Saya berharap tidak menjadi seorang pelukis tua yang hanya bisa mengritik dan menggerutu. Dari pada saya mencela-cela lemahnya pendidikan saat ini, saya coba menuliskan apa pemikiran saya tentang pendidikan yang benar. Tentu saya bukan seorang psikolog dan ahli pendidikan, tetapi siapa tahu ada orang-orang yang mau mendengarkan dan berbuat lebih baik dari saya. Semoga celoteh ini bisa menginspirasi Anda, atau setidaknya menghibur. Silakan berkomentar, toh, ini artikel dari seorang pengamat amatir dan jangan takut salah, saya tidak akan menggigit. Sudah disuntik Rabies, kok. 😀
Oh, iya, terbalik dengan kebiasaan menulis blog saya yang terdahulu, kali ini saya mencoba belajar Bahasa Indonesia. Mohon diperiksa apakah ejaan saya sudah benar.
Jawaban yang Benar
Kesalahan pendidikan kita adalah terlalu mengindoktrinasi kebenaran absolut kepada anak. Hal ini sebenarnya karena kita berkiblat semula kepada sistem pendidikan lama yang menempatkan guru sebagai sumber ilmu. Guru ditempatkan pada posisi yang di atas. Seperti sebuah peribahasa “nilai 10 milik Tuhan, nilai 9 milik guru” yang seakan mendefinisikan guru sebagai tempat segala-galanya. Walau pun dengan perubahan kiblat kepada pendidikan moderen,dogma ini tidak terhapus juga.
Apakah bahaya dari dogma ini?
Pertama, hal ini mengintimidasi baik guru mau pun siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang tidak benar. Sering kali, sang siswa kehilangan kemauan belajar karena guru yang salah dalam menjawab. Jawaban guru itu berupa bentakan atau pun meredam pertanyaan tersebut. Bahkan, alih-alih malah diacuhkan dengan tidak dijawab sama sekali. Anak Indonesia dipaksa untuk tidak berpikir kritis yang positif dan out of the box.
Kedua, terciptanya keregangan antara murid dan guru menyebabkan transfer keilmuan berjalan negatif. Padahal, anak-anak memiliki waktu paling banyak di sekolah. Bahkan, sudah ada fenomena lebih banyak waktu bersama guru di kelas dibandingkan orang tua di rumah. Hilangnya rasa percaya kepada orang dewasa mengakibatkan dunia mereka lebih rentan kepada penyalahgunaan hidup kepada hal-hal yang menyimpang.
Ketiga, setiap siswa tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan pendapat. Setiap siswa tidak berani menyatakan pendapatnya karena takut berlawanan dengan arus utama (mainstream). Hal ini berakibat kepada siswa yang tidak berani berinovasi dan takut gagal.
Padahal,
Tidak ada satu pun kebenaran yang absolut, hanya ada kebenaran yang dapat diterima.
1 + 1 = 2 adalah sebuah kebenaran yang ditentukan dengan mendefinisikan secara universal operasi matematika “+” pada himpunan bilangan. Saya bisa saja membuat sebuah himpunan bilangan sendiri dengan mendefinisikan operator “+” pada angka 1 menghasilkan A. Bagaimana Anda menerimanya, tergantung seberapa populer saya mendefinisikannya. Seandainya saya adalah nabi dan Anda pengikut saya, tentunya Anda pasti menerimanya sebagai kebenaran.
Di dunia industri ini terjadi pula. Antara CD+ vs. CD-, antara HD DVD vs. Blueray, bahkan perang spesifikasi Bluetooth. Yang menang adalah yang populer. Walaupun Richard M. Stallman dan FSF sang pencipta pondasi dari sistem GNU/Linux menamai sistem operasi tersebut GNU/Linux dan diikuti bahkan oleh Ubuntu sekali pun, tetapi karena kepopuleran nama sistem operasi tersebut menjadi Linux.
Hal tersebut juga terjadi di dalam dunia akademis. Walau pun Mark Weiser menyebut sebuah lingkungan yang pintar sebagai Ubiquitous Computing, tetapi dalam perkembangannya istilah tersebut berubah menjadi Pervasive Computing dan beberapa entitas komersial merubah namanya menjadi Everywhere Computing.
Menurut saya,
Sudah saatnya guru menjadi teman/rekan bagi siswa. Guru sudah tidak perlu takut lagi apabila ia tidak mengetahui informasi yang diingini oleh siswa. Tentunya, mengatakan tidak tahu dengan elegan harus dipelajari. Dari pada berkata “[saya] tidak tahu”, lebih baik berkata “[saya] tidak tahu, tapi mari kita cari bersama” atau seandainya tahu sedikit. “[saya] kurang menguasai, tetapi silakan cari dengan topik X, Y, dan Z”. Lalu tunjukkan bahwa guru juga mau belajar.
Berbeda pendapat itu perlu. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana siswa dapat mengutarakannya secara logis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Intinya, bagaimana seorang siswa dapat mempresentasikan idenya dengan baik dan bagaimana ia dapat menerima pendapat orang dengan baik walau pun tidak diterima dengan murni.
Fokus Anak Panah
Cuma satu istilah yang bisa menggambarkan bagaimana anak Indonesia dibentuk:
“Jack of all trades, master of none“
Saya menyadari di studi saya sekarang, bahwa untuk beberapa hal saya sudah terlambat untuk fokus. Seandainya dahulu saya diarahkan untuk melakukan sesuatu, atau diberi stimulus untuk tetap fokus, saya pasti bisa lebih baik. Mengapa kita hanya punya IPS dan IPA? Bahkan, dulu sempat muncul stigma bahwa IPA lebih superior dari IPS.
Padahal,
Saat ini ilmu terapan tidak seratus persen IPA atau IPS. Sebagai contoh, dalam dunia pervasif, HCI, dan sejenisnya, terdapat studi sosial yang dikaitkan dengan pengembangan teknologi. Sebuah lab riset yang terdiri dari berbagai cabang ilmu pengetahuan (sosial dan teknik) adalah hal yang umum di luar sana. Tetapi, saya belum menemukannya di Indonesia. Apakah saya katak dalam tempurung? Silakan koreksi saya kalau saya salah.
Saya banyak melihat orang-orang yang berpotensi sering kali layu sebelum berkembang. Hanya karena talenta yang dia miliki tidak dipelajari di sekolah, ia menjadi golongan orang-orang “bodoh”. Karena kecenderungan sekarang yang mengejar nilai rapor semata dibandingkan ilmu, kebiasaan mencontek menjadi kebiasaan yang lazim.
Jangan salah! Saya tidak melarang mencontek, tetapi mencontek yang ada saat ini namanya plagiarisme. Lagi pula, tujuan dari ujian di sekolah hendak memacu pemikiran siswa bukan untuk mengkungkungnya. Dengan mencontek seorang siswa tidak lagi mengandalkan kemampuannya sendiri.
Menurut saya,
Sudah saatnya cabang-cabang ilmu mendapatkan penghargaan yang sama. Stigma yang terlanjur melekat di masyarakat sudah harus dikikis dengan membekali sekolah dengan penjelasan yang benar. Sudah saatnya nilai rapor dievaluasi dan kelas-kelas penjurusan diberlakukan. Pentingnya pengenalan siswa semenjak dini kepada berbagai pekerjaan (halal) yang ada di dunia ini. Selain itu, fungsi guru BP seharusnya sudah sejak kecil (SD) diadakan untuk mengarahkan siswa sejak dini.
Untuk membuat kelas khusus mungkin amat sulit karena membutuhkan perubahan silabus secara nasional, termasuk menyediakan mata ajar yang sesuai serta menyediakan pelatihan kompentensi guru. Tetapi untuk pengenalan profesi yang ada, hanya perlu mengundang profesional ke sekolah untuk bercerita mengenai pekerjaannya. Hal ini tentunya tidak sulit. Toh, dari antara orang tua siswa pasti ada pekerjaan-pekerjaan yang berbeda yang bisa diceritakan.
Pendidikan Milik Kita Bersama
Terus terang, hal yang mengangkat rasa ingin tahu saya adalah film MacGyver. Terbalik dengan itu, saat saya melihat acara-acara TVE, saya merinding. Pembahasannya kaku dan tidak ada rasa bersahabat. Selain itu, jam tayang saat sedang sekolah, membuat siswa tidak bisa menonton acara tersebut. Hanya pada saat liburan dan sesekali saat guru rapat di sekolah mungkin siswa bisa (kebetulan) ganti saluran dan menonton secara sekilas. (Biasanya liburan ada film kartun dan film keluarga yang lebih menarik)
[Terus terang, saya salut dengan TVE karena secara konsisten terus menerus membuat acara pendidikan. TPI juga terakhir kali saya lihat masih menayangkan acara tersebut.]
Selain itu, ketika saya pertama kali masuk kuliah, saya diperhadapkan pada kenyataan pahit: saya bukan orang yang paling tahu. Barisan anak bangsa yang duduk di depan dengan percaya diri mengangguk-angguk, sedangkan kami orang-orang terpencil di barisan tengah ke belakang hanya bisa geleng-geleng dalam hati dan tidak percaya diri untuk bertanya. Mereka memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan kami, tapi hal itu tidak pernah diajarkan di sekolah. Beberapa terminologi asing yang kami tidak pernah dengar, berbagai bahasa dewa, membuat kami hanya tersimpuh….
Menurut saya,
Saya sering melihat selintas di TV dan koran mengenai guru-guru yang berhasil membuat alat praktikum sederhana. Seandainya ada dari kalangan media yang menyediakan (mendonasikan) 30 menit dari waktu siarannya di TV Swasta untuk membagikan cara penggunaan praktikum tersebut. Tentunya acara tersebut akan merangsang pemerataan pendidikan ke daerah-daerah.
Lagipula, membayar guru-guru untuk menyumbangkan ilmunya tentunya tidak semahal membayar artis sekaliber Matias Muchus atau Sandy Nayoan. Seandainya ada orang-orang yang mau secara profesional mendonasikan waktunya untuk membuat acara pendidikan yang menarik dan memacu siswa untuk belajar. Adakah CSR dari perusahaan media yang mau melakukannya? Adakah korporasi yang mendanai siaran tersebut dengan CSR-nya?
Saya melihat TVOne menghadirkan siaran Animal Planet pada jam utama. Hal ini menunjukkan bahwa animo bangsa Indonesia pada acara-acara pendidikan yang menarik sungguh besar.
Hmm…
Masih banyak ide, tetapi sudah panjang begini. Saya akhiri saja, takut ada yang terintimidasi membacanya.