di tahun 2000-an, menulis “if (ie4|ns4|w3c)” di dalam skrip itu sesuatu banget. Untung saja sekarang proses itu tidak perlu dilewati. Sudah ada orang-orang baik yang mau berbagi dan membakukan proses fallback dan fitur-fitur tertentu dengan teruji secara internasional.

Mengapa Anda tidak memanfaatkannya? Hitung-hitung Anda menambah amal mereka dengan mengizinkan mereka membantu Anda. Gunakanlah alat-alat yang sudah beredar di Internet dan dengan gratis sambil memperhatikan data.

Mari gunakan bingkaikerja yang sudah teruji dan baik demi kepentingan bersama.

Tujuan Curhat Ini

Saya punya impian, infrastruktur TIK benar-benar menjadi sebuah perkakas yang membantu bukan menyusahkan.

Telah Berpulang
Steve Jobs, 1955-2011

Telah Berpulang

Steve Jobs, 1955-2011

Steve Jobs, 1955-2011

Saya bukan penggemar produk Apple, tetapi saya hendak mengucapkan turut berbela sungkawa kepada Steve Jobs. Bagi saya, dia adalah pahlawan.

Saya akan mengenang dia sebagai sesosok perfeksionis yang telah menyumbangkan keeleganan kepada dunia. Pertama-tama, karena dia telah menyumbangkan keeleganan, konsistensi, dan seni dalam perancangan tampilan antar muka. Dunia komputer takkan pernah sama tanpa dia.

Kedua, kepada kebesaran hatinya yang mau berbagi kepada dunia. Bila seandainya TTF bukan perusahaannya yang punya lisensi, pasti sudah lama FOSS berusaha mencari cara lain untuk mendapatkan font hinting. Secara personal, ia menulis bahwa ia tidak suka terhadap DRM. Walau pun ia kalah kepada korporasi, saya menghargainya atas surat tersebut.

Ketiga, sebagai tokoh yang inspiratif yang perfeksionis. Tokoh yang menginspirasi seperti dalam “Pirates of Silicon Valley”. Dan terutama kisah hidupnya yang ia ceritakan dalam hari Inagurasi Stanford.

Selamat jalan, Steve Jobs.


Gambar diambil dari situs Apple.com.

I Hate Vendor-Locked Solution!

I Hate Vendor-Locked Solution!

Ugh, ingin rasanya mencak-mencak. Tapi saya sadar, blog ini dikonsumsi oleh khalayak ramai. Jadi, saya coba curhat dengan mengerem saja. Kalau mau baca curhatan saya silakan, kalau tidak, ya, silakan lewat saja.

Saat ini saya sedang berbulan madu dengan Gentoo. Saya berhasil memasang KDE4.4, Netbeans, MPlayer, yakuake, dan qmmp. Sungguh luar biasa! Saya bisa mendengarkan musik, memainkan berkas film kualitas HD, dan menjalankan Netbeans 6.9 tanpa membuat PC bernyanyi Poco-poco.

Pengetahuan kompilasi optimal dengan Gentoo ini lalu saya konversikan ke instalasi Debian/Ubuntu saya. Lumayan, pada mesin Celeron, MPlayer yang dikompilasi ulang menurunkan beban CPU dari ~90% menjadi ~1% saja. Saya berencana untuk mengompilasi ulang beberapa paket di Debian/Ubuntu (Hey, itu sebabnya ada

deb-src
). Entahlah, saya harus membaca-baca dulu spesifikasi SSSE3.

Sayangnya, bulan madu dengan kompilasi berjalan tidak mulus. Saya menemukan kesulitan ketika saya hendak mengompilasi salah satu komponen e-Akses, saya menemui kegagalan. Padahal, saya sudah mengorbankan kesucian 64 bit dengan memasang emulasi 32 bit. Oh, tidak, ternyata gara-gara sebuah komponen tertutup yang terkompilasi 32 bit.

Dasar vendor!

Haduh, itu pustaka dikompilasi dengan 32 bit. Sudah begitu, pustaka itu menggunakan libstdc++5, sebuah pustaka kuno! Ayolah, zaman begini masih pakai pustaka tersebut? Padahal, distro-distro terbaru (termasuk Ubuntu semenjak Lucid) sudah tidak lagi memaketkan libstdc++5 — sudah bertahun-tahun pindah ke libstdc++6!

Benar kata [ARLIED], mengapa pembuat perangkat keras masih saja menyembunyikan pustaka yang hendak mengakses perangkat keras mereka? Bukankah mereka seharusnya membuat perangkat keras? Terkadang, saya juga tidak habis pikir dengan alasan perlindungan kekayaan intelektual. Terhadap apa? Bukankah disain perangkat keras mereka sudah dilindungi hak cipta?

Saat ini, pasar solusi berbasis GNU/Linux meningkat. Hal ini karena adanya inovasi dan implementasi sistem embedded. Perangkat Windows, .NET, dan segala macam yang ringkih tidak lagi menjadi dominasi. Semua semakin menginginkan efisiensi dan performa, termasuk dari segi biaya.

Coba kita lihat peta GNU/Linux dan FOSS secara umum dalam percaturan perangkat keras.

Nokia yang sudah mengakuisisi Trolltech berniat membuat implementasi Meego yang lebih dahsyat dengan menggunakan Qt. Nokia ditemani Intel akan membuat solusi yang menarik, Untuk sementara, ponsel N900 cukup memuaskan dahaga para pengilik FOSS. Berbagai perkakas kecil yang dibuat dari Qt semakin memperkaya ponsel Symbian ini. Oh, ya, tahukah Anda bahwa kernel Symbian sudah dirilis ulang sebagai kode terbuka (open source)?

Siapa yang tidak tahu Google? Dia dan Androidnya, yang walau pun cukup dimaki-maki karena sering kali mengembangkan di belakang layar lalu merilis penuh, memberi napas baru kepada FOSS. Android telah memberi kesan kepada khalayak bahwa FOSS bukan aplikasi main-main.

Lalu bagaimana Indonesia?

Saya terus terang senang dengan IGOS, POSS, Aria Hidayat, mdamt, dan orang-orang lainnya yang telah mengharumkan nama FOSS di Indonesia. Tetapi, selama perguruan tinggi di Indonesia tidak menangkap ombak ini, pergerakan FOSS di Indonesia hanya usaha perorangan saja. Bayangkan, masakkan masih ada seorang praktisi IT yang ngeri menggunakan GNU/Linux? Lagipula, masakkan sampai sekarang Indonesia masih menganggap bahwa GNU/Linux hanyalah subtitusi Windows.

Yang benar saja!

Ada falsafah, pengajaran, dan kualitas yang dikejar dalam FOSS. FOSS tidak sekedar berbicara mengenai perangkat lunak gratis. FOSS mengajarkan kreativitas. FOSS mengajarkan humanitarian dan etika akademik. FOSS mengajarkan penghargaan setinggi-tingginya kepada manusia, bukan perusahaan.

Lihat Brazil. Oh, jangan, lihat yang paling dekat saja: Malaysia. Walau pun mereka terlambat masuk, sekitar 2008, sekarang ini mereka berpindah ke FOSS dengan perlahan tapi pasti.

Ugh, kok, makin melebar? He… he… he…

Maksud saya, sayang sekali Indonesia tidak secara terstruktur berpindah ke FOSS. Bayangkanlah, seandainya itu bisa terjadi, kita bisa membuat industri solusi elektronik yang cerdas. Bukan hanya mengimpor dari Cina.

Seandainya itu tidak terjadi, saya tidak akan mencak-mencak. Karena, saya tahu, saya mendapat dukungan penuh dari vendor (yang notabene bangsa sendiri) yang merilis perangkat kerasnya untuk dikembangkan semakin keren secara bersama-sama.

Anda tidak tahu, mungkin ada fungsionalitas dari produk Anda yang belum Anda pikirkan sebelumnya dan ada orang lain dalam komunitas yang menemukan fungsionalitas itu.


Referensi:

[ARLIED] http://airlied.livejournal.com/73115.html

Here Comes Another Challenger

Here Comes Another Challenger

When HTML5 was published, there was an internal struggle going on between parties whom endorsed video format for HTML5. Commercial companies such as Google proposed H.264 codec to serve HTML5. The problem with H.264 was that particular format was patent encumbered. This means that the format itself were not applicable for free in some countries. That’s why, Mozilla Foundation completely rejected the idea of using H.264 and embracing Ogg Vorbis format instead. Both sides with good reason and ideology ended up stalled.

Fortunately, Google was recently buy On2, a company that holds  a new codec: VP8. From [FSF], a plea of releasing VP8 was made. Yesterday [ARS] revealed the new format was becoming free. Google also had provide a support site [WEBM] contains VP8 integration (library). The codec called WebM.

The site is new, the code only on GIT, and the list of plugins coming soon. Albeit, few months from now, days for those bleeding edge SVN/GIT/[name your favorite free software tools SCM] enthusiasts. You know how fast FOSS absorb technologies. I suppose, it would be on Meerkat.

What is the implication of this?

With the new open standard for video, we can see a peace once more on HTML5. This means, HTML5 most disputable issue has been resolved. So, expect an overwhelming HTML5 adoption on the coming months. Meaning: study HTML5 now! 😀

All in all, here’s a cheer for Free/Open Source Movement and Open Standard movement!

Reference:

[FSF] http://www.fsf.org/blogs/community/google-free-on2-vp8-for-youtube

[ARS] http://arstechnica.com/web/news/2010/05/google-opens-vp8-codec-aims-to-nuke-h264-with-webm.ars?utm_source=microblogging&utm_medium=arstch&utm_term=Main%20Account&utm_campaign=microblogging

[WEBM] http://www.webmproject.org/

Kebebasan dalam Berekspresi (Dengan FOSS)

Kebebasan dalam Berekspresi (Dengan FOSS)

Kebetulan ada sebuah permintaan dari rekan saya untuk mengganti salah satu tema di Blog Staff. Menurut dia, itu merupakan permintaan dari salah satu penulis blog favorit saya. Saya pun mencoba mencarinya tema baru di Internet dan menemukan tema-tema untuk majalah. Salah satu fitur dari situs majalah (yang benar dan umumnya bukan di Indonesia) adalah menampilkan berita-berita unggulan di laman depan.

Nah, biasanya mereka menggunakan teknik slide show dan disertai oleh ilustrasi. Saya butuh menggambar ilustrasi. Pertama-tama saya mengambil inkscape:

$ sudo apt-get install inkscape

Tetapi, saya menemukan bahwa saya tidak bisa memakai inkscape seperti niwat0ri. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari perkakas yang cocok untuk menggambar:

$ apt-cache search draw

Ada banyak perkakas dengan ideologinya sendiri tentang cara menggambar, misalnya tkpaint yang menggambar vektor dengan pengrupan. Selain itu, ada tuxpaint dan gpaint yang seperti mspaint. Tapi, saya membutuhkan sebuah penggambar raster. Sampai akhirnya saya menemukan mypaint. Menurut [APT], mypaint adalah:

Paint program to be used with Wacom tablets This is a pressure sensitive Wacom tablet paint program. It comes with a large brush collection including charcoal and ink to emulate real media, but the highly configurable brush engine allows you to experiment with your own brushes and with not-quite-natural painting.

Menurut [REMPT], mypaint dapat dipakai bersama-sama dengan Krita, sebuah aplikasi penggambar vektor di KDE SC, karena menggunakan format OpenRaster. Wow, vektor + gambar bebas = KEREN! Omong-omong, berikut fasilitas dari MyPaint:

  • Mesin kuas yang bebas dan memiliki algoritma prediksi. Hal ini mengakibatkan dinamika penggambaran seperti aslinya.
  • Penggambaran berlapis memudahkan kita untuk menggambar sketsa pada lapis dasar dan memisahkan antara garis dan tombol.
  • Integrasi dengan kanvas elektronik (tablet paint), membuat kita bisa berekspresi pada media komputer dengan baik.

Seperti eksplorasi Blender saya dahulu (yang sayangnya sudah hilang akibat Geocities sudah tutup), saya membuat contoh hasil dari perkakas ini. Ini semua saya buat di waktu senggang makan siang dengan menggunakan  tetikus. Mungkin kalau dengan kanvas elektronik bisa lebih ekspresif lagi. Maaf pakai bahasa Inggris.

Dreaming Girl

Dreaming Girl

A picture of an open interpretation. Is it a girl dreaming or a dream of a girl? I love ambiguity.

Just To Make Unhappy Face

Just to make unhappy face

The semantic of science according to a child born in these age of insanity.

Just To Make An Instant Noodle

Factory for Instant Thing

For every convenient thing on your house, there are inconvenient truth about it: underpaid labors, wretched environment, and that funky smoke that will haunt generations to come. Here’s for your instant noodle BEER.

The Most Terrifying

The Most Terrifying

The most terrifying in the history of mankind.

Referensi:

[APT] Jalankan  “apt-cache show mypaint” pada Ubuntu 10.04

[REMPT] Boudewijn Rempt. MyPaint. http://www.valdyas.org/fading/index.cgi/2009/10/01 (diakses 20 Mei 2010)

Getting Back Audioscrobbler (Last.FM) on Audacious 2.3

Getting Back Audioscrobbler (Last.FM) on Audacious 2.3

Audacious is the most XMMS-like player. Meaning, it supports what XMMS 10+ years ago capable of: visualization and sound enhancements. Those are what modern GNU/Linux music player lack of.

Unfortunately, Audacious 2.3 dropped support for Last.FM and in these few days I have none scrobbled to my account. From digging the site, I have found the solution, which require to compile [LFM] or just download [UBF]. I prefer to compile. Last, this is not my original work and the original poster (togdon)  is the most credited. This post is for archiving.

Compile method

$ sudo apt-get build-dep  audacious-plugins

$ sudo aptitude install libcurl4-dev

$ wget <a href="http://distfiles.atheme.org/audacious-plugins-2.2.tgz" rel="nofollow">http://distfiles.atheme.org/audacious-plugins-2.2.tgz</a>

$ tar -zxvf audacious-plugins-2.2.tgz

$ cd audacious-plugins-2.2

$ ./configure --enable-dependency-tracking  --disable-esd  --disable-pulse   --disable-coreaudio  --disable-icecast  --disable-dockalbumart   --disable-altivec  --disable-sse2  --disable-mp3  --disable-libmadtest   --disable-rocklight  --disable-lirc  --disable-evdevplug   --disable-hotkey  --disable-gnomeshortcuts  --disable-statusicon   --disable-aosd  --disable-aosd-xcomp  --disable-adplug  --disable-vorbis   --disable-flacng  --disable-libFLACtest  --disable-wavpack   --disable-aac  --disable-sndfile  --disable-modplug  --disable-ffaudio   --disable-jack  --disable-sid  --disable-oss  --disable-oss4   --disable-alsa  --disable-amidiplug  --disable-amidiplug-alsa   --disable-amidiplug-flsyn  --disable-amidiplug-dummy  --disable-cdaudio   --disable-streambrowser  --enable-scrobbler  --enable-lastfm   --disable-neon  --disable-mms  --disable-mtp_up  --disable-bluetooth   --disable-paranormal  --disable-xspf  --disable-xmltest  --disable-cue   --disable-projectm  --disable-projectm-1.0  --disable-filewriter   --disable-filewriter_mp3  --disable-filewriter_vorbis   --disable-filewriter_flac  --disable-bs2b

$ cd src/scrobbler/

$ make

$ sudo make install

$ cd ../lastfm/

$ make

$ sudo make install

Well, it surely stable enough for me.

Not compiling

Just go to [UBF]  and read it. Basically, it suggests to download the binaries.

Reference:

[LFM]  Togdon. http://www.last.fm/group/Audacious/forum/36299/_/618007

[UBF]  http://ubuntuforums.org/showthread.php?p=9255642

Pola Pikir yang Sehat

Pola Pikir yang Sehat

Saya berharap tidak menjadi seorang pelukis tua yang hanya bisa mengritik dan menggerutu. Dari pada saya mencela-cela lemahnya pendidikan saat ini, saya coba menuliskan apa pemikiran saya tentang pendidikan yang benar. Tentu saya bukan seorang psikolog dan ahli pendidikan, tetapi siapa tahu ada orang-orang yang mau mendengarkan dan berbuat lebih baik dari saya. Semoga celoteh ini bisa menginspirasi Anda, atau setidaknya menghibur. Silakan berkomentar, toh, ini artikel dari seorang pengamat amatir dan jangan takut salah, saya tidak akan menggigit. Sudah disuntik Rabies, kok. 😀

Oh, iya, terbalik dengan kebiasaan menulis blog saya yang terdahulu, kali ini saya mencoba belajar Bahasa Indonesia. Mohon diperiksa apakah ejaan saya sudah benar.

Jawaban yang Benar

Kesalahan pendidikan kita adalah terlalu mengindoktrinasi kebenaran absolut kepada anak. Hal ini sebenarnya karena kita berkiblat semula kepada sistem pendidikan lama yang menempatkan guru sebagai sumber ilmu. Guru ditempatkan pada posisi yang di atas. Seperti sebuah peribahasa “nilai 10 milik Tuhan, nilai 9 milik guru” yang seakan mendefinisikan guru sebagai tempat segala-galanya. Walau pun dengan perubahan kiblat kepada pendidikan moderen,dogma ini tidak terhapus juga.

Apakah bahaya dari dogma ini?

Pertama, hal ini mengintimidasi baik guru mau pun siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang tidak benar. Sering kali, sang siswa kehilangan kemauan belajar karena guru yang salah dalam menjawab. Jawaban guru itu berupa bentakan atau pun meredam pertanyaan tersebut. Bahkan, alih-alih malah diacuhkan dengan tidak dijawab sama sekali. Anak Indonesia dipaksa untuk tidak berpikir kritis yang positif dan out of the box.

Kedua, terciptanya keregangan antara murid dan guru menyebabkan transfer keilmuan berjalan negatif. Padahal, anak-anak memiliki waktu paling banyak di sekolah. Bahkan, sudah ada fenomena lebih banyak waktu bersama guru di kelas dibandingkan orang tua di rumah. Hilangnya rasa percaya kepada orang dewasa mengakibatkan dunia mereka lebih rentan kepada penyalahgunaan hidup kepada hal-hal yang menyimpang.

Ketiga, setiap siswa tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan pendapat. Setiap siswa tidak berani menyatakan pendapatnya karena takut berlawanan dengan arus utama (mainstream). Hal ini berakibat kepada siswa yang tidak berani berinovasi dan takut gagal.

Padahal,

Tidak ada satu pun kebenaran yang absolut, hanya ada kebenaran yang dapat diterima.

1 + 1 = 2 adalah sebuah kebenaran yang ditentukan dengan mendefinisikan secara universal operasi matematika “+” pada himpunan bilangan. Saya bisa saja membuat sebuah himpunan bilangan sendiri dengan mendefinisikan operator “+” pada angka 1 menghasilkan A. Bagaimana Anda menerimanya, tergantung seberapa populer saya mendefinisikannya. Seandainya saya adalah nabi dan Anda pengikut saya, tentunya Anda pasti menerimanya sebagai kebenaran.

Di dunia industri ini terjadi pula. Antara CD+ vs. CD-, antara HD DVD vs. Blueray, bahkan perang spesifikasi Bluetooth. Yang menang adalah yang populer. Walaupun Richard M. Stallman dan FSF sang pencipta pondasi dari sistem GNU/Linux menamai sistem operasi tersebut GNU/Linux dan diikuti bahkan oleh Ubuntu sekali pun, tetapi karena kepopuleran nama sistem operasi tersebut menjadi Linux.

Hal tersebut juga terjadi di dalam dunia akademis. Walau pun Mark Weiser menyebut sebuah lingkungan yang pintar sebagai Ubiquitous Computing, tetapi dalam perkembangannya istilah tersebut berubah menjadi Pervasive Computing dan beberapa entitas komersial merubah namanya menjadi Everywhere Computing.

Menurut saya,

Sudah saatnya guru menjadi teman/rekan bagi siswa. Guru sudah tidak perlu takut lagi apabila ia tidak mengetahui informasi yang diingini oleh siswa. Tentunya, mengatakan tidak tahu dengan elegan harus dipelajari. Dari pada berkata “[saya] tidak tahu”, lebih baik berkata “[saya] tidak tahu, tapi mari kita cari bersama” atau seandainya tahu sedikit. “[saya] kurang menguasai, tetapi silakan cari dengan topik X, Y, dan Z”. Lalu tunjukkan bahwa guru juga mau belajar.

Berbeda pendapat itu perlu. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana siswa dapat mengutarakannya secara logis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Intinya, bagaimana seorang siswa dapat mempresentasikan idenya dengan baik dan bagaimana ia dapat menerima pendapat orang dengan baik walau pun tidak diterima dengan murni.

Fokus Anak Panah

Cuma satu istilah yang bisa menggambarkan bagaimana anak Indonesia dibentuk:

Jack of all trades, master of none

Saya menyadari di studi saya sekarang, bahwa untuk beberapa hal saya sudah terlambat untuk fokus. Seandainya dahulu saya diarahkan untuk melakukan sesuatu, atau diberi stimulus untuk tetap fokus, saya pasti bisa lebih baik. Mengapa kita hanya punya IPS dan IPA? Bahkan, dulu sempat muncul stigma bahwa IPA lebih superior dari IPS.

Padahal,

Saat ini ilmu terapan tidak seratus persen IPA atau IPS. Sebagai contoh, dalam dunia pervasif, HCI, dan sejenisnya, terdapat studi sosial yang dikaitkan dengan pengembangan teknologi. Sebuah lab riset yang terdiri dari berbagai cabang ilmu pengetahuan (sosial dan teknik) adalah hal yang umum di luar sana. Tetapi, saya belum menemukannya di Indonesia. Apakah saya katak dalam tempurung? Silakan koreksi saya kalau saya salah.

Saya banyak melihat orang-orang yang berpotensi sering kali layu sebelum berkembang. Hanya karena talenta yang dia miliki tidak dipelajari di sekolah, ia menjadi golongan orang-orang “bodoh”. Karena kecenderungan sekarang yang mengejar nilai rapor semata dibandingkan ilmu, kebiasaan mencontek menjadi kebiasaan yang lazim.

Jangan salah! Saya tidak melarang mencontek, tetapi mencontek yang ada saat ini namanya plagiarisme. Lagi pula, tujuan dari ujian di sekolah hendak memacu pemikiran siswa bukan untuk mengkungkungnya. Dengan mencontek seorang siswa tidak lagi mengandalkan kemampuannya sendiri.

Menurut saya,

Sudah saatnya cabang-cabang ilmu mendapatkan penghargaan yang sama. Stigma yang terlanjur melekat di masyarakat sudah harus dikikis dengan membekali sekolah dengan penjelasan yang benar. Sudah saatnya nilai rapor dievaluasi dan kelas-kelas penjurusan diberlakukan.  Pentingnya pengenalan siswa semenjak dini kepada berbagai pekerjaan (halal) yang ada di dunia ini. Selain itu, fungsi guru BP seharusnya sudah sejak kecil (SD) diadakan untuk mengarahkan siswa sejak dini.

Untuk membuat kelas khusus mungkin amat sulit karena membutuhkan perubahan silabus secara nasional, termasuk menyediakan mata ajar yang sesuai serta menyediakan pelatihan kompentensi guru. Tetapi untuk pengenalan profesi yang ada, hanya perlu mengundang profesional ke sekolah untuk bercerita mengenai pekerjaannya. Hal ini tentunya tidak sulit. Toh, dari antara orang tua siswa pasti ada pekerjaan-pekerjaan yang berbeda yang bisa diceritakan.

Pendidikan Milik Kita Bersama

Terus terang, hal yang mengangkat rasa ingin tahu saya adalah film MacGyver. Terbalik dengan itu, saat saya melihat acara-acara TVE, saya merinding. Pembahasannya kaku dan tidak ada rasa bersahabat. Selain itu, jam tayang saat sedang sekolah, membuat siswa tidak bisa menonton acara tersebut. Hanya pada saat liburan dan sesekali saat guru rapat di sekolah mungkin siswa bisa (kebetulan) ganti saluran dan menonton secara sekilas. (Biasanya liburan ada film kartun dan film keluarga yang lebih menarik)

[Terus terang, saya salut dengan TVE karena secara konsisten terus menerus membuat acara pendidikan. TPI juga terakhir kali saya lihat masih menayangkan acara tersebut.]

Selain itu, ketika saya pertama kali masuk kuliah, saya diperhadapkan pada kenyataan pahit: saya bukan orang yang paling tahu. Barisan anak bangsa yang duduk di depan dengan percaya diri mengangguk-angguk, sedangkan kami orang-orang terpencil di barisan tengah ke belakang hanya bisa geleng-geleng dalam hati dan tidak percaya diri untuk bertanya. Mereka memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan kami, tapi hal itu tidak pernah diajarkan di sekolah. Beberapa terminologi asing yang kami tidak pernah dengar, berbagai bahasa dewa, membuat kami hanya tersimpuh….

Menurut saya,

Saya sering melihat selintas di TV dan koran mengenai guru-guru yang berhasil membuat alat praktikum sederhana. Seandainya ada dari kalangan media yang menyediakan (mendonasikan) 30 menit dari waktu siarannya di TV Swasta untuk membagikan cara penggunaan praktikum tersebut. Tentunya acara tersebut akan merangsang pemerataan pendidikan ke daerah-daerah.

Lagipula, membayar guru-guru untuk menyumbangkan ilmunya tentunya tidak semahal membayar artis sekaliber Matias Muchus atau Sandy Nayoan. Seandainya ada orang-orang yang mau secara profesional mendonasikan waktunya untuk membuat acara pendidikan yang menarik dan memacu siswa untuk belajar. Adakah CSR dari perusahaan media yang mau melakukannya? Adakah korporasi yang mendanai siaran tersebut dengan CSR-nya?

Saya melihat TVOne menghadirkan siaran Animal Planet pada jam utama. Hal ini menunjukkan bahwa animo bangsa Indonesia pada acara-acara pendidikan yang menarik sungguh besar.

Hmm…

Masih banyak ide, tetapi sudah panjang begini. Saya akhiri saja, takut ada yang terintimidasi membacanya.

Creating DKIM on Debian 5.0

Creating DKIM on Debian 5.0

DKIM is a technique based on Yahoo!’s DomainKey. Some may say that it look alike SPF (Sender Policy Framework), but the two is different. DKIM is authenticating the email sent by checking the signature againts the domain’s public key. On the contrary, SPF check the MTA (mail server) that sends the email againsts the domain’s list of MTA. For the simplicity, let’s say that the sending domain is UI and the receiving domain is GMail, so DKIM works like this:

  1. User foo send an email
  2. The UI mailserver signed the email and send it to GMail mailserver
  3. GMail then querying the DNS and search for the public key for the sending domain.
  4. After that, GMail checks signature and the data.
  5. If it is alright, then GMail deliver the message to the recipient’s mailbox.

DKIM uses two encyption algorithms: RSA-1 (or just RSA) or RSA256. Those are public and private key pair authentication. The magic is what get encrypted by the private key can only be decrypted by public key and vice versa. But, you can’t decrypt using the same key that used to encrypt the data.

This mechanism is differ from SPF. For mailserver that implements SPF, it would just ask the DNS about a list of legal mailserver that have the right to send email originating from that particular domain.

Let’s us set Postfix to use DKIM. I assume that the mailserver is already functional and running.

There are two applications in Debian repository that serve the same purpose. The first is DKIM-Proxy which is a stand alone service that get injected and then inject back. It would run two processes which one would handle incoming traffic (verifying the email) and the later would do the signing. Both have their own socket to communicate with the mailserver.

The second is DKIM-Milter (or dkim-filter as Debian named it). It uses Sendmail‘s Milter protocol. So, it would run just like a plugin in Postfix. From my experimentation, I choose this because of the convinience for me. But, who knows you would choose the other.

Now, let’s install DKIM-Milter:

# apt-get install dkim-filter

The installation includes dkim-genkey tool to generate configurations including the DNS setting. Use the tool to generate DNS entry and private key:

# dkim-genkey -d ui.ac.id -s mail

The parameter:

  • -d ui.ac.id means we would like to sign mails from ui.ac.id
  • -s mail sets the selector’s name is “mail“. Selector is an entry in DNS that holds public key that will be used by other mail servers to verify the signature signed by origin mail server. Well, I decide not to define this further to simplify things. You could google it.

The command will generate two files: mail.txt which contains DNS entry and mail.private which is the private key that would be used to sign the letter. Here’s the example of mail.txt:

mail._domainkey IN TXT "v=DKIM1; g=*; k=rsa; p=MIGfMA0GCS...AB" ; ----- DKIM mail for ui.ac.id

The public key entry is being cut to save space pertaining aesthetic aspect in this blog post. I would put the private key into /etc/dkim directory. The directory is non-existence, so we have to create it first.


 

# mkdir /etc/dkim
# mv mail.private /etc/dkim

Now, the DNS part. I would refined the entry to add “t=y” and remove the comments. I’m also appending our domain after _domainkey (watch for the dot after “id”). So, it would be just like this:

mail._domainkey.ui.ac.id. IN TXT "v=DKIM1; g=*; t=y; k=rsa; p=MIGfMA0GCS...AB"

And put that in your DNS database and reload it.

Default installation do not run the DKIM-Milter. We need to set the DKIM-Milter in order to run. First, edit /etc/dkim-filter.conf file. Here’s the relevant things that I’ve change to suite my need: (just find the line)

Domain      ui.ac.id 
KeyFile     /etc/dkim/mail.private
Selector    mail
Mode        sv
Amazing thing about Debian is it has a great documentation style, so you can read the comments on the configuration file for further information. To have a functional DKIM-Milter, edit /etc/default/dkim-filter file to set where it should listen/respond to. To simplify things, I choose to have network socket than the UNIX socket. Unix socket slightly better in performance, but it must be set so that the chrooted Postfix and the DKIM-Milter service can both read and write it. I uncomment this:
SOCKET="inet:12345@localhost" # listen on loopback on port 12345
Last piece that should be configured is the Postfix configuration to use the DKIM-Milter. Edit /etc/postfix/main.cf file and add these lines:

 

smtpd_milters = inet:localhost:12345
non_smtpd_milters = inet:localhost:12345
Lastly, restart Postfix and DKIM-Milter service:
# invoke-rc.d dkim-filter restart
# invoke-rc.d postfix restart

We are using the friendly GMail for testing. Here’s what we do in one of our testing subdomain before we set the DKIM: Before DKIM

After we set the DKIM:
After DKIM

Now GMail knows our test subdomain. To check if our verification also works, we send the a mail from GMail to our test domain and would have these on the header:

Authentication-Results: groups.ui.ac.id; dkim=pass (1024-bit key)
header.i=@gmail.com; dkim-asp=none

There are things that I’m not covering, like the multiple selector and using 3rd party like Verisign to accomplish that, handling subdomains, using both DKIM and DomainKey, setup UNIX socket, etc. Don’t worry, for a single domain, the tutorial may run well.

Reference: Coker, Russel. 2008. Installing DKIM and Postfix in Debian. http://etbe.coker.com.au/2008/09/18/installing-dkim-postfix-debian/ Postfix. 2009. Postfix before-queue Milter support. http://www.postfix.org/MILTER_README.html Sendmail Consortium, The. 2009. http://www.sendmail.org/dkim