Seorang teman sedang dirundung duka. Wajahnya kusut masai, kelopak mata cekung, kantung mata menggelambir bak jantung pisang, dan….rambutnya, persis rambut emak-emak habis ’disasak’ (dikonde) dan belum sempat sisiran setelah sasaknya dibongkar!
(O ya, emak-emak yang suka kondean atau ’sasakan’ sesungguhnya orang-orang yang rela berkorban demi penampilan, karena waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan rambut ke bentuk semula jauh lebih lama daripada waktu yang terpakai ketika sasakan atau kodean. Itu belum dihitung rasa sakitnya…iiiihhhhh…).
Kembali ke teman itu, apa pasal sih? Ibu muda berwajah manis ini tiba-tiba menjelma menjadi perempuan tak keru-keruan?
”Tampangmu itu….ouw… jelek banget…!” ujarku sembari nyengir.
”Kak, please dong…. jangan ngeledek terus. Aku lagi sengsara betul nih.”
”Kalau sengsara membawa nikmat, why not?” aku masih terus bercanda. Sebetulnya aku sedang berusaha mengembalikannya ke habitat aslinya: seorang ibu muda yang happy dan ceria… teman serasi ber haha hihi…kadang-kadang juga ber huhu….
”Bukan, Kak! Ini gak ada nikmatnya sama sekali.”
”Wow! Nampaknya ini serius. Tentang suamimu? Kenapa? Dia main judi? Minum? Atau…main hati? Tell me….!”
”Bukan, Kak! Ini tentang pembokat! Aku stress banget, Kak! Dalam 3 bulan ini udah 4 pembokat, gak ada yang betah. Ganti-ganti terus, gak ada yang cocok. Gak ada yang beres. Sekarang, di rumah gak ada pembokat sama sekali. Padahal aku harus kerja, suamiku harus kerja. Siapa yang jaga anak-anak?”
Ibu muda ini punya dua anak balita, umur 4 dan 1 tahun. Kebayang dong, bagaimana nestapanya hidupnya saat itu?
”Lalu, rencanamu apa? Aku kan bukan penyalur pembantu. Kalau kamu minta advis kemana harus cari pembantu, aku gak punya rekomendasi. Paling-paling aku rujuk ke penyalur, dan kamu sudah bolak-balik kayak setrikaan ngambil pembokat dari situ kan…”
”Itu dia, Kak. Suamiku bilang, aku perlu konsultasi dengan Kakak bagaimana cara membuat pembokat betah di rumah. Pembokat di rumah Kakak kan jarang yang bermasalah, paling keluar karena alasan menikah, dst. Kakak kasih apa? Gaji gede? Atau, apa Kak?”
Aku tertawa….
”Mau dengar jawaban jujur?“
“Of course, Kak! Please….”
“Pembantu di rumah saya tidak pernah bermasalah dan selalu betah, karena saya menempatkan mereka pada posisinya sebagai ‘pembantu’.”
“Please Kak, aku sedang tidak mood membahas bahasa ala sastrawan. To the point aja deh…”
”Belum jelas? Dengar. Bagi saya, pembantu adalah pembantu. Tugas mereka hanya untuk bantu-bantu, bukan mengerjakan segala sesuatunya. Ketika saya ada di rumah, semua pekerjaan menjadi tanggungjawab saya, apalagi menyangkut anak.”
”Yaaa….itu yang susah, Kak. Pulang dari kantor juga udah capek, mana mungkin bisa ambil alih pekerjaan lagi di rumah. Buat apa dong saya gaji pembantu kalau toh saya juga yang harus mengerjakan pekerjaan di rumah.”
”Kalau begitu, jangan minta pendapat saya. Bersiaplah menerima resiko gonta-ganti pasangan, eh, pembokat…..-)”
———————————–
Tiga bulan setelah itu, ibu muda itu masih berkutat dengan penderitaan yang sama, walau kadarnya menurun jauh. Dia memutuskan menggaji 2 orang pembantu, 1 orang khusus untuk urusan anak-anak, 1 orang lagi khusus untuk urusan pekerjaan dapur. Dia bilang, sebetulnya sekarang ini dia lebih rileks karena hampir semua urusan domestiknya ditangani ke 2 perempuan yang digajinya itu.
”Tapi, tetap aja sih Kak ada masalah. Tau sendiri kan, pekerjaan pembokat sekarang suka asal-asalan. Pakaian yang dicuci tidak sempurna bersih. Hasil setrikaannya hancur. Nyapu rumah, cuma bagian yang keliatan aja, yang di kolong-kolong mana pernah disentuh. Debu nempel dimana-mana… ugh…!”
”Kamu sendiri, ngapain? Cuma menyusui anakmu? Kenapa gak kamu titipkan saja (’maaf’) payudaramu itu ke pembokat kalau kamu ke luar rumah, biar sekalian kamu bebas…” ujarku.
”Ih, please Kak. Jangan memojokkan aku terus dong. Hayo ah, kita ngupi aja!”
Kami ngopi dan mulai ngobrol macam-macam. Tapiii….topiknya tetap aja ke soal pembokat tadi. Aku sudah menduga, teman ini gak mungkin bisa beralih topik, karena sesungguhnya benaknya sedang dipenuhi persoalan pembokat tadi.
”Kalau dipikir-pikir, dengan menggaji 2 orang pembantu dan menghitung berapa pengeluaran untuk mereka di rumah, lalu bandingkan dengan penghasilanmu sebulan plus biaya kehilangan waktu bersama anak-anakmu, impas gak sih? Atau malah nombok?”
”Jelas nombok banget, Kak. Itulah yang dibilang suamiku. Disuruhnya aku berhenti bekerja, mengurus anak-anak saja. Mana mau aku? Berpuluh tahun sekolah, bersusah-susah cari kerja, masak harus berhenti begitu saja? Biar gajinya gak seberapa, tapi kan aku juga perlu status sebagai karyawan Kak. Aku perlu eksis di dunia kerja, bukan semata-mata butuh uangnya…”
”Fine. Soal eksistensi itu aku setuju. Tapi tuntutanmu akan kinerja pembokatmu itu yang aku gak setuju. Kamu lupa, para pembantu itu juga sebetulnya memiliki keluhan yang sama akan majikannya. Mereka tidak pernah dilatih kan untuk pekerjaan-pekerjaan rumah? Mereka berangkat dari desa hanya dengan satu tujuan: cari uang! Jarang mereka berpikir bahwa untuk mendapatkan uang itu, mereka perlu ketrampilan. Kita, para pengguna tenaga mereka pun suka lupa bahwa orang-orang ini sesungguhnya perlu dilatih dulu sebelum bekerja di rumah kita. Beberapa lembaga penyalur melakukannya, tapi sebagian besar tidak.”
———————————-
Urusan ’pembantu’ atau ’pembokat’ seringkali menjadi masalah pokok dalam sebuah keluarga. Apalagi bagi keluarga dimana pasutri sama-sama bekerja. Bagi keluarga seperti ini, jasa pembantu sangat diandalkan. Rumah tangga bisa bubar jika si Inem tidak ada. Beberapa waktu yang lalu, di salah satu tayangan yang dipandu Helmi Yahya, ada pasangan yang ingin bercerai hanya karena ditinggal mudik pembantu! Pasangan ini tidak siap dengan pembagian tanggungjawab domestik, sehingga kewalahan ketika si Inem mudik. Persoalannya jadi merembet kemana-mana, padahal intinya cuma soal pembokat mudik. Menyedihkan ya…-(
Persoalan pembantu ini juga kebanyakan melahirkan cerita pilu bagi sebagian besar keluarga. Masih ingat video kebiadaban pembantu terhadap anak majikannya yang beredar di internet 4 bulan lalu? Si pembokat jelek itu, tanpa rasa kasihan sedikit pun menginjak-injak bocah kecil malang itu, menampar, menonjok, dam menjambaknya dengan kesetanan. Saya sempat menggigil menonton video itu….batin saya terguncang hebat membayangkan penderitaan si anak….-(
Beberapa kasus tak kalah mengerikan….anak-anak yang diculik, disiksa, ditelantarkan…-(
Sebaliknya, para pembokat yang menjadi korban kesombongan majikan pun tak terhitung jumlahnya. Tidak hanya korban penyiksaan secara fisik, bahkan perkosaan, sampai pembunuhan. Apalagi kalau sudah berbicara soal TKI atau TKW… wueeh…. gak habis-habisnya. Berapa orang TKI yang pulang dalam peti mati? Berapa orang TKW yang pulang dengan anak-anak hasil perkosaan?
Hubungan majikan dengan pembokat sebetulnya cukup menarik untuk dikaji. Bayangkan, di rumah kita, ada orang lain yang tadinya tidak kita kenal sama sekali, tidak tahu asal usulnya, tidak paham tabiatnya, tapi harus hidup seatap dengan kita dan berbagi tanggungjawab dengan kita dalam hal urusan yang sangat pribadi. Urusan rumah tangga, urusan pribadi kan? Coba pikir, mulai dari cucian (baju-baju sampai pakaian dalam), merapikan kamar tidur, menu masakan, bukankah itu sebetulnya urusan pribadi?
Yaaaa….keadaan memang sering menuntut kita untuk mengabaikan hal-hal itu. Kita harus pura-pura lupa bahwa seharusnya urusan-urusan pribadi itu sejatinya tanggungjawab kita. Kita terpaksa setuju bahwa kamar tidur kitapun kini terbuka untuk si Inem, karena tidak sempat merapikan. Kita jadi masa bodoh ketika bayi mungil kita lebih lelap di pangkuan si Inem daripada di pelukan kita.
Waktu ke tiga anak saya masih balita, saya pernah marah sekali dengan diri saya, kenapa saya harus menggunakan jasa pembantu. Kenapa di kantor saya tidak ada TPA? Kenapa rumah saya tidak dekat dengan rumah Opung anak-anak saya? Di saat itu, para pembokat ini, di mata saya, belagu banget….-(
Pernah saya ditawari tetangga pembantu. Baru datang dari kampung, masih culun banget. Ketika saya tanya-tanya, dia balik mengajukan pertanyaan:
”Ibu pake mesin cuci gak?” Wueh! Ini anak, sales mesin cuci atau apa sih?
”Ibu pulang kantor jam berapa? Suka lembur gak?” Beugh! Macam bos ku aja dia…
Aku gak mau buang-buang waktu dengan pembokat model beginian. Kebetulan, anakku juga ogah dengan dia. Entah kenapa, sampai sekarang ini, ke tiga anakku emoh diasuh oleh pembantu yang tampangnya kurang oke…hahahhahahha…
Sure! Aku gak pernah ngajarin begitu, tapi kalau ketemu si mbak yang kulitnya agak gelap, penampilan tidak bersih dan rapi, bau, anak-anakku gak mau….-))
Sepanjang yang saya ingat, sejauh ini belum pernah punya masalah serius dengan pembantu. Pernah satu kali terpaksa memulangkan seorang pembantu, karena sikapnya yang kasar dan ’maaf’ rada oon…. Keluar masuk kamar mandi cuma pake handuk (sebagai basahan) dan pakai bahasa ’koe’ sama suamiku. Berulang kali saya tegur, gak mempan. Hey, aku aja yang nyonya rumah gak pernah bergaya begituan dah…-)
Beberapa pembokat yang pernah bekerja di rumah masih terus menjalin hubungan baik. Setiap lebaran mereka masih mengantar makanan khas lebaran ke rumah. Kadang-kadang masih mampir ke rumah membawa anaknya. Sekali-sekali menelepon cuma menanyakan kabar anak-anak. Sebetulnya tidak perlu hal-hal aneh untuk mempertahankan hubungan baik dengan para pembantu. Yang jelas, setiap kali mendapat pembantu baru, saya selalu menekankan apa tugas utamanya, dan apa kebiasaan keluarga saya. Saya juga selalu menjelaskan sampai dimana si pembantu boleh ‘mencampuri’ urusan keluarga saya. Misalnya, saya belum pernah menyerahkan urusan merapikan tempat tidur saya menjadi tanggung jawab si Inem. Di mata saya, berlebihan sekali kalau seorang perempuan sampai harus menyerahkan urusan ini ke tangan orang lain dengan alasan tidak ada waktu….*sorry to say…*
Dari pengalaman panjang menggunakan jasa pembantu, daftar di bawah ini (menurut saya lho…) bisa jadi acuan apakah bagi keluarga Anda, si Inem ini punya power yang luar biasa di rumah Anda:
1. Jika anak Anda demam atau kurang sehat, dia memanggil-manggil mbak nya…
2. Jika anak Anda lebih suka atau lebih cepat lelap di pangkuan si Inem daripada di pelukan ibunya…
3. Jika anak Anda lebih memilih susu buatan si Inem daripada buatan Ibunya…(hey, jangan kira membuat susu buat bayi itu gak punya resep….)
4. Jika Anda harus membeli makanan di restoran atau di warung ketika si Inem mudik…
5. Jika keranjang cucian Anda tidak pernah kosong selama si Inem tidak di rumah…
6. Jika rumah mirip kapal pecah saat si Inem tidak ada…
7. Jika jam tidur Anda harus berkurang lebih dari 3 jam di saat si Inem mudik…. dan
8. Jika Anda tak sempat berkaca sehingga tidak tahu seperti apa tampang Anda hari itu, selama si Inem tidak di rumah…. -))
Kalau Anda merasa bahwa ketergantungan terhadap si Inem sebagai sesuatu yang wajar, no problemo…..go ahead…. hidup Anda kan, keputusan Anda.
Tapiii… kalau merasa bahwa power si Inem harus dikurangi, resep saya cuma satu: yakinkan diri bahwa di rumah Anda, si Inem hanyalah outsider…. dan tugas pokoknya adalah ’MEMBANTU’!
*Note ini kupersembahkan buat teman atau ibu-ibu lain yang masih memiliki masalah dengan si Inem. Aku tahu note itu tidak menghibur kalian sama sekali karena terkesan malah membela si Inem, tapi aku harus jujur bahwa bagiku, tidak ada pekerjaan rumah yang tidak dapat dipikul oleh seorang Ibu sejati….pissss…*
——————-
November 22, 2009 at 12:38pm