Leta dan Arifin

Leta adalah seorang gadis yang ramah dan menyenangkan yang secara kebetulan saya temukan sewaktu saya di Berkeley. Leta adalah anak tunggal dari pasangan arsitek yang bertempat tinggal di Bandung. Ia sedang kuliah S1 di UC Berkeley. Leta adalah pacar Greg, anak Tomang, yang baru lulus dari UC Irvine. Ketika di Irvine, ia tetangga adik saya. Setelah lulus, Greg pindah ke Berkeley sembari mencari pekerjaan. Kebetulan Greg ingin bertemu dengan adik saya yang sedang berkunjung ke Berkeley. Dibawanyalah Leta.

Di Berkeley, Leta mengambil major Cognitive Science dengan minor Data Science. Ketika Leta ditanya kuliah apa, dia sampai harus menyebutnya dua kali. Kami tidak pernah mendengar program Cognitive Science. Jadi Leta harus menjelaskan apa itu Cognitive Science dan kami terkagum-kagum.

Berdasarkan website-nya, program ini mempelajari cara berpikir manusia. Saya coba pelajari dari websitenya, jurusan ini mencakup disiplin ilmu antropologi, biologi, komputer pendidikan, linguistik, filsafat, dan psikologi. Ilmu yang dipelajari Leta ini, tidak hanya bermanfaat untuk perusahaan misalnya ddalam memahami cara berpikir dan pengembilan keputusan dari konsumennya, namun juga relevan dan sangat dibutuhkan oleh perusahaan dengan model bisnis yang mengandalkan interaksi melalui media digital. Seperti Facebook ini.

Awalnya saya sempat terpukau dengan UC Berkeley yang kepikiran bikin program seperti ini. Tapi ternyata saya kurang update. Banyak perguruan tinggi lain di Amerika dan dunia yang menawarkannya. Sepertinya program ini sedang banyak diminati. Sayangnya di Indonesia belum ada. Padahal ini mungkin jawaban dari perguruan tinggi ketika Presiden Jokowi meminta untuk membuka fakultas media sosial 5 tahun yang lalu. Sayang permintaan itu tidak ditanggapi. Mohon maaf Pak, dosen-dosen di Indonesia terlalu sibuk dengan BKD (singkatan dari Beban Kerja Dosen yang intinya membebani dosen dengan kegiatan macam-macam).

Lalu saya juga bertemu dengan Arifin. Ia sedang kuliah S3 di School of Material UC Berkeley. Sebelumnya, ia mengambil S1 dan S2 di bidang teknik fisika ITB. Ia mendapatkan beasiswa dari Universitas. Di Amerika, terutama untuk bidang-bidang STEM (Science, Technology, Engineering & Math), kuliah S3 tidak perlu bayar. Bahkan dibayarin. Karena banyak tersedia beasiswa dari Universitas. Ada yang bentuknya uang kuliah dan biaya hidup. Adapula yang hanya uang kuliah. Biaya hidupnya diperoleh dengan bekerja pada dosen pembimbingnya. Baik terlibat pada proyek, maupun bekerja di lab. Jadi, sistem belajar S3 di sana mirip dengan magang.

Untuk dapat diterima, Arifin harus menjalani dua proses seleksi. Pertama, ia harus mendaftar di Universitasnya, dengan standar-standar biasa, seperti GRE, TOEFL, dll. Setelah diterima, ia harus mencari calon dosen yang akan membimbingnya. Ia harus menghubungi dosen tersebut untuk melamar sebagai asisten riset. Kebetulan berjodoh, maka Ia bisa kuliah di situ. Jika tidak ada dosen yang berkenan, maka Ia harus mencari sekolah lain. Biasanya mahasiswa yang diterima di tingkat universitas, diberi batas waktu untuk mendapatkan dosen pembimbingnya.

Sekarang ini, program S3 dapat diikuti langsung oleh lulusan S1. Salah seorang yang menjalaninya adalah anaknya mbak Nung, salah seorang teman dosen. Anaknya lulusan STEI ITB. Awalnya, Ia bersama banyak mahasiswa lainnya mengikuti program Garuda ACE, kalau tidak salah, yang diselenggarakan oleh University of Chicago. Di program tersebut Ia dipersiapkan untuk kuliah S3. Program ini berat, di mana separuh pesertanya gagal. Setelah menyelesaikan program ini, pesertanya direkomendasikan untuk kuliah di universitas tertentu di mana terdapat dosen pembimbing yang sesuai. Anaknya mbak Nung diterima di University of Illinois Urbana-Champaign.

Jadi berbeda dengan di sini, universitas-universitas di Amerika mendukung penelitian dosennya dengan menyediakan pendanaan jangka panjang. Pendanaannya sebetulnya berasal dari industri, yang mungkin mendanai di awal proyek sebagai bagian dari outsourcing kegiatan R&D-nya. Atau membeli hasil penelitiannya. Karena itu, bisa dibayangkan proses untuk mendapatkan dananya juga tidak mudah. Mungkin mirip-mirip dengan proposal startup. Mungkin ada juga riset-riset yang dibiayai oleh dana abadi universitas untuk tujuan mendapatkan hadiah nobel ataupun riset-riset rintisan.

Namun pesan moral yang ingin di sampaikan adalah tujuan penelitian adalah memberikan manfaat nyata bagi industri. Tidak sekedar publikasi jurnal scopus. Pesan moral lainnya adalah mahasiswa di sana dibayar, bukan membayar uang kuliah, untuk publikasi.

Oh iya, ada satu lagi orang yang ingin saya ceritakan. Namanya Akmal. Ia dulu mahasiswa saya di Program PPAk (Pendidiikan Profesi Akuntansi). Ia lulusan Universitas Sriwijaya. Saya bertemu dengan Akmal di Kongres IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) kemarin ini. Ternyata Akmal sudah bersiap-siap untuk kuliah MBA di IMD Swiss. Ini sekolah bukan sekolah main-main. Termasuk top dunia dan sudah mendapatkan triple crowns. Akmal tidak sekedar lolos bisa kuliah di situ, tapi juga mendapatkan beasiswa dari sekolah tersebut yang khusus diberikan kepada mahasiswa asal Asia.

Saya tentunya senang sekali dengan pencapaian Akmal. Ia bisa kuliah S2 di Luar Negeri, sekolah top dunia, dengan beasiswa. Dan yang juga penting adalah Akmal bebas dari kewajiban publikasi, seperti nasib buruk yang dialami oleh teman-temannya yang kuliah di Indonesia. Jangankan publikasi, bikin tesispun mungkin tidak perlu ia lakukan. Dan apakah tanpa publikasi di jurnal scopus Q1, Akmal akan lebih sulit mencari kerja? Dan kalaupun dapat, gajinya lebih kecil?

Karena itu, kalau saya boleh menyarankan untuk generasi muda harapan masa depan bangsa yang ingin melanjutkan kuliahnya, kuliahlah di luar negeri. Selain pilihan programnya yang lebih beragam dan bisa menikmati atmosfir akademik yang berbeda (baca: lebih baik), tinggal di luar negeri juga merupakan pengalaman berharga kan.

Leave a Reply