Menatap dari Jauh Rumah Inspirasi bernama: “Pustaka UNSYIAH.”

Di beberapa obrolan santai dengan rekan-rekan pustakawan UI, saya kerap mengatakan bahwa Perpustakaan paling fenomenal dalam hal transformasi adalah “Pustaka UNSYIAH” Di grup wa yang beranggotakan beberapa rekan yang concern dengan bidang manajerial perpustakaan, sering saya kirimi cuplikan berita tentang Pustaka UNSYIAH. Mulai dari hal-hal kecil, seperti pergantian cat dinding ruang bacanya, mendesain ulang beberapa ruang yang saya tahu sudah jadul banget, jam buka layanannya yang sampai tengah malam, buka di hari Minggu, kunjungan-kunjungan dari berbagai lembaga, serta banyak program yang menurut saya merupakan loncatan besar bagi Unsyiah. Saya suka mengompori teman-teman dengan kalimat:
“Ini Unsyiah lho… di ujung Sumatera sana. Masa UI kalah?” 🙂

Sebetulnya tidak ada kepentingan khusus dengan UNSYIAH. Hanya saja, kebetulan saya mengikuti perkembangan Pustaka UNSYIAH ini sejak tahun 90an. O ya, kamu boleh cek deh, sepertinya satu-satunya perpustakaan (perguruan tinggi) yang menggunakan kata ‘Pustaka’ untuk menunjuk pada Perpustakaan adalah UNSYIAH. Kalau dirunut dari asal katanya, ‘pustaka’ itu artinya buku (tentang asal-usul kata ini dapat dibaca di https://www.facebook.com/notes/putu-laxman-pendit/mengapa-kita-menggunakan-kata-pustaka-bagian-1/10152543116575968 )

Bagi saya pribadi, ini menunjukkan bahwa Unsyiah ingin mengatakan bahwa mereka fokus pada isinya (pustaka), bukan gedungnya. Itu hal kecil yang menarik kan?
Saya pernah mengunjungi perpustakaan ini tahun 90an. Kala itu saya masih jadi staf di UKKP (Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan), sebuah unit dibawah Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi Bantuan Luar Negeri (Bank Dunia XXI) yang mengurusi pengembangan perpustakaan PTN se Indonesia. Waktu itu hampir semua perpustakaan masih seperti ‘kuburan’, hanya ada sejumlah koleksi dan penjaganya. Jangankan di UNSYIAH, di UI saja masa itu, rata-rata pengunjung Perpustakaan Pusat tidak sampai 100 orang per hari. Saya juga mengikuti pergantian kepemimpinan di Perpustakaan Unsyiah melalui pertemuan-pertemuan di berbagai kegiatan kepustakawanan.

Sampai pada suatu saat, di tahun 2013, ketika UI mengadakan acara seminar bertajuk ‘Grand Design Perpustakaan’ (kerjasama dengan FPPTI dan ISIIPI). Salah satu pesertanya adalah Kepala Perpustakaan UNSYIAH, yakni Pak Taufiq Abdul Gani. Saya ingat, beliau ikut di kelas yang kebetulan saya jadi fasilitatornya. Saya perhatikan, beliau sangat serius mengikuti setiap acara dan aktif. Iseng saya lihat kartu namanya. Doktor? Wow! Keren. Tapi beliau ini bukan dari bidang library science. Beliau ini Doktor bidang teknik. How came? 🙂 Sekejap muncul keraguan dalam hati, mengingat banyak pengalaman di beberapa perpustakaan dimana ketika dipimpin oleh non pustakawan, cenderung hanya normatif saja. Tidak banyak gebrakan. Tapi rupanya dengan beliau ini, beda sekali. Dengan segera kita bisa melihat betapa gesitnya beliau berbenah, bergerak, dan (cenderung tidak sabar) untuk melesat mengejar ketertinggalan. Beberapa kali saya dikontak untuk berbagi pengalaman. Hampir semua yang dikerjakan nun jauh di Serambi Mekkah sana, dipublikasikan di media sosial. Harus diakui bahwa salah satu cara paling efektif mendapatkan masukan adalah dengan bicara di medsos ☺

Foto ketika berbagi dengan Pustaka Unsyiah melalui teleconference (dokumen pribadi)

Dalam jangka waktu singkat, Pustaka UNSYIAH tiba-tiba melambung. Yang saya amati, teman-teman di UNSYIAH (dinakhodai oleh Pak Taufiq) benar-benar bekerja keras. Membangun sistem aplikasi, membenahi fisik, dan meningkatkan kompetensi staf. Pimpinan UNSYIAH nampaknya sadar betul bahwa beliau tidak bisa berlari sendirian. Maka seluruh staf diajak ‘bangun’, kalau perlu berlari kencang. Mereka studi banding ke berbagai tempat, termasuk ke luar negeri. Mereka melihat best practice di berbagai tempat dan segera menerapkannya. Mereka rajin mengirim staf mengikuti seminar-seminar di berbagai daerah dan mengundang para pakar untuk memberikan pelatihan. Penulis termasuk yang pernah diminta berbagi pengalaman melalui teleconference.

Puncak ketenaran Pustaka UNSYIAH adalah ketika mereka jadi tuan rumah KPDI 7 tahun 2015! Oh, come on! Kita semua tahu, jadi host sebuah acara berskala nasional itu tidak mudah, dan tidak semua lembaga mau. Tapi UNSYIAH, dengan gagah berani mengajukan diri, dan terpilih! Kegiatan itu berjalan lancar. Menurutku, jika sebuah acara sebesar KPDI bisa sukses tanpa kendala yang berarti, itu sebuah prestasi yang luar biasa. Mengorganisir ratusan peserta dari berbagai daerah dan beragam karakter butuh keterampilan dan strategi tersendiri. Penulis termasuk salah satu peserta yang menghadiri KPDI 7 di Aceh dan menikmati acara tersebut. Jempol buat teman-teman UNSYIAH!

Menunggu menyeberang ke Sabang (KPDI 7) – dokumen pribadi

Mejeng di depan Mesjid Baiturrahman yang sangat terkenal itu (dokumen pribadi).

Bagi saya pribadi, menghadiri KPDI 7 di Aceh tahun 2015 lalu tidak hanya merupakan pembuktian bahwa Pustaka UNSYIAH benar-benar mampu mengelola kegiatan berkala Nasional dengan sangat baik, tapi juga merupakan wisata yang sangat mengasikkan. Walau sudah pernah ke Aceh, tidak pernah bosan mendatangi tempat-tempat bersejarah yang tidak boleh dilewatkan jika berkunjung ke sana. Mengunjungi Aceh sama dengan belajar sejarah.

Saya perhatikan, sejak KPDI 7 pula, nama Pustaka UNSYIAH ini muncul dimana-mana. Hadir di setiap jejak kegiatan kepustakawanan, entah dalam bentuk kehadiran stafnya atau berita tentang e-resourcesnya. Beragam prestasi diraih dalam bentuk peningkatan akses ke ETD nya, peningkatan kunjungan, dan perolehan ISO! Wow! Kini mereka juga punya majalah bernama Librisyiana! Keren. Tak banyak perpustakaan yang bisa berlari sekencang Pustaka UNSYIAH.

Satu hal lagi yang saya kagumi dari Unsyiah adalah mereka fokus pada kepuasan pemustaka dan MELIBATKAN PEMUSTAKA dalam kegiatannya. Ini terlihat dari jam layanan yang panjang, fasilitas-fasilitas yang disediakan, serta beragam kegiatan yang melibatkan mahasiswa. Rekan-rekan di Pustaka UNSYIAH menjadikan pemustaka sebagai mitra. Mereka merekrut para volunteer untuk bekerja di Perpustakaan, mengadakan berbagai kontes seperti ‘Duta Baca’, dan melibatkan mahasiswa untuk even-even tertentu. Tak heran para pemustakanya puas. Saya sering baca testimoni para mahasiswa Unsyiah tentang nyamannya Pustaka Unsyiah sebagai tempat belajar dan berkegiatan.

Testimoni mahasiswa pengguna Pustaka UNSYIAH (http://gramomania.com/tag/budayabaca)

Bagi mahasiswa, Pustaka UNSYIAH sudah seperti rumah ke dua. Sebagian besar waktunya dihabiskan di Pustaka. Betapa tidak! Ada tempat buat ngopi. Ada pentas musik di acara ‘Relax & Easy’ yang dihela sekali seminggu. Foto-foto mahasiswa sedang lelap menunjukkan betapa nyamannya Pustaka Unsyiah. Feel like home. Pustaka UNSYIAH paham betul yang mereka layani adalah Gen Y! Gambar-gambar di bawah ini menyatakan dengan jelas bahwa Pustaka Unsyiah tidak lagi sebatas buku dan jurnal.

Panggung ‘Relax & Easy’ (http://library.unsyiah.ac.id/relax-and-easy-kembali-menyapa-pemustaka/)

Ruang belajar lesehan (http://library.unsyiah.ac.id/ruang-baca-dipisah-apa-tanggapan-mahasiswa/)

Dalam lima tahun terakhir banyak perpustakaan berlomba-lomba melakukan transformasi dengan membangun gedung baru. Ya! Salah satu cara paling mudah dan cepat melakukan perubahan adalah dengan gedung baru. Itulah yang terjadi saat ini. Tapi UNSYIAH menempuh cara berbeda. Mereka fokus pada transformasi isi, layanan, dan staf. Walau mungkin saja menginginkan gedung baru, namun mengoptimalkan apa yang ada sesungguhnya adalah solusi paling efektif. Re-design beberapa ruangan dan fasilitas, up grade sistem layanan dan IT, tingkatkan keterampilan staf, dan…. berdandan!

Saya bukan sivitas akademika UNSYIAH, bukan pula pengguna Pustaka UNSYIAH. Saya hanya penikmat perubahan Pustaka UNSYIAH dari jauh, jauh sekali… ! Tapi harus saya akui bahwa perpustakaan paling sukses melakukan transformasi adalah Pustaka UNSYIAH! Mereka tumbuh tidak hanya bersama buku-buku dan jurnal, tapi berkembang bersama pemustaka dan lingkungannya. Sungguh menginspirasi!

Fasilitas pinjam mandiri (http://dimzpoer.blogspot.co.id/2017/04/this-is-more-than-just-library.html)

O ya, sebagai penikmat kopi, jika ada kesempatan berkunjung ke UNSYIAH, pasti sudut ini yang akan saya datangi terlebih dahulu. Library Coffee! Berharap ada kopi Ulee Kareng disana 🙂

Ngopi di library, why not?
(http://detak-unsyiah.com/tag/pustaka)

Knowledge is free at our library, just bring your own container.
Pustaka UNSYIAH! Go.. go… go! 🙂

Depok, 07 April 2017.

Posted in Opini | Tagged , , , , , , | 18 Comments

Tertolong oleh tulisan ini: ‘BNI’.

Tahun 2010 lalu, tepatnya di bulan Oktober, saya mendapat tugas dari kantor mengikuti short course di Nanyang Technological University (NTU), Singapore. Nama programnya ‘The Professional Internship Programme for International Librarians’ atau disingkat PIPIL. Program ini diikuti oleh 8 orang pustakawan professional dari berbagai perguruan tinggi dari 6 negara (Thailand, Malaysia, Philippina, Brunei Darussalam, dan China). Saya sendiri mewakili Indonesia. PIPIL rutin diselenggarakan oleh NTU setiap tahun, namun baru tahun 2010 ada peserta dari Indonesia. Saya bisa menjadi peserta karena Universitas Indonesia, tempat saya bekerja, adalah salah satu anggota AUNILO (Asean University Network Inter-Library Online). Selama sebulan, kami diberi kuliah-kuliah singkat tentang berbagai hal menyangkut manajemen perpustakaan perguruan tinggi modern, lalu melihat bagaimana NTU mengaplikasikan manajemen tersebut dalam kegiatan sehari-hari. Mulai dari proses seleksi dan pengadaan koleksi, pengelolaan e-resources, penerapan IT, service excellent, perencanaan anggaran, user education, information literacy, management building, promotion, dan banyak hal menarik lainnya seputar pengelolaan informasi dan pengetahuan. Kami juga diajak melihat beberapa perpustakaan modern di Singapore sebagai bahan perbandingan. Dilibatkan juga di kegiatan-kegiatan kampus, seperti exhibition, user education programme, communication session, yang rutin diadakan Perpustakaan NTU.

Selama di Singapore, saya tinggal di guest house NTU, yang letaknya berada di lingkungan asrama mahasiswa. Peserta dari Thailand dan Malaysia juga tinggal di guest house tersebut tapi di hall berbeda. Peserta dari Philipina memilih tinggal di rumah saudara, teman dari China tinggal di rumah temannya, sedangkan peserta dari Brunei tingal di hotel di daerah Orchard. Buat saya, ini adalah pengalaman pertama tinggal lama di negeri orang. Perjalanan ke luar negeri yang pernah saya lakukan selalu dalam rangka dinas, dan tidak lebih dari seminggu. Kali ini, lumayan lama. Sebulan.

Persiapan saya sebelum berangkat sudah cukup matang. Biaya penginapan sudah dibayar 2 minggu sebelum berangkat. Tiket pulang pergi juga sudah di-booked. Praktis hanya biaya hidup disana yang harus saya pikirkan. Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekal biaya hidup selama sebulan di Singapore tidaklah terlalu besar. Jadi harus pintar-pintar berhemat. Sementara saya ingin mengeksplor tempat-tempat wisata yang ada disana selama mengikuti short course, karena di hari Sabtu dan Minggu kami libur. Saya putuskan membawa bekal tambahan (makanan) sehari-hari secukupnya karena kuatir harga makanan di Singapore terlalu mahal. Beberapa bungkus mie instan, kopi sachet, susu bubuk, oatmeal, dan beberapa jenis makanan ringan, saya bawa.

Hingga minggu ke dua, kegiatan berjalan lancar. Setiap hari Senin sampai Jumat kami beraktivitas di kampus hingga pukul 5 sore. Sedangkan Sabtu dan Minggu kami merencanakan perjalanan ke tempat-tempat wisata yang ada di Singapore. Teman yang dari Brunei, yang menginap di hotel selalu menawarkan untuk tinggal bersamanya di saat week end. Tentu saja saya senang menyambut ajakannya. Bosan tinggal di guest house terus.

Tak terasa sudah masuk akhir minggu ke tiga. Persediaan mulai menipis. Uang tunai tinggal beberapa dolar. Tidak diduga, ternyata yang paling menguras kantong adalah biaya komunikasi. Biaya telepon ke Indonesia cukup mahal. Saya tidak mungkin tidak menelepon keluarga selama sebulan. Kemudian biaya jalan-jalan. Ongkos masuk ke Universal Studio tidak pernah ada di anggaran saya. Faktanya kami pergi kesana 2 kali. Belum lagi kalau week end, entah kenapa lidah ini selalu ingin dimanjakan. Maka pergilah kami ke restoran yang menyajikan makanan enak-enak. Lalu kalau sedang jalan-jalan, selalu ingin jajan. Ketemu toko souvenir lucu-lucu, tak tahan untuk tidak beli. Ada saja alasan untuk merogoh dompet. Lupa kalau harus berhemat…hehehe. Jadilah dompet kering. Kantong menipis. Alamak! Bagaimana ini? Masih ada 8 hari lagi sebelum program usai. Saya mulai pusing. Kemana harus pinjam uang? Masa pinjam ke teman peserta? Kan beda negara. Bagaimana nanti mengembalikannya? Lagipula, malu! Kartu kredit? Saya punya, tapi limitnya kecil. Tabungan? Ada. Tapi bagaimana cara mengambilnya? ATM nya dimana? Bingung. Malu pula cerita ke teman peserta course. Bukan apa-apa, ini soal gengsi, menyangkut nama baik negara…hahaha. Saya tak sudi mereka pikir negara Indonesia itu miskin sampai-sampai ada warganya yang terlantar sedang tugas di negara lain…:-) Ini kan salah saya. Salah dalam perencanaan anggaran.

Saya putuskan untuk bertahan dengan dana yang ada. Kalau perlu puasa deh. Kuhitung-hitung, dengan uang di dompet waktu itu, masih cukup untuk makan sampai program usai. Tapi saya tak akan bisa beli oleh-oleh untuk anak saya. Ya ampun! Teganya. Masa sebulan di Singapore tak bawa apa-apa buat anak-anak di rumah? Barang sebatang coklat kek! Aduh! Keterlaluan. Galau deh. Di tengah kegalauan itu, saya bermaksud mengunjungi saudara yang tinggal di daerah Lakeside. Sebelumnya saya sudah pernah berkunjung kesana. Kalau sangat terpaksa, saya akan pinjam dulu uangnya. Saya berangkat dari asrama dengan tujuan tidak jelas. Naik MRT ke arah Orchard. Melewati Lakeside, aku ragu turun. Di tengah perjalanan, ada sms masuk dari teman sekantor di Indonesia. Ada hadiah (dalam bentuk uang tunai) yang baru ditransfer ke rekening saya. Itu hadiah saya sebagai pustakawan berprestasi UI tahun 2010. Aduh, senang banget dengarnya. Aku jingkrak-jingkrak deh. Terbayang, andai uang itu bisa saya ambil sekarang. Andai ini di Depok, dengan cepat aku bisa lari ke ATM. Tapi ini di Singapore. Rasanya complicated sekali, dalam kondisi tidak punya uang, dan ada uang di rekening kita, tapi tak bisa diambil. Sial!

Aku turun dari MRT dengan pikiran tak menentu, antara senang dan galau. Aku bermaksud jalan-jalan saja dulu. Melepaskan kepenatan pikiran. Menikmati hilir mudik orang-orang yang lewat. Aku berjalan tak tentu arah. Ikut saja arus orang. Tibalah di sebuah jalan yang di sisinya ada gedung bertingkat, lumayan tinggi dan besar. Mataku tiba-tiba melotot pada tulisan dan warna biru yang ada di lantai dasar gedung itu. Aku lupa nama jalannya, tidak tahu nama gedungnya, tapi tulisan itu adalah: BNI! Ya Tuhan! Benarkah? Ada kantor BNI disini? Oh my God! Apakah aku bermimpi? Nyatakah ini?
Mendadak aku ketawa ngakak sendirian, merentangkan ke dua tangan dengan lepas (bodoh amat deh orang bilang aku gila….hahaha), dan berlari ke depan gedung itu. Kuamati dengan seksama. Betul! Ini kantor BNI 46. Tidak salah lagi. Aiiiiii….. senangnya!

Senja itu aku kembali ke guest house dengan perasaan lega. Seakan ada beban berat di pundakku yang barusan luruh. Masalahku mendadak selesai. Aku tak perlu pusing lagi. Tak perlu puasa. Besok aku bisa ambil uang di BNI. Iya, di BNI di Singapore. Bisa beli oleh-oleh. Bisa makan enak sebelum kembali ke Indonesia…hahaha. Malam menjelang tidur, aku masih tak percaya betapa mudahnya menyelesaikan beban pikiran yang selama 2 hari itu menderaku. Hanya dengan melihat tulisan ‘BNI’ itu, masalahku selesai.
Besoknya, di kampus aku cerita ke teman-teman peserta PIPIL. Mereka ketawa-ketawa menyadari betapa polosnya aku. Saking polosnya, sampai tidak tahu kalau BNI punya cabang di luar negeri. Hah!

————
Depok, 11 Juli 2015

Posted in My Journey | 23 Comments

Mereka berubah, lalu bertumbuh, dan… menginspirasi!

Di salah satu sesi pelatihan soft skills staf di kantor, ketika membahas budaya organisasi yang ingin kita bangun melalui kebiasaan-kebiasaan rutin ketika melayani pengguna, beberapa staf (termasuk saya) berujar:
“Seperti di kantor sebelah itu lho…”

Lalu ketika membahas tentang sikap profesional security yang kita inginkan, terdengar lagi:
“Kayak satpam sebelah…”

Lalu saat mengevaluasi kinerja OB, terdengar lagi kalimat itu:
“Seperti OB kantor sebelah….”

Bahkan ketika ingin membuat seragam atau tampilan staf yang khas, atau merancang souvenir, kami kerap menjadikan ‘kantor sebelah’ sebagai acuan.

Kantor apa sih, kantor sebelah?

Kantor dengan dominasi warna oranye cerah itu terlihat eye catching ketika memasuki area gedung The Crystal of Konowledge, di kampus Universitas Indonesia, Depok. Begitu tiba di main entry gedung, kantor itulah yang pertama terlihat. Setiap pagi dan sore saya akan melewatinya, karena kantor tempatku bekerja berada di gedung yang sama dengan kantor itu. Saya selalu menyaksikan bagaimana mereka memulai rutinitasnya. Jam 07.30 mereka akan berkumpul membentuk lingkaran, lalu sharing hal-hal positif yang menginspirasi dan memotivasi karyawannya. Begitu ada nasabah, securitynya akan menyapa dengan ramah: ‘selamat pagi pak/bu, selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?”
Jika diperlukan, mereka akan memandu setiap nasabah sesuai dengan keperluannya. Menjelaskan sekilas prosedur mengambil nomor antrian, menunjukkan dimana harus duduk menunggu nomor antrian dipanggil, dan seterusnya. Semuanya dilakukan dengan ramah dan sopan. Helpful. Di meja customer service atau teller, kita disapa dengan ramah, ditanya ‘apa kabar’, disuguhi permen supaya tidak bosan, dan dilayani dengan prima. Personal touch nya amat terasa. Sebagai seorang karyawan, saya paham betul bahwa tidak mudah menjadikan sebuah organisasi sampai ke level tersebut. Mengubah fisik gedung sangat mudah, tapi mengubah mindset dan perilaku karyawan bukanlah pekerjaan gampang. Saya yakin banyak hal yang perlu diubah, agar organisasi bertumbuh dengan baik. Termasuk kantor sebelah itu. Saya teringat ke masa-masa berkenalan dengan kantor itu ….

———————–
April 1991, saya bekerja sebagai karyawan proyek di Depok, tepatnya di kampus Universitas Indonesia (UI). Sebagai karyawan yang baru memiliki penghasilan, yang terpikirkan oleh saya adalah membuka tabungan. Hanya ada satu bank waktu itu di kampus. BNI 46. Menempati salah satu ruang sempit di pojok lantai dasar gedung rektorat UI, bank itu mirip kantor koperasi. Masih jelas saya ingat betapa bahagianya hati saat memegang buku tabungan berwarna biru itu. Bangga sekali. Seperti memiliki sebuah barang berharga yang lama diimpikan. Jadilah saya nasabah BNI 46. Tahun 1994, saya diterima jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Katanya, gaji PNS setiap bulan ditransfer langsung ke rekening pegawai. Bank nya ya itu. BNI 46.

Tak lama bank itu pindah ke gedung yang lebih besar, ke balai sidang. Kantornya luas, ditata dengan modern dan nyaman. Cukup layak disebut sebagai sebuah bank. Saya perhatikan, mereka berusaha membuat customer nyaman, walaupun tidak selalu berhasil. Saya pernah punya pengalaman kurang mengenakkan dengan layanan ATM nya. Di hari Minggu, saya antri di ATM bank tersebut bersama beberapa nasabah. Entah bagaimana, 4 ATM yang ada saat itu semuanya kosong. Tidak bisa tarik tunai. Ada beberapa nasabah yang kesal, termasuk saya, mengingat hari itu hari libur dan kita sangat mengandalkan ATM untuk tarik tunai. Kejadian yang sama terulang kembali di waktu berbeda dan lokasi ATM yang berbeda. ATM nya kosong! Tidak bisa tarik tunai. Seorang ibu yang sedang antri waktu itu sampai menangis karena katanya sedang sangat membutuhkan uang tunai untuk beli obat anaknya yang sakit. Terbayang kan kesalnya? Hal lain adalah soal penataan mesih ATM yang sangat tidak nyaman waktu itu. Antrian di mesin ATM waktu itu memungkinkan nasabah yang sedang antri di belakang kita dapat melihat kita memasukkan nomor PIN. Ini sangat tidak aman dan nyaman buat saya. Saya ingat betul, ke dua hal itu saya jadikan masukan di kotak saran BNI (waktu itu mereka menyediakan kotak saran). Entah kebetulan atau tidak, tidak lama setelah itu BNI di kampus merombak desain penempatan mesin ATM nya menjadi lebih nyaman untuk bertransaksi.

Tahun 2011 lalu, kantor tempat saya bekerja menempati sebuah gedung baru. Besar, indah, dengan desain yang unik. Di dalam gedung itu, ada beberapa kantor, restoran, termasuk bank. Ya, BNI 46. Bank itulah yang selalu kami sebut: ‘kantor sebelah’. Bank itulah yang sering kami jadikan referensi dalam hal pelayanan publik.

——————
Dua puluh tahun lebih sebagai nasabah BNI 46, walau tidak memiliki tabungan besar, saya merasa bank ini sebagai tempat paling aman buat menabung. Bank ini pula yang saya kenalkan pada anak-anak saya ketika mereka mulai memikirkan membuka tabungan dan bermain saham. Walau memiliki rekening di bank lain, tapi di formulir-formulir atau di kolom-kolom isian data apapun, saya selalu mencantumkan BNI 46 sebagai bank utama saya. Melalui pelayanannya sehari-hari saya dapat merasakan bagaimana mereka berubah, bertumbuh, dan menginspirasi.

———–
Depok, 09 Juli 2015
BNI

Posted in Catatan Hati | 43 Comments

aku wanita baik-baik, tak perlu ragu mencintaiku!

sepanjang usia pertemanan kita
kerap aku memikirkanmu
sesering aku menanyakan kabarmu

jawabmu tak jua berubah:
’aku mencari wanita baik-baik…’

petualanganmu hampir tak terampuni

hey, coba hitung:
berapa perempuan sudah kau undang ke hatimu?
berapa masa kau lewati sia-sia?
tak cukupkah?

aku mulai berubah pikiran
adakah yang tidak kutahu tentangmu?

kalau iya, kuberitahu kamu satu hal:
betapa mudah mencintaiku!

lihat saja….
aku wanita baik-baik
tak perlu ragu mencintaiku!

—————
Depok: March 12, 2010 at 4:18pm

Posted in Puisi | 28 Comments

Serendipity ala dunia maya.

Sabtu kemarin (10 Oktober 2009) Metro TV menayangkan Oprah Show dengan salah satu bintang tamu, Mark Elliot Zuckerberg. Awal 2009 lalu, anak muda berusia 25 tahun ini mendapat penghargaan Young Global Leaders atas prestasinya mengembangkan jaringan sosial ‘Facebook’. Majalah Forbes bahkan mencatat bahwa Mark adalah salah satu milyarder termuda atas usaha sendiri, bukan karena mendapat warisan…..*banyak kan milyarder lain yang menjadi kaya karena warisan…hehehhe..*

Menurut Mark, facebook lahir atas bantuan teman Harvard-nya, Andrew McCollun dan teman sekamarnya Dustin Moskovitz dan Crish Hughes. Berawal dari keinginan mereka untuk tetap bisa menjalin kontak dengan teman-temannya yang berasal dari berbagai negara dan bagaimana masing-masing orang tersebut bisa tetap berhubungan dengan keluarganya di tempat yang jauh.

Di Oprah kemarin, cara Mark menceritakan kisah facebook ini membuatku terbayang betapa ide-ide besar itu sering lahir dari hal-hal sepele. Menurut Mark, mereka sering kumpul-kumpul, ngobrol-ngobrol dengan teman-teman satu kampus atau satu kost, lalu membahas macam-macam hal, ngalor-ngidul, sampai akhirnya timbul niat membuat jaringan sosial di dunia maya.

Aku membayangkan kehidupan mahasiswa yang tinggal di rumah kost atau asrama. Tiap hari mungkin membicarakan banyak hal, mulai dari perkuliahan, dosen-dosen, tugas-tugas mata kuliah, cewek yang sedang ditaksir, teman yang sedang jomblo, kiriman ortu yang sering telat, masa depan pertemanan mereka, dan kelak perpisahan yang akan menjelang…

“Hei, gimana ya kalau nanti kita sudah lulus? Masih bisa ketemu gak ya? Masih tahu kabar masing-masing gak ya?”

Lalu di sela-sela percakapan itulah mungkin muncul banyak ide.

Kisah facebook agak mirip dengan Google…*semoga kalian sudah baca ‘Kisah Sukses Google’ ya…*. Google juga berawal dari tugas mata kuliah mahasiswa Standford University (Larry Page dan Sergey Brin) yang kemudian berkembang menjadi search engine yang sangat terkenal di seantero dunia. Si paman Google ini berhasil ’meracuni’ otak banyak orang di dunia, bahwa kalau cari informasi di internet, pakai Google. Coba aja tanya teman suatu informasi, jawabnya mudah: ”Googling aja….”.

Walau motifnya berbeda, jauh sebelumnya kelahiran internet sebetulnya agak mirip dengan facebook, yaitu bagaimana membuat hubungan komunikasi dengan orang lain di tempat yang jauh. Secara sederhana, internet lahir atas dasar kebutuhan kalangan militer AS untuk bisa tetap berhubungan dengan para tentara mereka yang bertugas di medan perang. Facebook, bukan satu-satunya jaringan sosial yang dipakai banyak orang. Ada Friendster, Twitter, Myspace, dan banyak lagi, namun nampaknya Facebook lah yang paling populer. Katanya sih, sejak Obama menggunakan facebook sebagai salah satu media untuk kampanye pada waktu pemilihan Presiden AS beberapa bulan lalu. Entahlah, yang jelas banyak orang lebih dulu mengenal facebook daripada Obama…-)

Kehadiran teknologi komunikasi berupa jaringan sosial seperti facebook ini memang sangat mencengangkan. Bayangkan, tiba-tiba kita bisa berbincang dengan orang yang sudah puluhan tahun tidak bertemu dan tidak pernah kepikiran akan bertemu. Sekonyong-konyong kita diingatkan akan kisah-kisah konyol di masa lalu. Bertemu kembali dengan guru-guru yang mungkin dulu kita benci atau selalu kita rindui, bersua dengan teman yang pernah membuat hidup ini sangat indah, atau diingatkan kembali dengan penghianatan seorang sahabat yang rasanya sulit untuk dimaafkan. Adegan-adegan masa lalu yang malu untuk diingat, kini menjadi bahan diskusi seru di grup alumni. Setelah berpuluh tahun, kini tak malu-malu mengumbar kisah cinta monyet jaman dulu…-)

Facebook dan kawan-kawan menghadirkan masa lalu dihadapan kita secara utuh. Tidak hanya kisahnya, tapi juga orang-orangnya. Kini teman-teman atau saudara yang selama ini entah dimana, tiba-tiba muncul begitu saja di layar monitor. Hadir dengan beribu kisah dan perjalanan hidup yang kadang membuat kita takjub, senang, kaget, sedih, dan geli. Cobalah ingat, berapa teman yang Anda temukan di dunia maya. Apa saja kisah yang mereka hadirkan?

Serendipity Mark nampaknya kini juga menular luas ke seluruh pengguna facebook. Tanpa sengaja kita sering menemukan teman di list friend nya orang lain. Tanpa direncanakan kita mendapatkan info terbaru tentang teman yang selama ini tidak pernah kita bayangkan. Penemuan-penemuan ini menghasilkan reuni, copy darat, temu kangen, open house, bahkan mungkin arisan. Asik ya…-)

Kesenangan yang dihadirkan dunia maya sesungguhnya tetap punya resiko. Konon beberapa kasus sampai ke pengadilan hanya karena soal status di facebook, atau note yang diposting. Teknologi komunikasi memang membawa kebebasan mutlak bagi tiap pribadi untuk berucap apapun. Tiap orang bebas membuat statusnya, membaruinya berapa ratus kali dalam sehari, memberi komentar pada status atau foto orang lain. Namun berkomunikasi di dunia maya sesungguhnya lebih sulit daripada di dunia nyata. Kesalahan dalam menginterprestasikan suatu kata cenderung tinggi. Kesalahpahaman dalam mengartikan sebuah kalimat berpeluang besar terjadi jika tidak menggunakan pilihan kata yang tepat. Dan yang jelas, berkomunikasi di dunia maya tetap membutuhkan etika. Sama saja dengan di kehidupan nyata. Ketuk pintu sebelum masuk ke rumah orang, perkenalkan diri pada orang yang baru kenal, dan hindari kata-kata yang mengandung bias. Dijamin gak akan sampai berurusan dengan pengadilan….hihihi..

Bagi saya pribadi, facebook dkk membawa semangat baru dalam menjalin hubungan sosial. Menjadi selingan yang menyenangkan di sela-sela rutinitas yang seringkali membosankan. Menjadi media yang asik untuk berkomunikasi dengan sebanyak mungkin orang. Dan…menjadi ’sahabat’ seru untuk terpingkal-pingkal di depan monitor….-))

————-
Depok: October 11, 2009 at 2:01pm

Posted in Life is beautiful! | 12 Comments

hayo, jawab!

dulu….
pernah kau bilang:
cinta itu indah
rindu itu nikmat
cinta itu harus bersatu
rindu itu harus berbalas
cinta dan rindu itu akan membahagiakan kita

kini…
kau bilang:
aku tak pernah bilang apa-apa!
aku hanya pernah merasakan cinta dan rindu
aku tak pernah berjanji membahagiakanmu!

mimpikah aku selama ini?

hayo, jawab!

—————————————
Depok, 09 Jan 2010 (08.33 WIB)

Posted in Puisi | 50 Comments

katamu

katamu…
aku terlalu sombong mengakui betapa aku membutuhkanmu

katamu…
aku terlalu angkuh mengatakan betapa aku tak berdaya tanpamu

katamu…
aku terlalu arogan ‘tuk berucap betapa kamu begitu berarti untukku

katamu…
aku terlalu jaim ‘tuk sekedar berdamai dengan rasa

kataku…
kamu terlalu sering menilaiku: SALAH!

——————————————–
Depok, 10 Januari 2010 (11.16 WIB)

Posted in Puisi | 2 Comments

tentang kita

kerap kau tanyakan:
’tentang kita’

inilah jawabku:

berhentilah bertanya!
rindui saja aku terus…
seperti aku menginginkanmu

—————————–
Depok: 20-01-2010 (16:16 WIB)

Posted in Puisi | 4 Comments

Mereka bilang aku gila!

Pernah gila? … :))
Bagi yang belum pernah, syukurlah. Tapi lebih syukur lagi bagi yang sudah pernah, karena obrolan kita akan lebih menarik dengan pengalaman Anda….-))
So, jangan pindah channel dulu ya…

Banyak literatur yang berkisah tentang penyakit kegilaan, sebagian adalah kisah nyata. Dua buku yang pernah saya baca tentang penyakit kegilaan ini adalah: ‘Mereka Bilang Aku Gila’ dan ‘Aku Sadar Diriku Gila’.

Buku ‘Mereka Bilang Aku Gila’ ditulis oleh penderitanya sendiri, Ken Steele. Ken, dihampiri penyakit mental seperti skizofrenia sejak umur 14 tahun, yang membuatnya selalu dalam ketakutan. Ketiadaan dukungan keluarga membuatnya benar-benar gila dan harus terus berurusan dengan rumah sakit dan obat-obatan.

’Aku Sadar Diriku Gila’ ditulis oleh Dr. Kay Redfield Jamison seorang profesor ahli psikiatri di Fakultas Kedokteran John Hopkins University. Dia juga seorang psikiater, dan telah banyak menangani serta merawat pasien penderita penyakit mania-depresi. Selama menempuh kariernya, Kay juga mengalami depresi parah seperti yang diderita pasiennya. Sebelum baca buku ini, saya sempat berpraduga bahwa mungkin si penulis menjadi gila karena keseringan mengurusi orang ‘gila’…-))
Ternyata, tidak! Mania depresi yang diderita Kay sebenarnya berakar dari persoalan keluarga dan beban pekerjaan. Sama sekali tidak ada pengaruh dari pasien yang dirawatnya.

Kisah Ken lebih parah dari Kay. Bukan hanya karena dorongan untuk bunuh diri yang sering menyergap Ken, tapi juga ‘tudingan’ terhadapnya setiap kali ada musibah atau kematian di sekelilingnya. Selalu Ken lah yang dituding sebagai penyebabnya. Siapa yang menuding? Tidak ada! Hanya suara-suara yang terus menganggunya dari masa ke masa.

Kisah Ken dan Kay sebetulnya jamak ditemui di lingkungan masyarakat kita. Tentu saja kita harus mengesampingkan anggapan bahwa orang yang disebut gila itu selalu tampil dalam sosok mengerikan (pakaian kumal, rambut gimbal bagai benang teramat kusut, bau badan menyengat mirip makhluk yang baru tiba dari planet lain, nyengir mengerikan, dan sorot mata menakutkan). Untuk contoh jelasnya Anda boleh menemukan sosok-sosok ini di terminal-terminal atau di pinggir jalanan di kota Anda.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang gila bertebaran dimana-mana. Di rumah-rumah mewah dengan tampilan sangat meyakinkan (pakaian bermerek terkenal, parfum mewah, asupan gizi sempurna), di kantor-kantor, di kompleks warga terhormat, di lembaga pendidikan, di gedung wakil rakyat (paling banyak kali yeee….hehehe), bahkan di istana-istana kerajaan…-). Penyakit kegilaan ini direpresentasikan dalam berbagai perilaku ganjil. Mungkin kita tidak selalu menyadari bahwa perilaku seseorang itu termasuk tindakan ’gila’ karena bisa jadi suatu perilaku ganjil itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah, saking seringnya dilakukan. Bahkan di lingkungan yang dihuni oleh mayoritas orang gila, yang waras lah yang masuk kelompok ’gila’…-))

Menurut para psikolog, tingkat kegilaan inipun amat beragam. Mulai dari yang tidak terlihat atau terasakan, sampai pada level yang benar-benar mengganggu. Bagi yang sangat ingin tahu, baca tuh buku-buku tentang penyakit kejiwaan…*banyak di perpustakaan dan di toko buku*.

Saya bukanlah psikolog, bukan pula pengamat kegilaan, dan belum pernah gila…-))
*kalau tergila-gila mungkin pernah, misalnya tergila-gila pada kopi…hehehehe*
Tapi saya punya kisah dengan kelompok atau orang-orang yang dalam masyarakat kita disebut ’gila’. Saya lebih memilih menyebut mereka ’unik’.

—————————-

Di kampung saya, di kota Pangururan – Samosir, tersebutlah satu keluarga yang masuk kelompok ’unik’ ini. Waktu anak-anak, kami mengenalnya dengan nama ’Si Bupati’ (bapaknya), ’Si Ngak-nguk’ (ibunya), dan ’Si Rusmi’ (putrinya). Setahu saya, gelar Bupati ini disematkan pada beliau karena dulu dia pernah bercita-cita jadi bupati tapi tidak kesampaian. Sedangkan nama ’Ngak-nguk’ diberikan pada si ibu karena beliau memang (maaf) berbibir sumbing sehingga kalau berbicara yang kedengaran hanya ’ngak-nguk’. Rusmi, tentu saja nama yang manis, bukan julukan.

Setiap hari keluarga ini selalu keluar dari rumahnya di desa Pahoda. Mereka berkeliling di kota kecil kami lengkap dengan properti masing-masing. Si bapak selalu tampil dengan topi bundar ala koboi Samosir yang sudah tidak jelas warnanya; kemeja plus celana panjang kumal; sarung bermotif kotak-kotak yang tentu saja sudah lusuh banget dan selalu disilangkan dari bahu sebelah kanan sampai pinggang sebelah kiri; buntelan berisi kain-kain (kami menyebutnya ’siguddalbolon’); dan tongkat kayu setinggi badannya.

Si Ibu biasanya mengenakan kemeja perempuan yang kancingnya kadang-kadang tidak tertutup rapi; bawahan kain sarung; tas kumal (kadang-kadang keranjang) yang tidak tahu isinya apa; dan ’gajut’ berisi sirih dan kawan-kawan yang biasa dikonsumsi orang tua di kampung. Putrinya, si Rusmi, kala itu selalu mengekor di belakang bapak ibunya. Rusmi ini bertubuh bongsor, sehingga walaupun waktu itu masih kanak-kanak, badannya sudah seperti anak gadis. Seingatku, si Rusmi ini suka mengemut sesuatu, entah itu makanan ataupun benda-benda yang tidak layak dimakan (misalnya plastik bungkus es mambo).

*aku suka bingung juga memikirkan bagaimana bisa anak yang besar di keluarga tidak normal ini tumbuh sehat dan berbadan subur, sementara anak-anak lain yang dirawat Bapak/Ibunya dengan asupan gizi 4 sehat 5 sempurna plus kasih sayang tiada tara tetap kurus kering dan sakit-sakitan. Jawaban paling sederhana tentu saja ini: kuasa Tuhan…-)*

Keluarga ’unik’ ini selalu pelesiran setiap hari mencari nafkah dengan cara mereka sendiri. Bisa dipastikan mereka bertiga tak pernah absen di acara-acara hajatan dan sejenisnya. Kehadiran mereka di satu tempat sering pula jadi hiburan tersendiri bagi anak-anak di kampung. Biasanya kalau mereka sudah muncul, anak-anak mulai berkerumun mengolok-olok dengan memanggil-manggil namanya. Yang paling sering diolok-olok adalah si Bapak (si Bupati). Seringkali si Bapak ini sampai marah sekali dan melempari yang mengolok-oloknya dengan batu. Kalau sudah begitu, anak-anak berlarian kocar-kacir mencari perlindungan, tapi tak pernah berhenti pula mengoloknya.

*Sebetulnya dalam kasus ini, yang lebih gila siapa ya? Si Bupati atau anak-anak itu…-))*

Di keluarga kami, keluarga ‘unik’ ini selalu mendapat perlakuan khusus. Menurut Bapakku, dari sudut marga -si Bupati ini marga Silalahi- kami masih punya hubungan keluarga dengan mereka (o ya, orang Batak mana sih yang tidak punya hubungan keluarga? Kalau dikait-kaitkan selalu saja ada hubungan darah…). Kami memanggil si Bupati ini dengan ‘Amangtua’ atau ‘Bapatua’. Bapak dan Omak tidak pernah mengijinkan kami memanggilnya ‘si Bupati’ sebagaimana anak-anak lain menyebutnya. Kalau mereka bertiga lewat dari depan rumah, kami wajib memanggilnya mampir, memberinya makan, dan….menyuruhnya mandi!

Waktu kecil dulu, aku merasakan betapa ‘tersiksanya’ jadi anak Bapakku karena harus mengurusi orang-orang ‘aneh’ ini. Aku ingat betul bagaimana aku dan Kak Murni ‘marsitugan-tuganan’ (apa ya bahasa Indonesianya ini…) untuk menyodorkan pinggan berisi nasi dan lauk sederhana itu kehadapan mereka bertiga, karena tidak tahan dengan baunya dan seringainya yang bagi kami kala itu menyeramkan. Apalagi kalau Bapak bilang:
“Salam Bapatuamu itu…!”
Aduh! Bapak….teganya…!

Si Bupati ini biasanya akan tertawa lebar dan mengatakan terima kasih kalau kami memberinya makan. Setelah itu dia akan mandi dengan sabun balok di sumur di belakang rumah kami, dan berganti baju dengan baju pemberian Bapak. Tidak heran, dia suka memproklamirkan perlakuan Bapak ini ke orang-orang kampung. Dia selalu memanggil Bapak dengan ‘Bapa’ dan dia pernah bilang:
“Bapakkon do na toho. Bapa do Jesus di portibion…’” Berlebihan banget ya?

Bapak dan Omak sendiri selalu mengajarkan kami bahwa orang-orang seperti mereka inilah yang harus mendapat perhatian khusus dari kita. Kami juga diyakinkan bahwa doa orang-orang seperti keluarga ‘unik’ itu lebih didengarkan Tuhan. Entahlah. Kadang-kadang aku pikir, Bapak dan Omak ini juga suka sok tau sih…xixixixi

Suatu waktu, aku pulang dari ’pasir’ (pantai) membawa seember piring yang habis kucuci dan berisi air. Berat nian tentunya. Di belakangku banyak anak-anak lain yang juga baru selesai mandi dari pantai tapi tidak membawa apa-apa. Dari jauh muncullah si Bupati ini. Dia sendirian. Seperti biasa, mulailah anak-anak mengolok-oloknya. Awalnya tidak diacuhkan si Bupati ini, tapi lama-lama dia terpancing juga. Dia marah betul dan dengan kalap mulai melempari anak-anak itu dengan batu segede-gede kepalan tangannya. Aku yang berada di tengah-tengah kerumunan itu benar-benar ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa. Ember bawaanku membuatku tidak mungkin berlari. Ketika si Bupati makin mendekat dan anak-anak yang mengoloknya berlarian, aku hampir melemparkan ember bawaanku…. tapi tiba-tiba dia tersenyum dan bilang begini:

”Boru ni Bapa, na sian pasir do ho?” (Putri Bapa, baru pulang dari pantai?) dan melewatiku begitu saja mengejar anak-anak lain. Ya Tuhan! Orang yang dianggap ’gila’ ini ternyata bisa berpikir waras….?

Kejadian ini tidak cuma sekali terjadi, dan tidak cuma dengan aku. Kami semua selalu dikenalinya sebagai ’boru ni Bapa’ (putri Bapa). Dan dia tidak pernah mau mengganggu kami.

Sejak itu, persepsiku berubah tentang orang-orang yang disebut ’gila’ ini. Secara kejiwaan mereka memang mengalami gangguan atau penyimpangan tapi aku yakin di alam bawah sadarnya ada sudut-sudut ’nomal’ yang bekerja dengan baik mengenali yang baik dan yang buruk. Ini kupastikan ketika suatu waktu ada gosip tentang si Rusmi yang katanya (maaf) disetubuhi bapaknya. Karena gosipnya lumayan heboh, Bapakku pergi ke rumahnya di Pahoda dengan beberapa orang saudara. Waktu itu si Bupati ini lagi sakit, dan ketika Bapak datang untuk mengkonfirmasi gosip itu, katanya si Bupati ini menitikkan air mata dan berucap:

”Bapa, memangnya aku gila memakan darah dagingku sendiri?”

Gosip itu akhirnya berlalu begitu saja. Dan ternyata, yang melakukan pelecehan itu memang bukan si Bupati, tapi justru orang-orang yang mengaku dirinya waras. Tapi derita Rusmi ini ternyata tak berhenti disitu saja.

Ketika mudik bulan lalu aku bertemu si Rusmi di pesta pernikahan Itoku (Bapak dan Ibunya sudah meninggal). Di tengah-tengah acara adat, aku lihat dia muncul dengan penampilan yang masih seperti dulu. Dari jauh, sambil memunguti botol air mineral yang berserakan di jalanan dia melambaikan tangan padaku dan berseru: ’halo kakak sayang…’ (begitulah kebiasaannya memanggil orang yang dianggapnya dekat dengannya). Aku sempat kaget juga, bagaimana mungkin dia mengenali aku yang sudah 30 tahun tidak pernah bertemu.

Aku meninggalkan acara adat yang sudah hampir usai, menghampiri si Rusmi di seberang jalan dan menanyakan kabarnya. Seperti biasa dia bercerita banyak hal yang tentu saja tidak nyambung dengan pertanyaanku. Dia berkisah tentang si Solaria (entah siapa ini maksudnya) yang sudah sakit 3 bulan dan tidak ada yang menjenguk. Ketika aku konfimasi ke orang-orang yang ada disitu tentang si Solaria ini, mereka bilang:

”Jangan kau dengar dia itu! Mana ada si Solaria di kampung ini. Itu hanya ada di khayalannya saja!”

Waktu aku minta foto bersama, Rusmi bilang:

“Ah! Janganlah Kak. Nanti jadi jelek kakak kalau foto dengan aku.”
Hahahaha…. tuh, dia gak gila kan?

——————–
Depok, February 7, 2010 at 10:28am

Posted in Catatan Hati | 5 Comments

GOODBYE AMERIKA: AKU INGIN KEMBALI LAGI :-)

* bagian terakhir dari 7 tulisan tentang kunjungan ke ALA. Akhirnyaaaa… selesai juga stabernya ya….:-)) *

Sisa 3 hari di Las Vegas kami isi dengan menghadiri kongres ALA (American Library Association). Sedikit tentang ALA (dikutip dari www.ala.org) :
———————————
The American Library Association (ALA) is the oldest and largest library association in the world, providing association information, news, events, and advocacy resources for members, librarians, and library users.

Founded on October 6, 1876 during the Centennial Exposition in Philadelphia, the mission of ALA is to provide leadership for the development, promotion, and improvement of library and information services and the profession of librarianship in order to enhance learning and ensure access to information for all.
———————————
Setahuku pustakawan Indonesia tidak banyak yang ke ALA, lebih sering dan lebih banyak ke IFLA (International Federation of Library Association). Mungkin karena ALA ini spesifik untuk pustakawan Amerika, padahal mereka juga terbuka untuk international participant. ALA 2014 lalu, rekan dari UGM (Pak Ida Fajar) membawakan presentasi berkolaborasi dengan John Hickock serta rekan pustakawan dari Singapore (Tamara). Mereka mengangkat tema tentang fenomena digital native di negara-negara ASEAN. John, memang sudah lama memfokuskan diri pada research tentang pengembangan perpustakaan perguruan tinggi di negara ASEAN. Kami mengenal John sejak 2004, dan sering mampir ke UI jika sedang berada di Indonesia. Saya dan teman mengikuti presentasi mereka di hari kedua. Menarik sekali mendengar pembahasan mereka bagaimana user di negara-negara ASEAN menghadapi perubahan teknologi yang melanda dunia kepustakawanan. Pak Ida, dengan kocaknya (as usual…hehehe) bercerita tentang awal-awal diberlakukannya buku elektronik Diknas untuk anak-anak sekolah dan tentang penggunaan gadget di Indonesia.

“Emak-emak di Indonesia mencetak e-book itu untuk anaknya, lalu emak yang lain menggandakannya untuk anaknya juga. Begitulah e-book itu bekerja….”

Hahahaha…. semua audience tertawa.
Malaysia juga punya pengalaman yang sama soal e-book ini.

Di hari kedua ini kami ketemu dengan pustakawan JIS. Saat itu sedang ramai berita tentang pelecehan seksual yang menimpa siswa JIS. Pustakawan JIS ini bule, tapi dia langsung mengenali kami waktu ketemu.

“Hello…. Do you come from Indonesia?”

“Ya… and you?”

“Ouw…! I’m librarian from JIS.”

“Oh…”

Kami berbincang sebentar. Nanya siapa saja yang dari JIS. Dia bilang sendiri saja. Mungkin sekalian mudik nih si neng ya…

Sebelum kembali ke hotel, John menawarkan mengajak kami putar-putar Las Vegas. At least lihat yang khas LV. Tentu saja kami mau dong… kapan lagi dipandu bule mengitari Las Vegas? Sorenya John dan Pak Ida menjemput kami di lobby hotel. Sebelum jalan-jalan kami makan dulu. John mengajak kami makan di tempat langganannya. Masuk ke tempat ini harus pakai kartu dan harus jadi member. Sistemnya adalah, kita bayar 10 US$ dan boleh makan sepuasnya, sampai buncit, sampai gak bisa jalan….hahaha. Jadilah kami kesana. Makan sepuas-puasnya, dan ngantongi banyak apel dan pisang, serta madu sachet…hahaha. Sebetulnya gak boleh bawa makanan pulang, cuma mengingat mahalnya makanan di luar sono, kami berkonspirasi dengan Pak Ida untuk nyelipin buah ke dalam tas tanpa sepengetahuan pramusaji. John juga tau kami nyelipin apel tapi dia pura-pura gak tahu. Dia malah godain:

“Gak sekalian itu sendok garpu dibawa? Kalian kan nginap di terrible hotel? Hahaha….”

Jadi waktu kami ceritakan tentang ‘miskin’nya fasilitas di hotel kami yang mahal itu, John dan Pak Ida ngakak-ngakak. Soalnya, mereka nginap di hotel gak jauh dari hotel kami, tarifnya cuma 35 US $ per malam. Tapi ada breakfast, ada air mineral, dan free wifi. Itu sebabnya John bilang hotel kami ‘terrible hotel’.

Sepanjang acara makan kami ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari dunia kepustakawanan dan kehidupan di US. John cerita masa kecilnya yang suka diberi minum teh oleh ibunya, tapi dia tak pernah mau.

“Sejak kecil aku gak pernah suka teh. Gak ada rasanya. Aku baru tahu betapa enaknya teh dicampur susu ketika berkunjung ke Yogya. Teh tarik! Hahaha…”

John juga banyak nanya tentang pustakawan perguruan tinggi. Menurut John, perpustakaan perguruan tinggi itu harus kuat di layanan rujukannya. *betul sekali John… * Dia juga nanya tentang gedung baru Perpustakaan UI dan berjanji akan segera berkunjung ke Depok. (janjinya itu dibuktikannya di bulan Desember 2014 lalu. Tiba-tiba dia nongol di Depok).

Selesai makan, kami dibawa putar-putar kota Las Vegas, sambil dijelaskan info-info menarik. Di salah satu hotel, ada poster penyanyi muda yang katanya sedang naik daun di US. Penyanyi cewek dan saudaranya cowok (lupa siapa namanya, yang jelas belum mendunia). John bilang:

“Ini penyanyi yang sedang digandrungi disini. Suaranya bagus, dan… attitudenya baik. Gak kayak Lady Gaga, Madonna, Britney… yang suka pamer2 keseksian, padahal suaranya biasa-biasa saja.”

Aku agak kaget mendengarnya.

“Lho, bukannya kalian (orang US) suka yang gitu-gitu? Maksud saya, kayak Lady Gaga, Britney….”

“Oh, no! Ya jelaslah banyak anak-anak muda yang suka mereka, tapi itu bukan mewakili orang US kan? Mostly kami masih menyukai yang punya attitude baik. Sayangnya media lebih suka menyorot yang aneh-aneh ya.”

Kami memutari pusat Las Vegas. Banyak tempat-tempat hiburan terkenal dan hotel-hotel yang biasa diinapi para selebritis Hollywood. Kami melewati area out door untuk hiburan malam. Ada panggung dan orang nyanyi-nyanyi. Para penontonnya umumnya anak-anak muda, berpasang-pasangan, berpegangan tangan, berdiri saja di trotoar yang ada. Kalau melihat kerumunan kayak gini, aku selalu takjub lho dengan yang namanya ‘ketertiban massal’. Kog bisa ya orang ini tertib-tertib?

“Ya…faktor pendidikan lah,” kata John.

Lha, di negaraku seringkali yang rusuh itu di lingkungan pendidikan. Tawuran anak sekolah, perkelahian antar kampus. Apanya yang salah sih? Kurikulumnya kah? Nah, aku ingat waktu di LA. Putrinya Pak HS itu punya banyak sekali medali di kamarnya. Macam-macam penghargaan pernah diperolehnya sejak TK. Aku sempat tanya ke Bu HS.

“Putri ibu pintar banget kayaknya ya Bu, berbakat. Banyak medali di kamarnya.”

“Ah, biasa saja Bu. Disini memang anak-anak itu dikasih banyak penghargaan supaya rasa percaya dirinya tumbuh. Semangat.”

“Maksudnya? Medali-medali itu bohongan?”

“Bukan. Itu dia peroleh memang karena ikut macam-macam kegiatan. Cuma, disini, misalnya ya…. ada lomba renang 100 meter. Kan gak semua anak bisa menang kan? Ada yang cuma mampu berenang cepat mungkin di 50 meter. Atau 20 meter. Ya udah, dibuat juga lomba itu. Jadi yang gak menang di 100 meter, dia menang di 50 meter. Begitu juga putri saya. Ibu lihat kan, dia menang di main musik mandolin. Temannya yang lain menangnya di piano. Ada di gitar, dsb. Begitu Bu. Intinya, semua anak itu diberi penghargaan sesuai minat dan kemampuannya. Itu awal yang bagus buat anak-anak itu untuk memiliki rasa percaya diri. Jadi hampir semua anak-anak disini pasti punya banyak medali. Istilahnya, semua anak dihargai sesuai kapasitasnya. Dikembangkan sesuai minatnya.”

“Oooo….. gitu. Anak-anak pasti senang ya Bu kalau merasa dihargai.”

“Of course. Anak-anak itu kalau sudah merasa diterima, dihargai, maka akan mudah diarahkan. Mudah diatur. Dan ketika itu sudah jadi kebiasaan, ya…bagus.”

Tiga hari mengikuti seminar-seminar di ALA belum cukup rasanya. Banyak materi yang tidak bisa kami ikuti karena paralel. Ada beberapa catatan saya tentang trend yang sedang terjadi di US:
– Topik digital native masih seksi di kalangan pustakawan US
– Open access kayaknya sudah menjadi keharusan di kebanyakan
perpustakaan, apalagi di perguruan tinggi.
– Materi information literacy akan tetap menjadi salah satu prioritas pustakawan.
– Perpustakaan umum di US sedang menggalakkan dunia dongeng untuk menyeimbangkan gadget di kalangan anak-anak. Ada pustakawan2 yang fokus mengembangkan kemampuannya mendongeng. *ini mengingatkanku pada anak-anaknya Steve Job yang justru tidak diberi mainan gadget, tapi diajak berkebun *
– Aplikasi layanan reference yang open source sangat banyak: Join Me, Library
Chat, dst.
– Aplikasi PDA (Patron Driven Acquistion) sedang trend untuk model pengadaan
koleksi.

Dan….. * ini penting yak *

– Rata-rata orang US menggunakan gadget bermerek Apple. Cuma John yang
masih punya hp nokia jaduuullll… Hahahaha
– Orang Amerika modis-modis, warna pakaiannya didominasi warna-warna
pastel, soft. Hanya orang2 Negro yang berani pakai warna-warna cerah
photo booth

Hari terakhir di ALA Conference, kami mengikuti kegiatan setengah hari. Tak lupa kami foto-foto di booth yang disediakan panitia. Sisanya kami kembali ke factory outlet…hahaha. Temanku masih kebayang-bayang dengan tas dan sepatu yang disana. Kami kesana lagi deh. Naik taksi pulang pergi, sepanjang perjalanan kami melihat banyak banget mobil-mobil limousine. Memang selama di Las Vegas, limousine ini mendominasi jalanan. Keren-keren. Taksi pun banyak limousine, drivernya cewek-cewek lagi. Di halte-halte juga kita bisa melihat box untuk naruh majalah. Majalah apa? Majalah2 sejenis playboy lah. Cover2nya jeroan semua. Jadi kalau ada orang mau beli, dia tinggal jatuhkan koin ke lubang koin yang ada disitu, trus ambil majalahnya. Puas berbelanja, kami kembali ke hotel. Packing barang. Besok harus kembali ke Indonesia tercintah.

Pukul 05 pagi kami sudah check out. Ke bandara naik taksi.

“To McCarran Airport. Via paradise, please.”

Pak HS sudah ingetin kami bahwa kalau mau pulang nanti, bilang aja via paradise supaya sopirnya bawa dari jalur terdekat. Penerbangan kami pukul 08 pagi menuju San Fransisco. Kami tiba di McCarran pukul 05.30 lalu mencari-cari counter check in. Disini kami agak nyasar karena merasa penerbangan internasional, jadi kami pergi menuju jalur ‘international passanger’. Jalurnya koq jauh banget ya? Untung ada kru bandara yang melihat kami kebingungan lalu menghampiri. Kami jelaskan bahwa kami mau ke Jakarta, tapi ke San Francisco dulu lalu ke Tokyo.

“Ooo…. Check ini saja disana,” tunjuknya ke barisan ‘local passanger’

“Tapi itu kan untuk penerbangan lokal?”

“Oh, ya. Gak masalah. Anda kan penerbangan lokal dulu ke San Francisco…”

Oh, iya! Ampunnn deh. Kami segera bergegas menuju antrian. Antriannya panjang sekali. Wah… bisa terlambat nih. Belum lagi di imigrasinya.

“Eh, itu ada self check in. Kesitu aja yuk.”

Kami ke mesin self check ini. Pencet sana pencet sini…eh, koq gak mudeng ya? Tidak sesederhana menu di self check in nya Air Asia…hahaha. Seorang kru bandara menghampiri kami lagi.

“May I help you, Madam?”

Dia akhirnya membantu kami melakukan proses check in. Dalam 5 menit urusan check in kami beres. Tibalah di pemeriksaan imigrasi. Mulai lagi deg deg an deh. Tapi tidak semenakutkan waktu datang. Konon kalau mau pulang itu pemeriksaannya tidak seketat kedatangan. Mungkin dikiranya ‘wong dia mau pulang ke negaranya ini, ngapain dipersulit?’ hahahaha. Tapi saya keliru. Justru disini saya kena random check.

Begitu selesai dari meja pemeriksaan dokumen, kami harus melewai 2 pemeriksaan lain. Satu pemeriksaan tangan dan kedua pemeriksaan biasa (melewati gate). Di pemeriksaan tangan ini, gak semua penumpang kena. Aku kena.

“You!” kata petugas menunjuk saya.

“Show your hand!” katanya. Aku berikan semua dokumen yang kupegang.

“No…no. Your document is oke. I want to check your hand.” Astaga! Mau nyari apa nih di tangan gue?
Aku menyodorkan telapak tanganku, lalu petugas melakukan semacam scanning dengan alat yang dipegangnya dan menggosokkan alat itu ke telapan tanganku (mungkin untuk ngecek apakah ada chip diselipin di bawah permukaan kulit. Aku sering baca ini di novel-novel detektif dan lihat di film-film Hollywood).

“It’s oke. Thank you!”

Aku berlalu dengan lega dan masuk ke antrian gate. Disini gak ada masalah. Yang masalah adalah temanku. Sampai 3 kali dia disuruh bolak-balik, gatenya tetap saja bunyi. Akhirnya dia dibawa ke kotak pemeriksaan seluruh tubuh. Dia dimasukkan ke tabung scanning itu lalu alatnya mendeksi dimana logam yang bunyi itu berada. Aku melihatnya dari jauh dengan cemas. Karena temanku pakai hijab, maka yang memeriksa dia juga perempuan. Ibu-ibu setengah baya dan sangat ramah. Dia minta maaf dulu sebelum menggeledah temanku, dan temanku akhirnya ngomong:

“Mungkin peniti hijabku ini kali ya Bu yang bikin bunyi?” sambil menunjuk peniti yang dipakai mengancing hijabnya.

“Oooo… I see. Oke…oke…” kata si petugas lalu mempersilahkan temanku berlalu. Kami mengikuti alur orang-orang yang berjalan. Jauh banget ternyata. Dan begitu tiba di ujung lorong, tiba-tiba pintu otomatisnya membuka, dan kami masuk di gerbong kereta yang super keren. Et dah! Lorong tadi menuju kereta ini toh? Tak lama, keretanya berjalan. Kurang lebih 10 menit kami tiba di terminal keberangkatan. Gedungnya gede, sepi, dan penuh dengan toko-toko yang menjual barang-barang bermerek. Ada casino juga. Wueh! Pokoknya selagi di Las Vegas, dimana-mana pasti ada casino deh.

casino di bandara

Perjalanan Las Vegas – San Francisco ditempuh dalam 1 jam penerbangan. Di San Francisco tidak banyak waktu istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Tokyo. Bandara ini ramai sekali. Banyak turis-turis Jepang dan China. Kebanyakan mereka berombongan, ada tour leadernya. Mereka keluar masuk toko dan membeli banyak banget souvenir dan belanjaan. Orang-orang kaya Jepang kayaknya sih.

Penerbangan San Francisco – Tokyo kami naik UA lagi. Disini pemeriksaan hand bagnya ketat. Karena tas kami sudah beranak pinak, untuk menghindari lamanya pemeriksaan, kami memaksa tas kecil masuk ke tas yang lebih besar. Begitu di pesawat, tasnya kita pisahin lagi…hihihi. Di pesawat aku mengucap harap:
“Terima kasih Tuhan atas kesempatan ini, jika boleh meminta lebih lagi… aku pengen ada kesempatan lagi ke Amerika…” hahahaha.

Perjalanan menuju Tokyo ditempuh lebih lama dari kedatangan, 11 jam 30 menit. Tapi karena ini perjalanan menuju rumah, semangat sekali dong. Apalagi begitu tiba di Narita, koq rasanya seperti sudah di Jakarta ya? Ketemu dengan orang-orang Indonesia yang akan ke Jakarta. Ketemu dengan seorang ibu, PNS, dan berprofesi sebagai peneliti. Beliau ini setiap 3 bulan ke US. Ya ampun, gak capek apa ya? Lamanya di pesawat itu lho.

Di Narita ini, salah satu kesulitan adalah keterbatasan krunya berbahasa Inggris. Jadi karena kursiku dan kursi temanku pisah jauh, maka kami minta biar diubah, jika bisa.

“We want to sit together. Is it possible? Can you check?”

Kagak ngerti dia. Tapi dia cerdas, dia ambil kertas dan pensil, lalu dia menggambar, apakah yang kami maksud sama dengan yang dia pahami. Aha! Ternyata dia ngerti tapi gak bisa ngomong….hahaha

Temanku juga sempat tertahan ketika mereka memeriksa paspornya. Mereka menganggap nama temanku tidak sesuai dengan yang di tiket. Padahal di paspor itu ada penjelasan tentang penambahan nama alias. Penambahan ini dibuat oleh kedutaan US sendiri waktu ngurus visa. Masalahnya kru2 ANA ini kurang fasih berbahasa Inggris. Temanku sudah berulang kali tanya:

“What’s the problem? May I help?”

Tapi mereka tetap saja ngomong Jepang. Akhirnya ada seseorang (mungkin manajernya) yang datang dan bilang masalahnya di nama yang di paspor. Temanku langsung jelasin dan menunjuk lembar penambahan nama dari US Embassy. Mereka baru paham dan mengucapkan permohonan maaf karena telah membuat temanku tidak nyaman. Ada-ada saja ya.

Penerbangan Tokyo-Jakarta sangat menyenangkan. Ketemu lagi dengan pramugari-pramugari ANA Airlines yang ayu-ayu dan ramah-ramah. Yang paling menyenangkan adalah karena sebentar lagi aku akan ketemu Naara. Aduuhhh… kangennya sama si kecilku yang lucu itu udah gak tertahankan. Tapi ….kalian tahu gak, begitu sampai di rumah, Naara gak mau sama saya. Dia menatapku dengan marah, kesal, benci. Mungkin dia merasa dibohongi emaknya. Berbagai cara aku bikin agar dia mau, dia menolak. Dia nempel terus sama papinya. Semalaman itu dia gak mau dekat-dekat samaku. Baru besoknya dia ‘pulih’. Tiba-tiba dia bilang:
“Ma…nyenye dong….”
Jiiahhhh…. Kirain dia udah lupa urusan itu…hahahaha

Posted in My Journey, Uncategorized | 14 Comments