Di beberapa obrolan santai dengan rekan-rekan pustakawan UI, saya kerap mengatakan bahwa Perpustakaan paling fenomenal dalam hal transformasi adalah “Pustaka UNSYIAH” Di grup wa yang beranggotakan beberapa rekan yang concern dengan bidang manajerial perpustakaan, sering saya kirimi cuplikan berita tentang Pustaka UNSYIAH. Mulai dari hal-hal kecil, seperti pergantian cat dinding ruang bacanya, mendesain ulang beberapa ruang yang saya tahu sudah jadul banget, jam buka layanannya yang sampai tengah malam, buka di hari Minggu, kunjungan-kunjungan dari berbagai lembaga, serta banyak program yang menurut saya merupakan loncatan besar bagi Unsyiah. Saya suka mengompori teman-teman dengan kalimat:
“Ini Unsyiah lho… di ujung Sumatera sana. Masa UI kalah?” 🙂
Sebetulnya tidak ada kepentingan khusus dengan UNSYIAH. Hanya saja, kebetulan saya mengikuti perkembangan Pustaka UNSYIAH ini sejak tahun 90an. O ya, kamu boleh cek deh, sepertinya satu-satunya perpustakaan (perguruan tinggi) yang menggunakan kata ‘Pustaka’ untuk menunjuk pada Perpustakaan adalah UNSYIAH. Kalau dirunut dari asal katanya, ‘pustaka’ itu artinya buku (tentang asal-usul kata ini dapat dibaca di https://www.facebook.com/notes/putu-laxman-pendit/mengapa-kita-menggunakan-kata-pustaka-bagian-1/10152543116575968 )
Bagi saya pribadi, ini menunjukkan bahwa Unsyiah ingin mengatakan bahwa mereka fokus pada isinya (pustaka), bukan gedungnya. Itu hal kecil yang menarik kan?
Saya pernah mengunjungi perpustakaan ini tahun 90an. Kala itu saya masih jadi staf di UKKP (Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan), sebuah unit dibawah Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi Bantuan Luar Negeri (Bank Dunia XXI) yang mengurusi pengembangan perpustakaan PTN se Indonesia. Waktu itu hampir semua perpustakaan masih seperti ‘kuburan’, hanya ada sejumlah koleksi dan penjaganya. Jangankan di UNSYIAH, di UI saja masa itu, rata-rata pengunjung Perpustakaan Pusat tidak sampai 100 orang per hari. Saya juga mengikuti pergantian kepemimpinan di Perpustakaan Unsyiah melalui pertemuan-pertemuan di berbagai kegiatan kepustakawanan.
Sampai pada suatu saat, di tahun 2013, ketika UI mengadakan acara seminar bertajuk ‘Grand Design Perpustakaan’ (kerjasama dengan FPPTI dan ISIIPI). Salah satu pesertanya adalah Kepala Perpustakaan UNSYIAH, yakni Pak Taufiq Abdul Gani. Saya ingat, beliau ikut di kelas yang kebetulan saya jadi fasilitatornya. Saya perhatikan, beliau sangat serius mengikuti setiap acara dan aktif. Iseng saya lihat kartu namanya. Doktor? Wow! Keren. Tapi beliau ini bukan dari bidang library science. Beliau ini Doktor bidang teknik. How came? 🙂 Sekejap muncul keraguan dalam hati, mengingat banyak pengalaman di beberapa perpustakaan dimana ketika dipimpin oleh non pustakawan, cenderung hanya normatif saja. Tidak banyak gebrakan. Tapi rupanya dengan beliau ini, beda sekali. Dengan segera kita bisa melihat betapa gesitnya beliau berbenah, bergerak, dan (cenderung tidak sabar) untuk melesat mengejar ketertinggalan. Beberapa kali saya dikontak untuk berbagi pengalaman. Hampir semua yang dikerjakan nun jauh di Serambi Mekkah sana, dipublikasikan di media sosial. Harus diakui bahwa salah satu cara paling efektif mendapatkan masukan adalah dengan bicara di medsos ☺
Dalam jangka waktu singkat, Pustaka UNSYIAH tiba-tiba melambung. Yang saya amati, teman-teman di UNSYIAH (dinakhodai oleh Pak Taufiq) benar-benar bekerja keras. Membangun sistem aplikasi, membenahi fisik, dan meningkatkan kompetensi staf. Pimpinan UNSYIAH nampaknya sadar betul bahwa beliau tidak bisa berlari sendirian. Maka seluruh staf diajak ‘bangun’, kalau perlu berlari kencang. Mereka studi banding ke berbagai tempat, termasuk ke luar negeri. Mereka melihat best practice di berbagai tempat dan segera menerapkannya. Mereka rajin mengirim staf mengikuti seminar-seminar di berbagai daerah dan mengundang para pakar untuk memberikan pelatihan. Penulis termasuk yang pernah diminta berbagi pengalaman melalui teleconference.
Puncak ketenaran Pustaka UNSYIAH adalah ketika mereka jadi tuan rumah KPDI 7 tahun 2015! Oh, come on! Kita semua tahu, jadi host sebuah acara berskala nasional itu tidak mudah, dan tidak semua lembaga mau. Tapi UNSYIAH, dengan gagah berani mengajukan diri, dan terpilih! Kegiatan itu berjalan lancar. Menurutku, jika sebuah acara sebesar KPDI bisa sukses tanpa kendala yang berarti, itu sebuah prestasi yang luar biasa. Mengorganisir ratusan peserta dari berbagai daerah dan beragam karakter butuh keterampilan dan strategi tersendiri. Penulis termasuk salah satu peserta yang menghadiri KPDI 7 di Aceh dan menikmati acara tersebut. Jempol buat teman-teman UNSYIAH!

Menunggu menyeberang ke Sabang (KPDI 7) – dokumen pribadi

Mejeng di depan Mesjid Baiturrahman yang sangat terkenal itu (dokumen pribadi).
Bagi saya pribadi, menghadiri KPDI 7 di Aceh tahun 2015 lalu tidak hanya merupakan pembuktian bahwa Pustaka UNSYIAH benar-benar mampu mengelola kegiatan berkala Nasional dengan sangat baik, tapi juga merupakan wisata yang sangat mengasikkan. Walau sudah pernah ke Aceh, tidak pernah bosan mendatangi tempat-tempat bersejarah yang tidak boleh dilewatkan jika berkunjung ke sana. Mengunjungi Aceh sama dengan belajar sejarah.
Saya perhatikan, sejak KPDI 7 pula, nama Pustaka UNSYIAH ini muncul dimana-mana. Hadir di setiap jejak kegiatan kepustakawanan, entah dalam bentuk kehadiran stafnya atau berita tentang e-resourcesnya. Beragam prestasi diraih dalam bentuk peningkatan akses ke ETD nya, peningkatan kunjungan, dan perolehan ISO! Wow! Kini mereka juga punya majalah bernama Librisyiana! Keren. Tak banyak perpustakaan yang bisa berlari sekencang Pustaka UNSYIAH.
Satu hal lagi yang saya kagumi dari Unsyiah adalah mereka fokus pada kepuasan pemustaka dan MELIBATKAN PEMUSTAKA dalam kegiatannya. Ini terlihat dari jam layanan yang panjang, fasilitas-fasilitas yang disediakan, serta beragam kegiatan yang melibatkan mahasiswa. Rekan-rekan di Pustaka UNSYIAH menjadikan pemustaka sebagai mitra. Mereka merekrut para volunteer untuk bekerja di Perpustakaan, mengadakan berbagai kontes seperti ‘Duta Baca’, dan melibatkan mahasiswa untuk even-even tertentu. Tak heran para pemustakanya puas. Saya sering baca testimoni para mahasiswa Unsyiah tentang nyamannya Pustaka Unsyiah sebagai tempat belajar dan berkegiatan.
Bagi mahasiswa, Pustaka UNSYIAH sudah seperti rumah ke dua. Sebagian besar waktunya dihabiskan di Pustaka. Betapa tidak! Ada tempat buat ngopi. Ada pentas musik di acara ‘Relax & Easy’ yang dihela sekali seminggu. Foto-foto mahasiswa sedang lelap menunjukkan betapa nyamannya Pustaka Unsyiah. Feel like home. Pustaka UNSYIAH paham betul yang mereka layani adalah Gen Y! Gambar-gambar di bawah ini menyatakan dengan jelas bahwa Pustaka Unsyiah tidak lagi sebatas buku dan jurnal.
Dalam lima tahun terakhir banyak perpustakaan berlomba-lomba melakukan transformasi dengan membangun gedung baru. Ya! Salah satu cara paling mudah dan cepat melakukan perubahan adalah dengan gedung baru. Itulah yang terjadi saat ini. Tapi UNSYIAH menempuh cara berbeda. Mereka fokus pada transformasi isi, layanan, dan staf. Walau mungkin saja menginginkan gedung baru, namun mengoptimalkan apa yang ada sesungguhnya adalah solusi paling efektif. Re-design beberapa ruangan dan fasilitas, up grade sistem layanan dan IT, tingkatkan keterampilan staf, dan…. berdandan!
Saya bukan sivitas akademika UNSYIAH, bukan pula pengguna Pustaka UNSYIAH. Saya hanya penikmat perubahan Pustaka UNSYIAH dari jauh, jauh sekali… ! Tapi harus saya akui bahwa perpustakaan paling sukses melakukan transformasi adalah Pustaka UNSYIAH! Mereka tumbuh tidak hanya bersama buku-buku dan jurnal, tapi berkembang bersama pemustaka dan lingkungannya. Sungguh menginspirasi!

Fasilitas pinjam mandiri (http://dimzpoer.blogspot.co.id/2017/04/this-is-more-than-just-library.html)
O ya, sebagai penikmat kopi, jika ada kesempatan berkunjung ke UNSYIAH, pasti sudut ini yang akan saya datangi terlebih dahulu. Library Coffee! Berharap ada kopi Ulee Kareng disana 🙂
Knowledge is free at our library, just bring your own container.
Pustaka UNSYIAH! Go.. go… go! 🙂
Depok, 07 April 2017.