News From Media

Sakit Maag Fungsional Sembuh dengan Puasa

Penulis : Bramirus Mikail | Kamis, 28 Juli 2011 | 09:04 WIB
Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com — Berbagai pertanyaan sering timbul di masyarakat terutama bagi mereka mempunyai masalah dengan lambung dan ingin melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Pertanyaan tersebut antara lain, apakah puasa akan memperberat sakit maag? Apakah orang sakit maag boleh berpuasa?

“Pada umumnya, penderita sakit maag dapat berpuasa terutama jika sakit maagnya hanya gangguan fungsional,” kata Dr dr Ari Fahrial SYAM SpPD-KGEH, spesialis penyakit dalam dan konsultan penyakit lambung dan pencernaan, RSUP Cipto Mangunkusumo dalam Simposium Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Rabu (27/7/2011).

Bahkan, menurut Ari, sakit maag karena gangguan fungsional biasanya dengan berpuasa keluhan sakit bisa berkurang dan merasa lebih sehat pada saat berpuasa. Hal ini terjadi karena keluhan sakit maag yang timbul pada pasien akibat ketidakteraturan makan, konsumsi makanan camilan, seperti makanan yang berlemak, asam, dan pedas sepanjang hari.

“Selama berpuasa, pasien-pasien ini pasti makan lebih teratur karena hanya dua kali dengan waktu yang lebih kurang sama setiap harinya selama puasa, yaitu saat sahur dan berbuka,” katanya.

Ari mengatakan, umumnya orang yang berpuasa akan lebih banyak bersabar dan mengendalikan stres. Hal-hal inilah yang menyebabkan pasien dengan gangguan fungsional tersebut dapat berpuasa dengan baik dan keluhan sakit maagnya akan berkurang.

“Justru mereka yang sakit maag fungsional akan membaik maagnya kalau melakukan puasa” ujarnya.

Ari mamaparkan, secara umum sakit maag dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu sakit maag fungsional dan sakit maag organik. Pada penderita sakit maag fungsional, diketahui apabila pada pemeriksaan dengan endoskopi (teropong saluran pencernaan atas) tidak didapatkan kelainan secara anatomi.

Sementara pada maag organik, biasanya didapatkan kelainan secara anatomi, misalnya luka dalam atau luka lecet pada kerongkongan, lambung, usus dua belas jari, serta kanker pada organ pencernaan tersebut.

Ari mengatakan, khusus pada penderita sakit maag organik yang belum diobati terutama jika mengalami gejala seperti berat badan turun, anemia/pucat, muntah darah, BAB hitam, dan tidak bisa menelan, tidak dianjurkan untuk melakukan puasa.

“Adapun pada orang yang memang terdapat kelainan organik, puasa akan memperberat kondisi sakit lambungnya jika tidak diobati dengan tepat. Namun, jika sakit lambungnya diobati, mereka dapat melakukan ibadah puasa seperti orang normal umumnya,” katanya.

Oleh karena itu, Ari menyampaikan kepada mereka yang ingin melakukan ibadah puasa supaya segera pergi ke dokter untuk mengevaluasi apakah penyakit maag yang diderita termasuk yang mempunyai kelainan organik atau fungsional. Sementara itu, bagi orang-orang yang tidak mempunyai masalah dengan lambung, sebelumnya tidak perlu takut akan mengalami sakit maag saat berpuasa.

Bahkan, puasa akan membuat pencernaan lebih sehat. Obat-obatan untuk sakit maag tidak diperlukan bagi pasien yang tidak ada masalah dengan maag selama melaksanakan puasa Ramadhan.

 

Editor :
Asep Candra

tetap sehat nonton bola

Para Pecandu Berhenti Merokok Setelah Alami Sakit Berat

Jum’at, 01 Juni 2012

Hidayatullah.com–Indonesia saat ini mempunyai prestasi cukup menyedihkan seputar rokok. Praktisi Kesehatan Dr.Ari Fahrial Syam membeberkan, dilihat dari jumlah rokok yang dikonsumsi, Indonesia merupakan konsumen rokok terbesar di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan, jumlah perokok Indonesia terbanyak ketiga di seluruh dunia, setelah Cina dan India, atau di atas Rusia dan Amerika

Amerika saat ini sudah berhasil menekan penduduknya untuk tidak merokok sehingga hanya tinggal 19,3 persen pada tahun 2010. “Keberhasilan Amerika untuk dapat menekan jumlah perokok pada masyarakatnya karena kampanye media secara massal yang terus menerus dan konsisten akan dampak buruk merokok, harga rokok yang selalu meningkat, dan memperluas daerah bebas rokok,” ujar Ari dalam keterangan persnya, Kamis (31/5/2012).

Pernyataan Ari berkaitan dengan peringatan Dunia Tanpa Tembakau yang jatuh pada 31 Mei.

Lebih lanjut dijelaskan, di Indonesia hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 menunjukkan bahwa satu dari tiga orang Indonesia merokok. Prevalensi kelompok umur di atas 15 tahun yang merokok tiap hari secara nasional sebesar 28,2 persen.

Sedang penduduk Indonesia yang kadang-kadang merokok sebanyak 6,5 persen. Paling tinggi perokok Indonesia  pada kelompok umur 25-64 tahun. Sebagian besar orang yang merokok di Indonesia adalah penduduk pedesaan, tingkat pendidikan rendah, umumnya mereka  pekerja informal dengan status ekonomi rendah.

“Kondisi ini sungguh menarik dan menjadi renungan kita bersama,” ujar Ketua Bidang Advokasi PB Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) itu.

Orang-orang berpendidikan tinggi cenderung menghindari rokok. Hanya 19,6 persen perokok setiap hari yang bertitel sarjana, 28,1 persen tamat SMA, 26 persen tamat SMP, 30,4 persen tamat SD, 31,9 persen tidak tamat SD, dan 26,7 persen tidak sekolah.

Orang-orang dengan penghasilan tetap dan status ekonomi baik juga berkurang dalam merokok. Salah satu hal yang membuat mereka mengurangi mengkonsumsi merokok karena mereka bekerja di ruang-ruang tertutup dan ber-AC yang membuat mereka tidak dapat merokok setiap saat di ruangan tertutup.

“Di sisi lain yang perlu kita simak profil para perokok Indonesia dari RISKESDAS tersebut adalah lebih dari 60 persen usia pertama kali orang merokok di Indonesia kurang dari 20 tahun. Kelompok umur 15-19 tahun merupakan kelompok yang terbesar merokok dengan angka 43,3 persen. Usia ini adalah usia mereka kelas 3 SMP, SMA dan awal kuliah. Umumnya kelompok ini adalah anak ABG yang memulai merokok untuk menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa,” urainya, sebagaimana dilansir JPNN.

Tetapi, lanjutnya, ada hal yang sangat menyedihkan bahwa ada sekitar 2,2 persen orang yang mulai merokok pada masa anak-anak, yaitu pada umur 5-9 tahun.  “Bahkan kita juga semua tahu bahwa beberapa anak balita kita sudah menjadi pencandu rokok,” urainya.

Ia mengatakan, sebenarnya kita semua sudah tahu bahwa rokok berdampak buruk bagi kesehatan. Hanya masalahnya bagi perokok karena sudah menjadi candu, tidak mudah bagi mereka untuk meyakinkan diri  untuk tidak merokok.

“Bagi perokok kadang-kadang yang menjadi patokan dampak merokok buat mereka adalah gangguan pernafasan. Sehingga jika mereka tidak batuk dan tidak sesak mereka masih tetap merokok. Padahal efek samping dari merokok tidak melulu berdampak pada saluran pernafasan,” paparnya.

Pasien yang mengalami kanker, antara lain kanker lidah, kanker kerongkongan, kanker usus besar, kanker paru atau kanker pankreas, akan menyesali kenapa mereka merokok, setelah menderita kanker.

“Rasanya cerita dampak buruk rokok pada seseorang akan selalu kita alami terjadi pada keluarga kita. Apalagi saya yang sehari-sehari bertemu dengan pasien, melihat langsung dampak rokok pada kesehatan seseorang. Kalau penyakit akibat rokok tidak terlalu berat, biasanya pasien hanya mengurangi sedikit rokoknya dan kembali lagi untuk merokok setelah sehat. Tetapi jika dampak sakit pada perokok tersebut cukup berat biasanya mereka berhenti merokok total,” kata Ari.

Serangan stroke ringan atau TIA juga kadangkala membuat kapok seorang perokok untuk tidak merokok lagi. “Ini terjadi pada ayah sendiri dimana ia seorang perokok kuat dan berhenti total setelah jatuh di kamar mandi dan mengalami serangan stroke ringan,” sambungnya.

Para perokok yang mengalami hipersensitifitas pada saluran pernafasannya, yang jika mulai merokok akan merasakan sesak, pasti tidak akan pernah untuk mencoba rokok. Serangan jantung juga bisanya membuat kapok seseorang untuk tidak merokok kembali.

Dampak lain yang sebenarnya tidak diketahui oleh para perokok, papar Ari, rokok akan menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan atas seseorang. Mereka yang merokok sering merasa begah, cepat kenyang, dan kembung. Rokok juga menyebabkan asam lambung naik kembali ke kerongkongan atau refluks yang mencetuskan penyakit GERD.

Belum lagi rokok juga dapat merusak gusi serta gigi geligi. Mereka umumnya tidak nafsu makan karena lambungnya sudah terasa penuh dengan gas akibat hirupan asap rokok. Kondisi hipoksia kronis pada seseorang perokok juga dapat mencetuskan penurunan nafsu makan.

“Oleh karena itu kita sering mendengar seseorang perokok yang berhenti merokok berat badannya akan naik karena nafsu makannya bertambah atau menjadi meningkat setelah berhenti merokok,” kata Ari.*

Rep: Insan Kamil
Red: Syaiful Irwan

1 dari 3 Orang Indonesia Merokok

Kamis, 31 Mei 2012 | 17:51
Ilustrasi.

Ilustrasi. (sumber: AFP)

Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia.

Indonesia saat ini mempunyai prestasi yang cukup menyedihkan seputar rokok.

Bagaimana tidak, menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2008, Indonesia mempunyai jumlah perokok terbanyak di dunia setelah China dan India.

Dilihat dari sudut jumlah rokok yang dikonsumsi, konsumen rokok terbesar di dunia setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang di tahun 2007. Amerika sendiri saat ini, kata dr H Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, Ketua Bidang Advokasi PB PAPDI, sudah berhasil menekan penduduknya untuk tidak merokok sehingga hanya tinggal 19,3 persen pada tahun 2010.

Keberhasilan Amerika dapat menekan jumlah perokok pada masyarakatnya, karena kampanye media secara massal yang terus menerus dan konsisten akan dampak buruk merokok, harga rokok yang selalu meningkat dan memperluas daerah bebas rokok.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 menunjukkan, bahwa 1 dari 3 orang Indonesia merokok. Prevalensi kelompok umur diatas 15 tahun yang merokok tiap hari secara nasional sebesar 28,2 persen. Sedangkan penduduk Indonesia yang kadang-kadang merokok sebanyak 6,5 persen.

Ari menjelaskan, paling tinggi perokok Indonesia pada kelompok umur 25-64 tahun. Sebagian besar orang yang merokok di Indonesia adalah  penduduk pedesaan, tingkat pendidikan rendah, umumnya mereka  pekerja informal dengan status ekonomi rendah. Kondisi ini sungguh menarik dan menjadi renungan kita bersama.

Sementara, orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung menghindari rokok. Hanya 19,6 persen perokok setiap hari yang bertitel sarjana, 28,1 persen tamat SMA, 26 persen tamat SMP, 30,4 persen tamat SD, 31,9 persen tidak tamat SD dan 26,7 persen tidak sekolah.

Orang-orang dengan penghasilan tetap dan status ekonomi baik, lanjut Ari, juga berkurang yang merokok. Salah satu hal yang membuat mereka mengurangi rokok, karena mereka bekerja di ruang-ruang tertutup dan ber-AC yang membuat mereka tidak dapat merokok setiap saat di ruangan tertutup.

Di sisi lain yang perlu kita simak profil para perokok Indonesia dari RISKESDAS tersebut adalah lebih dari 60 persen usia pertama kali orang merokok di Indonesia kurang dari 20 tahun. Kelompok umur 15-19 tahun merupakan kelompok yang terbesar merokok dengan angka 43,3 persen.

Usia ini adalah usia mereka kelas 3 SMP, SMA dan awal kuliah. Umumnya kelompok ini adalah anak ABG yang memulai merokok untuk menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa. Tetapi ada hal yang sangat menyedihkan, yaitu ada sekitar 2,2 persen orang yang mulai merokok pada masa anak-anak yaitu pada umur 5-9 tahun.

“Bahkan kita juga semua tahu bahwa beberapa balita sudah menjadi pencandu rokok. Kita tahu juga bahwa perokok aktif ini akan menjadi masalah pada orang sekitarnya mereokok. Mereka akan membuat orang di sekitar menjadi perokok pasif,” jelas Ari.

Ternyata RISKESDAS juga menunjukkan, bahwa para perokok juga menyebabkan orang di sekitarnya menjadi perokok pasif. Ternyata lebih dari 75 persen dari perokok di Indonesia,  merokok di rumah.

“Laki-laki lebih banyak merokok di rumah dibandingkan perempuan (76,8 persen vs 73,1 persen). Dan, penduduk pedesaan lebih banyak merokok di rumah ketimbang perkotaan (83,5 persen vs 69,4 persen). Penduduk yang masih sekolah pun ternyata sebanyak  46,7 persen merokok di rumah.,” tutupnya.

Penulis: Ririn Indriani

Kamis, 29 Maret 2012 | 13:20 WIB

Demonstrasi Baik untuk Kesehatan

TEMPO.CO, Jakarta — Musim aksi demonstrasi telah tiba. Gara-garanya, pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak. Tak hanya di Jakarta, aksi menentang rencana kenaikan BBM itu terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia.

Terlepas dari soal isu yang dibahas, dokter Ari Fahrial Syam, praktisi kesehatan di Ibu Kota yang menekuni masalah gastroenterologi (ilmu tentang gangguan dan penyakit saluran pencernaan), memberikan tinjauan berkaitan dengan aksi-aksi demonstrasi yang marak belakangan. Menurut dia, aksi demonstrasi bermanfaat untuk kesehatan, baik psikis maupun fisik si pelaku demonstrasi.

“Dari segi psikis, sebenarnya orang yang berdemo sedang melakukan upaya perlawanan atas hal yang tidak diinginkan,” kata Ari kepada Tempo, Kamis, 29 Maret 2012. Melalui demo, mereka mendapatkan penyaluran atas sesuatu yang tidak diharapkan. Para demonstran akan merasa puas lantaran uneg-uneg yang diinginkan sudah disampaikan dan disalurkan. “Terlepas, apakah yang disampaikan tersebut disetujui atau tidak oleh pemegang kebijakan,” katanya.

Dengan turun ke jalan, berteriak, bernyanyi, atau melakukan berbagai hal untuk menunjukkan ekspresi protes terhadap sesuatu yang tidak diinginkan, itu semua bisa menjadi penyaluran atau ventilasi atas ketidaksukaan yang ada di dalam diri para demonstran. Beratnya kehidupan sehari-hari bisa terlupakan sesaat saat mereka melakukan demonstrasi, berteriak dan bernyanyi. Orang yang melakukan demo, kata Ari, “Juga akan merasa puas karena telah menyampaikan keinginannya walaupun hanya dengan turun ke jalan.”

Dari segi manfaat fisik, apabila demo tersebut dilakukan dengan cara berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain, ia melanjutkan, hal itu merupakan salah satu latihan (exercise) yang baik. Aktivitas jalan kaki juga potensial untuk membuang kalori dan akan bermanfaat bagi kesehatan sesaat. “Yang ideal, aktivitas jalan kaki tersebut seharusnya dilakukan secara rutin,” kata Ari.

Meskipun ada sejumlah manfaat bagi kesehatan, menurut Ari, demostrasi juga bisa membawa dampak negatif. Salah satunya, para demonstran yang turun ke jalan berisiko mengalami dehidrasi, baik berupa kekurangan cairan maupun elektrolit. Oleh karena itu, bagi para demonstran yang berjalan kaki, berteriak atau bernyanyi, mereka harus tetap menjaga asupan minumnya.

Minum yang cukup penting dilakukan untuk mencegah agar jangan sampai tubuh kekurangan cairan. Apalagi jika demonstrasi dilakukan pada saat cuaca panas seperti cuaca Jakarta hari ini. “Para demonstran akan berkeringat dan bisa kekurangan cairan dan elektrolit,” kata Ari, “Saat kondisi tubuh seperti itu, mereka harus tetap mengonsumsi cairan, terutama cairan yang berelektrolit.”

Dehidrasi perlu dihindari karena kondisi tersebut akan membuat orang menjadi lebih sensitif dan emosinya menjadi tidak terkendali. Selain itu, dehidrasi juga bisa membuat seseorang susah berpikir jernih. Dehidrasi juga bisa membuat seseorang mengalami pusing. Bahkan, jika kondisi dehidrasi bertambah berat bisa berakibat fatal, orang bisa pingsan atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu, kata Ari, “Para demonstran harus mencegah agar tak sampai dehidrasi.”

Masalah lain, lantaran saat berdemonstrasi para demonstran berteriak-teriak, hal itu bisa menyebabkan tenggorokan kering dan mengalami iritasi. Agar tak menyebabkan masalah serius, lagi-lagi, para demonstran dianjurkan untuk tetap minum, dan diusahakan jangan menenggak minuman dingin.

“Upaya mencegah dehidrasi bukan hanya untuk demonstran, tetapi juga berlaku untuk para petugas yang sedang mengamankan aksi tersebut,” kata Ari. Upaya simpatik, menurut dia, dapat dilakukan dari kedua belah pihak, baik pendemo maupun petugas, yakni dengan saling berbagi minuman.

“Tentu, kita semua berharap agar demonstrasi yang sekarang marak terjadi berjalan damai,” kata Ari. Agar tak terjadi dehidrasi, ia mengingatkan, “Para demonstran dan petugas hendaknya tetap menjaga kesehatan dengan memperhatikan minumnya.”

DWI WIYANA

SUARA PEMBARUAN

Kekurangan Cairan Saat Demonstrasi, Gampang Memicu Emosi
Jumat, 30 Maret 2012 | 10:41

Ilustrasi [google]Ilustrasi [google]

[JAKARTA] Aksi demonstrasi semakin “panas”. Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) munculkan banyak aksi menentang kenaikan tersebut. Hampir di seluruh kota besar di Indonesia terjadi demo.

Aktivitas pendemo pastinya melakukan berjalan kaki, bernyanyi, berteriak, bahkan melompat-lompat di kala unjuk rasa. Walaupun terkesan menyehatkan, hati-hati demonstrasi juga membawa berdampak negatif terhadap kesehatan. Para demonstran yang turun ke jalan bisa mengalami dehidrasi baik berupa kekurangan cairan maupun elektrolit.

Praktisi kesehatan, Ari Fahrial Syam, menjelaskan, ada kaitan antara kondisi panasnya cuaca di beberapa daerah belakangan ini, termasuk di Jakarta, dengan tensi emosi para demonstran. Tatkala cuaca panas, demonstran kehausan, maka gampang emosi. “Para demonstran yang berjalan kaki, berteriak, atau bernyanyi harus tetap menjaga tubuh agar tidak kekurangan cairan. Kondisi dehidrasi juga akan membuat orang yang mengalami dehidrasi tersebut lebih sensitif dan emosinya menjadi tidak terkendali. Selain itu dehidrasi juga bisa membuat seseorang susah berpikir jernih,” ujarnya di Jakarta, Jumat (30/3).

Ari berpesan dehidrasi harus dicegah terjadi bagi para pendemo. Karena umumnya saat melakukan demonstrasi para demonstran berteriak maka tenggorokan mereka bisa kering dan bisa mengalami iritasi oleh karena itu harus tetap minum dan diusahakan jangan minum yang dingin. Upaya mencegah terjadinya dehidrasi sebenarnya bukan saja untuk para demonstran tetapi juga untuk para petugas yang sedang menjalani tugas mengamankan aksi demonstrasi tersebut.

“Upaya simpatik dapat dilakukan dari kedua belah pihak baik dari para pendemo maupun petugas untuk saling berbagi minuman. Kita semua berharap agar demonstrasi yang sekarang marak terjadi berjalan damai. Agar tak terjadi dehidrasi, para demonstran dan petugas hendaknya tetap menjaga kesehatan dengan memperhatikan minumnya masing-masing,” tutup dia. [PR/H-15]

Leave a Reply